MOJOK.CO – Menyambangi Yasmin Winnett, perempuan dari Negeri The Three Lions yang mengabdi pada Merapi.
Rasanya sulit diterima, bahwa seorang warga negara Inggris yang terpelajar seperti Yasmin Winnett lebih memilih tinggal di kawasan “zona merah” Merapi. Mengingat, pemerintah sebetulnya sudah mengimbau agar tidak ada lagi yang menempati daerah itu karena rawan bencana. Namun, rasa kepedulian Yasmin terhadap masyarakat yang tinggal di lereng Merapi membuatnya bertahan. Bersama suaminya, Fajar Radite Syamsi, Yasmin mendampingi masyarakat dalam ranah pendidikan dan mitigasi bencana sejak 2015.
Yasmin Vashti Winnett atau yang lebih akrab disapa Yasmin sebetulnya memiliki ikatan darah dan emosional dengan Indonesia. Ibunya adalah orang asli Jawa Barat. Yasmin sendiri lahir di Jakarta pada 1988. Namun, karena ikut sang ayah, dia pun menghabiskan masa kanak-kanaknya di Inggris.
Yasmin kembali menjamah alam Indonesia pada 2010. Saat itu, dia yang merupakan mahasiswi kajian Indonesia di School of Oriental and African Studies University of London, mengikuti student exchange di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di tahun yang sama pula, Merapi mengalami erupsi yang cukup besar. Situasi yang akhirnya menjadi titik balik bagi takdir kehidupannya.
Pada 2015 Yasmin memutuskan untuk menetap di Dusun Pangukrejo, Cangkringan, yang hanya berjarak sekitar tujuh kilometer dari puncak Merapi. Alasan utama Yasmin memutuskan menetap di Pangukrejo dilatarbelakangi rasa kepeduliannya pada kondisi masyarakat pasca erupsi Merapi 2010. Bagaimanapun, upaya pemerintah melakukan relokasi terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan lereng Merapi tidak berjalan maksimal.
Sebagian besar masyarakat Merapi lebih memilih menempati rumah dan tanah mereka walau berada di lokasi rawan bencana. Sebab, kegiatan perekonomian mereka relatif terjamin di daerah tersebut. Mulai dari pertanian, peternakan, dan terutama pariwisata. Salah satunya dengan membuka wisata tour dan menyewakan jeep untuk para turis.
“Awal kami mendengar bahwa teman-teman yang bergerak di bidang parawisata itu sudah pusing karena semakin banyak tamu mancanegara tetapi untuk melayani agak bingung karena kurang percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, dan sering ada kesalahpahaman oleh karena perbedaan budaya,” kata Yasmin. “Jadi kami membayangkan cuma bantu di situ sedikit. Tapi, setelah beberapa bulan, baru kami mulai mengerti bahwa sebagian besar dari warga itu tidak berhasil ikut program relokasi,” lanjutnya.
Selain permasalahan ekonomi, faktor budaya dan ikatan emosional terhadap tanah kelahiran juga menjadi alasan kuat mengapa masyarakat sekitar lereng Merapi enggan pindah ke tempat relokasi.
“Saya dan Mas Fajar lalu berusaha untuk membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat dari sisi ketangguhan dan keamanan kalau memang relokasi itu bukan opsi yang realis dan cocok untuk mereka. Dari situ kami mulai kegiatan kami di bidang mitigasi bencana,” kata Yasmin.
Sebagaimana lazimnya pendatang dari mancanegara, Yasmin mengalami kendala bahasa. Walaupun Yasmin sudah sedikit lancar berbicara dalam Bahasa Indonesia, akan tetapi dia masih harus beradaptasi dengan masyarakat yang mayoritas cuma bisa berbahasa Jawa. Oleh sebab itu, dia agak susah memahami omongan masyarakat setempat.
“Pernah ketemu seorang mbah tua di kebun, lalu saya ajak bicara sedikit pakai Bahasa Jawaku yang terbatas. Terus setelahnya dia bicara banyak tapi saya nggak tahu, cuma bisa ‘nggeh-nggeh’ saja. Padahal, bisa jadi dia curhat sesuatu yang sangat dalam dan serius,” tutur Yasmin.
Meski demikian, Yasmin cepat berbaur dengan budaya masyarakat Pangukrejo yang komunal. Selama lima tahun ini dia sudah belajar untuk rewang, kondangan, dan nyumbang. “Tapi, saya sama sekali nggak kuat untuk melihara sapi. Bangun jam 3 untuk mandikan dan memerah susu sapi, terus naik gunung untuk cari rumputnya? Mungkin satu kali bisa, tetapi setiap hari tanpa pengecualian? No way. Saya pelihara kucing saja,” guraunya.
