Warung Nasi Jaya yang Berusia 85 Tahun dan Mbah Karni yang Tak Pernah Minta Gaji Suami

Jualan nasi seperti Mbah Karni, kalau ditelateni ternyata bisa untuk beli gilingan padi, tanah, dan bis.

Warung Nasi Jaya di Sleman ini sudah berusia 85 tahun. Nama warungnya diberikan oleh juragan tembakau yang sering menjadikan warung ini untuk berkumpul. 

***

Badannya sudah agak bungkuk, tapi tangannya yang sudah keriput itu masih lincah mengambil lauk pauk permintaan pelanggan. Suaranya juga masih jernih saat berbicara. 

Ia kerap dipanggil sebagai Mbah Endro, meski sebenarnya itu nama suaminya. Nama aslinya Mbah Sukarni (79). “Mbah Endro lagi ke ISI, ngambil pensiunan ditemani cucu,” kata Mbah Karni ketika saya tanya di mana mbah kakung.

Selasa pagi (7/12/2021) sekitar pukul 09.00 saya datang ke Warung Nasi Jaya di Jalan Kebon Agung Nomor 8, Bedingin Sumberadi, Mlati, Tokertek, Sumberadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman. Ini merupakan kedatangan saya ke sekian kalinya. Pagi ini saya memesan soto tanpa nasi. Menu soto ini ada sejak Mbah Karni diserahi Warung Nasi Jaya, 50 tahun silam oleh ibu mertuanya.

“Dulu itu yang punya Mbah Mangun Taruna, awalnya jual nasi sayur, lauknya iwak pitik, telur, tahu, tempe. Pas saya yang pegang nambah menu, ada mangut lele, lele goreng, pernah juga tahu guling,” ujar Mbah Karni mengingat.

Nenek yang pada 1 Januari 2022 berusia 79 tahun ini mengingat dengan jelas awal bekerja di Warung Nasi Jaya milik mertuanya. Awalnya ia tidak bisa memasak. Sesudah mnikah, Mbah Karni bahkan sudah berencana untuk bekerja di tempat lain. Namun, suaminya yang saat itu sudah bekerja sebagai pegawai Institut Seni Indonesia Yogyakarta (dulu Akademi Seni Rupa Indonesia) melarang. 

Akhirnya, pelan-pelan Mbah Karni belajar untuk memasak sekaligus melayani pelanggan dengan baik. Lama kelamaan, Mbah Karni bukan hanya menguasai berbagai resep makanan, tapi juga membantu mengelola warung nasi tersebut. Bahkan mampu mempertahankan warung warisan ibu mertuanya hingga 85 tahun.

Nama warung gara-gara juragan tembakau

Mbah Karni ingat, nama Warung Nasi Jaya itu tidak muncul saat warung berdiri. Dulu awalnya orang hanya tahu warung makan Mbah Mangun. Di tahun 70-an, jalanan dekat warung digunakan oleh para juragan tembakau untuk bertransaksi dengan petani. 

“Dulu petani tembakau jualan di sepanjang jalan sini. Nah Warung Mbah Mangun itu warung nasi satu-satunya, jadi mereka ngumpul di sini,” kata Mbah Karni. 

Setiap pagi, sekitar pukul 05.00 ketika warung baru buka, para juragan tembakau itu sarapan di tempat Mbah karni. Begitu juga saat mereka pulang sekitar pukul 08.00 hingga pukul 09.00, juragan tembakau ini kembali datang untuk makan dan nongkrong. “Terus mereka usul agar warung ini diberi nama Warung Nasi Jaya, biar jaya kayak mereka,” kata Mbah Karni. 

Warung Nasi Jaya di jalan Kebon Agung
Warung Nasi Jaya yang sudah ada sebelum zaman kemerdekaan. Foto Agung PW/Mojok.co

Bukan hanya juragan tembakau yang sering mampir, tapi juga pedagang-pedagang yang mau ke pasar. Yang paling diingat oleh Mbah Karni adalah blantik sapi atau pedagang sapi yang menuntun sapi dagangannya untuk dibawa ke Pasar Hewan Kuncen, Kota Yogya. 

“Mereka itu jalan kaki dari sekitar Tempel. Biasanya mereka istirahat di warung ini, sapi-sapinya ditali di pohon waru. Dulu di depan dan samping rumah masih banyak pepohonan,” cerita Mbah Karni. Begitu juga dengan pedagang ketela yang membawa dagangannya dalam keranjang-keranjang. 

Dulu jalan depan rumahnya tidak sebagus sekarang. Jalan berbatu yang tidak rata itu jadi jalur utama dari dan menuju Pasar Kebon Agung di Kapanewon Minggir, Kabupaten Sleman ke Kota Yogyakarta. Tidak heran jika banyak orang yang mampir ke warungnya. Bahkan dari usaha warungnya ia sempat membeli tiga bus Pemuda.

Mbah Karni mengingat, saat jaya-jayanya, dalam sehari Warung Nasi Jaya bisa menghabiskan 90 kg beras. Sekarang rata-rata setiap hari 30 kg beras yang dihabiskan. Mbah Karni dulu juga biasa menghabiskan 50 kg kedelai untuk membuat tempe, saat ini sehari cuma sekitar 7 kg kedelai. 

“Tempe itu dari dulu kami buat sendiri. Kata pelanggan, tempe kami enak. Tempe yang dibungkus daun pisang, bukan tempe yang plastikan. Itu kenapa sampai sekarang tempenya kami buat sendiri,” kata Mbah Karni. 

