Yang Merantau dan yang Tak Pernah Berniat Pulang Kampung

yang merantau dan yang tak pernah berniat pulang kampung

Bagi yang merantau, entah karena menempuh pendidikan maupun bekerja, mudik atau pulang kampung saat Lebaran adalah keharusan. Pulang dari perantauan setahun sekali dan berkumpul bersama keluarga adalah momen sakral yang tidak boleh dilewatkan. Di sisi lain, karena keadaan atau memang sekadar tidak ingin, ada mereka yang tidak pernah mudik dalam periode waktu yang cukup lama.

Mojok.co berkesempatan berbincang dengan beberapa orang yang tidak mudik selama bertahun-tahun, dan ini adalah cerita mereka.

Merantau adalah tradisi keluarga

Pada malam 09 Mei 2021, saya bertemu dengan Taufik (30) dan Sukarjo (22) di kedai kopi kecil yang berlokasi di Jalan Glagahsari Yogyakarta, tak jauh dari universitas tempat saya kuliah beberapa tahun lalu.

Kami bertiga duduk melingkari meja kecil, berbagi cerita banyak sembari sesekali menikmati minuman di atas meja. Ada kopi hitam, cappuccino panas, dan matcha latte ice. Suara kami tak terlalu keras, tetapi sesekali harus sedikit berteriak karena deru kendaraan yang lalu-lalang sangat mengganggu telinga.

Taufik dan Sukarjo adalah dua orang asal Wakatobi. Taufik berasal dari pulau kecil bernama Lemanggau, sementara Sukarjo berasal dari pulau Tomia. Dua pulau yang pasti sangat asing di telinga sebagian besar orang.

Mereka berdua lahir di Wakatobi, pun orang tua mereka juga asli Wakatobi. Membuat saya sedikit heran kenapa bisa ada orang Wakatobi yang memiliki nama Sukarjo. Nama-nama di Wakatobi, setahu saya tidak jauh-jauh dari La Feki, La Asu, La Beka, atau nama-nama semacamnya.

“Itu ada ceritanya tersendiri,” terang Sukarjo yang saat ini menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan jurusan Manajemen itu.

“Semua orang Wakatobi yang memberi nama anaknya nama Jawa pasti pernah merantau,” sambungnya.

“Saya ini empat bersaudara, dan empat-empatnya diberi nama Jawa semua. Yang pertama Supardin, yang kedua Yuslita, yang ketiga Yustiati, dan keempat saya, Sukarjo.”

Ia menjelaskan bahwa ketika orang tuanya merantau di Papua, banyak orang Jawa yang ada di sana, dan sebagian besar perantau yang sukses berasal dari Jawa. Itulah alasan kenapa semua anak orang tuanya diberi nama Jawa, dengan harapan bisa sukses seperti para perantau dari Jawa di Papua yang sukses.

Selesai dengan urusan nama, saya lantas menanyakan perihal aktivitas merantau yang dilakukan Sukarjo. Sambil meminum cappuccino panasnya, ia menjelaskan bahwa Tomia hanyalah tempat lahir.

“Sejak SD saya sudah merantau,” kenangnya.

“Sewaktu kelas empat SD, tahun 2009, saya pindah ke Maluku. Di Seram tepatnya. Baru setelah itu, tahun 2012, saya pindah ke Papua. Di Sorong, tetapi bagian kabupaten yang jauh dari kota. Saya tinggal dengan kakak sepupu saya, sementara kedua orang tua tinggal di pedalaman, di Kabupatan Maybrat yang isinya hutan semua.”

Ia mengatakan, tidak berkumpul bersama keluarga adalah hal biasa baginya. Ia tinggal bersama kakak sepupunya sementara ketiga kakaknya merantau di tempat berbeda-beda, pun kedua orang tuanya tinggal di pedalaman untuk bekerja.

“Di Maybrat itu pedalaman. Semua tempat jauh. Makanya saya tinggal bersama kakak sepupu yang memiliki akses ke mana-mana lebih dekat. Ayah dan ibu hanya sesekali turun ke Sorong kalau ada acara, seperti Lebaran, dan itu juga tidak pasti setahun sekali turun.”