Pada penghujung 2015, Yasmin bersama Fajar kemudian membangun sebuah sekolah alternatif berbasis akar rumput. Ini merupakan langkah yang telah lama Yasmin cita-citakan. Dengan dukungan dari masyarakat Pangukrejo dan sejumlah relawan, mereka menyulap bekas SD padukuhan yang sudah hancur akibat erupsi menjadi “Sekolah Gunung Merapi”. Sekolah inilah yang sampai sekarang mendampingi anak-anak lereng Merapi belajar mengenai budaya, seni, dan tentu saja Bahasa Inggris.
Orang-orang dari 86 MJTC (Merapi Jeep Tour Community) menjadi siswa pertama Sekolah Gunung Merapi atau yang biasa disingkat SGM kala itu. Selanjutnya, SGM berkembang pesat. Banyak anak yang tertarik belajar di sana. Selain gratis, Yasmin dan para relawan pengajar di SGM juga mampu membuat anak-anak betah belajar.
“Tujuan utama kita sebagai guru, atau saya lebih senang istillah learning facilitator adalah untuk membuat anak-anak merasa nyaman dengan si gurunya, dengan kawan-kawan kelasnya, dan pada akhirnya dengan dirinya sendiri,” jelas Yasmin. “Ya melalui kegiatan yang menyenangkan, misalnya saya dalam hampir setiap kelas sering gunakan mainan, musik, tarian, drama, seni, dan dongeng.”
Bagi Yasmin, guru mesti bersedia memasuki dunia imajinatif siswanya. Tujuannya agar si guru mudah memberi pemahan kepada para siswa tentang kaitan antara materi dengan kehidupan mereka. “Kalau Anda nggak mau melakukan itu, terus untuk apa jadi guru?” ujarnya.
Saat ini, SGM membuka pintunya lebar-lebar bagi siapapun yang ingin menjadi relawan pengajar atau sekadar belajar Bahasa Inggris pada Yasmin. Namun, tidak semua relawan bisa diterima di SGM. Yasmin hanya mau menerima mereka yang memiliki alasan kuat untuk belajar.
“Di SGM kredonya ‘semua orang adalah guru’, kredo ini memecahkan paradigma bahwa ada orang yang sudah tahu semua dan mau ‘mengajar’ serta yang belum tahu apa-apa dan perlu ‘belajar’. Padahal, setiap orang pasti memiliki ilmu yang unik dan berbeda satu sama lain,” jelas Yasmin. “Karena itu, jika ada relawan yang mau gabung untuk mengajar kami selalu akan tanya duluan, ‘Anda ingin belajar apa?’ kalau dia tidak bisa jawab, merasa sudah tidak mau atau tidak perlu belajar apapun lagi, berarti dia belum siap mengabdi di SGM.”
Biaya operasional SGM sendiri mengandalkan pemasukan dari jeep tour. Fajar Radite Syamsi yang mengoperasikan jeep tersebut saban hari. Sementara Yasmin, dengan kemampuannya memainkan biola, mengamen setiap Sabtu dan Minggu pagi di depan wisata Bunker untuk membantu Fajar. Hanya saat renovasi bangunan saja, mereka mengandalkan bantuan donatur secara online.
“Gedung tidak sewa, tenaga pengajar kami volunteer, air dialiri warga secara gratis, dan materi kami mengandalkan kreativitas supaya lebih irit,” kata Yasmin.
Bukan perkara mudah bagi orang-orang terpelajar macam Yasmin dan Fajar ketika memutuskan tinggal di desa terpencil dan rawan bencana seperti Merapi untuk berbagi pengetahuan. Apalagi, bantuan dari pemerintah nyaris mustahil memasuki zona merah tersebut. Namun, mereka tak pernah kehabisan ide atau lelah berinovasi. Bahkan, pada semester ini siswa-siswi SGM akan memiliki kegiatan baru, yaitu program mitigasi bencana, eco-bricks atau daur ulang sampah plastik, dan bercocok tanam supaya mereka makin dekat dengan alam.
“Siapapun yang datang ke SGM itu harus dalam rangka untuk belajar. Sebab, belajar adalah proses dalam hidup untuk sepanjang waktu, sama pentingnya dengan makan dan bernafas,” tutup Yasmin.