Menurut Sukarjo, orang tuanya memiliki prinsip agar semua anak mereka mengenyam pendidikan tinggi, karena hal itu tidak didapat oleh orang tuanya. “Ayah dan ibu itu tidak berpendidikan. Makanya mereka bekerja keras dan rela jauh dengan anak-anaknya demi mencari uang dan membiayai kami semua. Lagi pula, merantau adalah tradisi keluarga kami, pun semua keluarga di Tomia, atau malah Wakatobi keseluruhan.”

Dengan konsep hidup seperti itu, maka ritual mudik saat Lebaran tiba adalah hal yang sangat asing bagi Sukarjo. Ia tidak memiliki alasan untuk pulang ke keluarganya, karena istilah pulang ke keluarga akan menjadi permasalahan lainnya. Keluarga mana yang harus dijadikan tempatnya pulang? Apakah ke tempat salah satu kakaknya?

Ke Tomia, tempat ia dilahirkan meski sudah tidak memiliki kerabat dekat di sana, ke Seram tempat ia pernah bersekolah sewaktu SD dulu? Atau ke Papua? Pun ke Papua, apakah ke tempat kakak sepupunya di Sorong, atau ke tempat ayah dan ibunya di pedalaman nun jauh sana.

Keluarganya saling terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tidak pernah melaksanakan ritual mudik saat Lebaran. “Tidak ada satu titik untuk dituju kami semua. Pun untuk apa berkumpul setahun sekali saat Lebaran? Bukankah tujuan merantau adalah memiliki hidup masing-masing dan bertahan apa pun kondisinya?”

Merantaulah sejauh dan selama  mungkin

Menurut Sukarjo, kebanggaan paling besar di Wakatobi adalah merantau. Tidak jadi soal apa yang dilakukan di perantauan, yang jelas semakin jauh dan semakin lama, maka derajatnya akan semakin tinggi di mata masyarakat.

“Level paling tinggi adalah mereka yang merantau dan tidak pernah kembali lagi. Dan bagi keluarga yang ditinggal merantau, sudah pasti mereka merelakan bahwa kecil kemungkinan mereka akan melihat dengan dia yang merantau. Mau sukses atau hancur di perantauan itu tak jadi soal.

Merantau adalah kebanggaan tersendiri,” terang pria yang saat ini tengah mondok di salah satu pesantren di Jogja itu.

“Makanya, jika ada yang merantau dan sering pulang kampung, itu belum merantau menurut saya. Bisa jadi bahan olok-olok warga sekampung,” ia melanjutkan sembari meminum cappuccino panasnya yang saya terka sudah mulai mendingin.

Sunset di Pulau Tomia, Wakatobi. Foto oleh Niels van Atlena/Unsplash.com
Sunset di Pulau Tomia, Wakatobi. Foto oleh Niels van Atlena/Unsplash.com

Sukarjo sendiri memiliki pemikiran yang sama dengan mayoritas warga di kampung halamannya. “Saya sudah memutuskan merantau ke Jogja, dan tidak ada alasan untuk kembali ke kampung halaman.” Ia menjeda ucapannya karena melintas Honda Scoopy merah begitu cepat dan suara knalpotnya meraung keras membelah udara dingin sepanjang jalan Glagahsari.

“Lagi pula, saya tidak tahu harus pulang kampung ke mana,” lanjutnya. “Pulang ke Tomia? Sudah tidak kenal siapa-siapa di sana. Ke Maluku? Tidak punya siapa-siapa juga. Ke Sorong? Belum tentu keluarga kumpul. Lagi pula kakak-kakak juga merantau jauh-jauh dan tidak pernah pulang. Untuk apa saya pulang?”

Bagi Sukarjo, ketika memutuskan untuk merantau, maka dia sudah menyiapkan diri untuk benar-benar berpisah dengan keluarganya. “Saat saya sudah pergi dari rumah, maka saya punya kehidupan sendiri, dan itu harus saya jalani sungguh-sungguh. Saya harus rela melupakan keluarga, karena bagi keluarga saya, mereka juga akan merelakan saya. Kalau sebentar-sebentar harus pulang, lalu di mana esensi merantaunya? Merantau itu bukan sekadar pergi dari rumah dan kembali seminggu, atau sebulan, atau setahun sekali. Itu hanya main menurut saya.”

Saya lantas penasaran dengan seperti apa kehidupannya sejak menginjakkan kaki pertama di Jogja, dan ia mengatakan bahwa semuanya tidak mudah. “Saya itu berasal dari daerah yang sangat tertinggal, dan begitu sampai di Jogja tahun 2017 silam, saya kaget bukan main. Semua informasi harus saya serap dengan begitu cepat,” kta Sukarjo.

Di Jogja juga, itu adalah pertama kalinya ia memegang yang namanya laptop. “Iya, di daerah asal saya, entah itu Tomia, Seram, atau Sorong, laptop dan segala teknologi yang di daerah Indonesia lain adalah hal biasa, bagi saya dan warga di sana, itu stratanya tidak jauh beda dengan makhluk-makhluk mitologi. Dipercaya ada, tapi tidak pernah menyentuh. Bayangkan, laptop dan jin berkaki satu, itu derajatnya sama di mata kami.”

Dengan akses pengetahuan yang membludak semenjak sampai di Jogja, Sukarjo merasa harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Ia merasa harus belajar banyak hal dan mengetahui lebih dari sekadar ilmu di jurusan manajemen yang ia pelajari di bangku kuliah. “Sia-sia kalau saya sudah di Jogja dan hanya belajar sedikit hal. Saya harus benar-benar pintar agar kerja keras ayah dan ibu tidak sia-sia.”

Ketika membahas kerja keras ayah dan ibu Sukarjo, saya lantas penasaran bagaimana mereka mengirimkan uang kepada anak-anaknya yang terpisah di pulau-pulau berbeda. “Dulu mereka mengirim paket yang isinya uang ke alamat semua anak di pulau-pulau berbeda itu, termasuk ke lokasi saya,” kenangnya.

“Mereka itu bekerja dan menyimpan uang dengan manual, tanpa disimpan di bank. Ya iya, di pedalaman sana kan tidak ada bank. Tetapi akhir-akhir ini kan ada konsep kirim lewat warung gitu. Jadi Ayah misal ingin mengirim satu juta ke saya, beliau tinggal ke warung yang sudah menyediakan jasa itu, menyerahkan sejumlah uang ke warung, lantas pemilik warung mengirimkan ke warung terdekat dengan lokasi saya yang juga memiliki jaringan. Nah saya ambil di warung itu.”

Ketika saya tanya lebih jelas apa nama layanan yang digunakan orang tuanya, Sukarjo terbata-bata karena lupa dengan nama layanan itu. “Link.. link apa gitu.”

Taufik, yang sedari tadi mendengarkan bersama saya dan sesekali tertawa ketika ada pembahasan lucu, seketika berkata, “Brilink?”

“Kayaknya itu. Lupa tepatnya apa, yang jelas konsepnya seperti itu.” Sukarjo masih ragu dengan nama layanan yang dia maksud.

Per tahun 2021, sudah empat tahun dia tidak pulang kampung. Tidak ke Wakatobi, tidak ke Maluku, pun tidak ke Sorong. Ia ingin menyelesaikan segala urusannya di perantauan. Pun ketika ia selesai dengan kuliahnya, ia belum berencana kembali. “Setelah lulus, saya berencana ke Kampung Inggris di Pare. Belajar di sana. Siapa tahu nanti bisa lanjut kuliah di luar negeri.”

Ia memiliki rencana panjang tentang kehidupannya, dan pulang ada di daftar terakhir rencananya. Dengan semua hal yang ingin ia raih itu, saya tertarik untuk mengetahui apakah ia pernah rindu berkumpul dengan keluarganya atau tidak. “Saya kan tidak punya kenangan berkumpul dengan keluarga, jadi ya biasa saja,” ucapnya.

“Dari kecil sudah terbiasa jauh dengan keluarga, jadi ya hal-hal seperti rindu itu tidak terlalu mengganggu.”

Sukarjo menambahkan, sinyal sangat susah didapat di pedalaman Papua sana, sehingga komunikasi melalui telepon juga terganggu. “Kalau ibu mau telepon, beliau harus jalan ke depan rumah, mencari-cari sinyal, baru menelepon. Itu juga kalau kebetulan saya sedang bisa mengangkat. Kalau pas tidak bisa, ya tidak terangkat.”

Di sisi lain, mencoba menghubungi orang tua melalui sambungan telepon dari Jogja juga masalah lainnya. “Kalau saya yang telepon duluan, itu kemungkinan besar tidak bisa. Mereka (ayah dan ibu Sukarjo) mencari sinyal untuk telepon. Artinya meluangkan waktu, sementara jika saya yang telepon, kan belum tentu sewaktu mereka ada sinyal.”

Menurut Sukarjo, telepon juga adalah godaan terbesar untuk urusan merantau. “Dulu sebelum ada telepon, orang merantau itu bisa benar-benar fokus dengan kehidupannya. Sekarang karena komunikasi sudah gampang, ya meski pada kasus saya tetap susah, itu justru menjadi godaan untuk pulang. Misal malam-malam ditelepon ibu, ngobrol panjang lebar, terus ibu bilang kangen, kan kitanya juga ikutan kangen. Nah, itu yang sering membuat perantau zaman sekarang sering pulang kampung. Karena dikit-dikit ditelepon dan saling kangen.”

Lebaran tanpa keluarga itu biasa

Taufik membenarkan perkataan Sukarjo tadi. Sejak meninggalkan tanah Lemanggau untuk kuliah di Surabaya bertahun-tahun lalu, ia bertekad untuk tidak pernah kembali lagi ke kampung halaman. Sayangnya ia harus termakan rasa rindu karena menjalin komunikasi baik melalui sambungan telepon dengan keluarganya.

“Saya sudah mantap hati merantau dan entah jadi apa saja di perantauan. Tidak mau pulang kampung. Malahan kalau bisa baru kembali setelah semua orang lupa saya pernah ada di Lemanggau. Tapi ya karena menjalin komunikasi baik dengan orang tua di kampung, saya jadi rindu untuk pulang,” terang pria lulusan jurusan Oceanografi tersebut.

“Kalau ibu sudah bilang rindu, saya ya pasti ikutan rindu. Itu yang bikin saya selalu tergoda untuk pulang setiap Lebaran.”

Tekad Taufik merantau dan tidak pernah pulang runtuh karena selalu menjalin komunikasi dengan keluarga. Ia lantas selalu pulang kampung setiap Lebaran tiba, membelah lautan dari Surabaya ke kampung halamannya. “Tiap tahun selalu mudik dan Lebaran bersama keluarga,” ujar pria dengan perawakan periang tersebut.

Suasana jalan desa di Wakatobi. Foto oleh Benjamin Jones/Unsplash.com

Ia meminum matcha latte icenya yang sudah tersisa setengah. “Tetapi dua tahun ini tidak bisa mudik.” Alasannya sederhana, karena pemerintah memang melarang mudik Lebaran sejak tahun lalu dan berlanjut ke tahun ini.

“Tahun lalu itu pertama kalinya tidak mudik selama merantau.”

Taufik mengatakan bahwa Lebaran di perantauan, sekalipun ia sudah terbiasa jauh dengan keluarga, tetap menyisakan rasa senyap di hatinya. “Dulu sudah mantap merantau dan siap kalau harus bertahun-tahun tidak pulang. Eh nyatanya giliran tidak bisa pulang pas Lebaran tahun lalu, rasanya malah sepi dan sedih banget. Efek setiap tahun pulang, jadinya sewaktu tidak bisa pulang, pasti perasaannya campur aduk.”

Pada tahun ini, Taufik sebenarnya sudah memiliki rencana pulang jauh-jauh hari, akan tetapi larangan mudik dari pemerintah membatalkan semuanya. “Kirain pandemi bakal membaik. Kemarin itu sempat telepon sama ibu dan bilang tahun ini pasti mudik Lebaran. Ibu sudah seneng banget. Eh ternyata malah mudik dilarang lagi. Jatuhnya malah lebih sedih daripada tahun lalu,” kenangnya.

“Tahun lalu kan sudah jelas tidak bisa mudik sejak awal. Lah, tahun ini kan aneh. Boleh bepergian sebelum tanggal enam mei, dan dilarang setelah itu. Ya kirain kemarin bisa mudik. Ternyata tidak bisa, padahal sudah janji ke ibu. Itu rasanya semakin campur aduk.”

Akan tetapi Taufik masih bisa mengatasi perasaan campur aduk karena tidak bisa mudik dua Lebaran berturut-turut. “Saya masih bisa ngatasi masalah ini. Itu ada temen satu kantor yang baru merantau pertama kali tahun ini, langsung murung dan tidak mau ngobrol dengan anak-anak kantor karena gagal mudik.”

Merantau itu tak harus pulang

Taufik menjelaskan, teman yang ia maksud berasal dari Lampung. Awalnya si teman sudah berencana mudik, pun sudah membeli tiket pesawat. “Pagi-pagi sekali saya bantu dia berkemas-kemas dan saya antar ke YIA (Yogyakarta International Airport). Pas sampai sana ternyata penerbangannya dibatalkan. Teman saya langsung syok dan mendadak menjadi pemurung.”

Menurut Taufik, temannya itu adalah orang yang sangat ceria di setiap waktu, akan tetapi begitu mendapat insiden gagal mudik, sifatnya berubah total dan menjadi pendiam. “Dia tidak mau bertemu dengan siapa-siapa sampai sekarang.”

Apa yang terjadi kepada teman Taufik itu tidak pernah dirasakan oleh Sukarjo. Ia tidak pernah mempermasalahkan apakah pemerintah melarang mudik atau tidak. Sama sekali tidak berdampak kepadanya, toh ia memang tidak pernah ada niatan untuk mudik.

“Ya temennya Taufik itu kan baru pertama merantau, dan konsep merantau baginya, atau malah bagi kebanyakan orang saat ini, ya seperti itu. Yang harus pulang beberapa waktu sekali. Makanya ketika tidak bisa pulang, entah dilarang pemerintah atau kendala lain, mereka jadi syok dan tidak siap. Ya, semata-mata belum terbiasa jauh dari keluarga.”

Sukarjo yang tidak pernah memiliki kenangan Lebaran bersama keluarga, merasa baik-baik saja ketika harus bertahun-tahun melewati Lebaran tanpa bertemu dengan keluarganya. “Ya dari kecil kan memang tidak pernah ngumpul saat Lebaran. Malahan tidak pernah ngumpul sama sekali. Makanya Lebaran seorang diri di Jogja ya biasa saja. Malahan banyak yang seneng karena saya tidak ke mana-mana saat Lebaran. Temen-temen bisa nitipin barang-barang ke saya buat saya jagain.”

Ketika saya tanya apa saja kegiatan yang ia lakukan selama Lebaran jauh dari keluarga, Sukarjo justru kebingungan sendiri menjawabnya. “Ya seperti hari-hari biasanya,” jawabnya setelah beberapa saat berpikir.

“Tidur, makan, jalan-jalan. Tidak ada bedanya sama hari-hari biasa. Bahkan pas Lebaran juga tidak harus telepon keluarga dan minta maaf. Tidak ada tradisi seperti itu.”

Sukarjo sekali lagi menegaskan bahwa jika sudah bertekad merantau, artinya ia sudah memiliki kehidupan sendiri dan tidak begitu terikat dengan keluarganya. “Kalau merantau karena kuliah, ya urusannya pasti sebatas minta duit. Selepas itu ya saya dan keluarga sudah memiliki kehidupan masing-masing. Bahkan level ekstremnya, kalau saya memang tidak bisa bertemu dengan keluarga lagi, ya itu risiko yang saya ambil dan tidak ada masalah dengan konsep itu.”

Merantau adalah bagaimana ia menjadi manusia mandiri dengan segala permasalahan yang ia terima. “Dulu sewaktu kecil ada ungkapan, ‘Merantaulah seperti dia’ sambil merujuk ke orang yang merantau begitu lama dan tidak pernah kembali. Merantau sampai benar-benar hilang kabar. Entah sukses, entah menderita, semuanya tak jadi soal. Inti dari merantau adalah memilih hidup sendiri apa pun itu. Dan mudik saat Lebaran, menurut saya, atau menurut konsep merantau yang saya pahami, justru mengurangi ruh dari merantau itu sendiri,” tutup Sukarjo.

BACA JUGA Suara dari Mereka yang Tetap Bekerja saat Libur Lebaran dan liputan menarik lainnya di Mojok.

Exit mobile version