Masih seperti dulu, Warung Nasi Jaya buka pukul 05.00 pagi. Di jam-jam itu pembeli sudah mulai ramai. Sebagian besar orang-orang yang membeli sayur dan lauk pauk untuk dimakan di rumah. 

“Saya biasa bangun setengah tiga, setelah itu salat, terus ke dapur. Dulu langsung masak, sekarang sama anak-anak nggak boleh. Jadi nemani karyawan yang masak saja,” kata Mbah Karni. Sejak beberapa waktu yang lalu, Mbah Karni didiagnosa pengapuran tulang sehingga tidak boleh beraktivitas terlalu berat. 

Mbah Karni dibantu 3 karyawan di bagian dapur dan 3 karyawan di bagian depan yang melayani pembeli. Mbah Karni kini mengambil tugas sebagai kasir.

Tak pernah minta gaji suami

Anak Mbah Karni dan Mbah Endro ada tiga. Putri pertamanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Sekretariat Daerah Pemkab Sleman. Satu anaknya menjalankan usaha penggilingan padi sedang satu anaknya lagi jadi juragan beras. 

Tiga anaknya tentu ingin orang tua mereka beristirahat. Tapi bagi Mbah Karni, berjualan baginya jadi obat anti pikun. Ia yang duduk di meja kasir, masih jago dalam menghitung. “Kalau saya nggak jualan, nanti jadi cepat pikun. Anak-anak juga mengerti, mereka cuma pesan kalau jualan sa tekane wae, ora sah ngoyo,” ujar Mbah Karni. 

Lewat jualan di Nasi Jaya itulah, Mbah Karni bisa menghidupi keluarga. Ia bisa membeli beberapa bidang tanah untuk anak-anaknya. Ada cerita mengharukan sekaligus romantis yang diceritakan Mbah Karni ke saya. 

Menu mangut lele di Warung Nasi Jaya. Foto Agung PW/Mojok.co

Selama puluhan tahun menjalankan usaha warung, ia tidak pernah meminta sepeserpun gaji suaminya, Mbah Endro. Uang Mbah Endro digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan anak-anak mereka. Mbah Karni sendiri tidak menuntut untuk diberi uang suaminya. Pendapatan dari warung ia gunakan untuk kebutuhan lain keluarga mereka. 

“Sampai beberapa tahun lalu, sebelum pandemi saya plesir ke Bali bareng ibu-ibu, nah bapak itu ngasih uang saku ke saya Rp1 juta. Itu saya nangis…lha ndak pernah dikasih, tahu-tahu dikasih,” kata Mbah Karni tertawa. 

Mungkin terlihat sederhana, namun bagi Mbah Karni yang sejak muda sudah mandiri dan biasa mencari uang sendiri perhatian Mbah Endro memberikan rasa haru. “Selama ini kan opo-opo tak rampungi dewe. Uang untuk nyumbang, untuk beli tanah, beli gilingan padi, beli bis, itu dari uang warung. Lah iki kok ngerti-ngerti disangoni Mbah Kakung,” kata Mbah Karni kembali tertawa.

Mbah Karni jadi mengingat bagaimana dulu Mbah Endro muda pedekate kepadanya. Dulu, keluarganya dikenal sebagai juragan beras. Ia dan kakaknya saat itu rutin memasok beras di Pasar Cebongan dengan andong. Saat memasok itulah ada seorang pemuda yang selalu mengejar andongnya dengan sepeda. 

“Sepedanya termasuk mewah waktu itu, Gazelle,” kata Mbah Karni tertawa. Sebagai gadis belasan tahun, Mbah Karni ketakutan didekati Mbah Endro. Apalagi dulu Mbah Endro dikenal punya banyak pacar. Maka begitu sampai pasar, ia segera menyelinap di kios-kios untuk menghindari Mbah Endro. 

“Eh akhirnya menikah. Waktu itu orang tua yang rembugan,” kata Mbah Karni tertawa kecil. Selama lebih dari 50 tahun berumah tangga, Mbah Karni dan Mbah Endro dikarunia 3 anak. Semuanya lulus sarjana, bahkan putri pertamanya meraih gelar doktor. 

Ini tidak lepas dari cita-citanya yang pupus untuk menyelesaikan kuliah. Dulu, ia kuliah di IKIP Negeri Yogyakarta-sekarang UNY-. Namun, ia hanya bertahan satu tahun karena ibunya mengira ia hanya bermain. “Kalau kuliah kan pagi dan sore, nah ibu saya mengira saya cuma main. Karena jengkel dipaido dolan terus, yo wis mandeg wae,” kata Mbah Karni.

Mbah Karni termasuk orang tua yang percaya bahwa pendidikan bisa jadi bekal anak-anaknya untuk masa depan. Maka, ia berusaha keras agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik.  

Menu sederhana yang disukai pelanggan

Menu yang ada di Warung Nasi Jaya terbilang sederhana. Saat saya datang ada sayur pare, oseng-oseng tempe, sayur lodeh, bihun. Ada juga soto, opor ayam, mangut lele, lele goreng, telur asin, tempe goreng, tempe dan tahu bacem. 

Saya berbincang dengan Mbah Sugeng (60) asal Ngijon, Godean yang jadi pelanggan Warung Nasi Jaya sejak tahun 1980-an. Sejak masih bujang hingga kini sudah jadi kakek. Sejak dulu hingga sekarang ia menjadi sopir. 

“Pokoknya kalau jalurnya lewat jalan ini, pasti saya mampir makan. Paling suka ya lodeh sama mangut lele,” kata Mbah Sugeng menunjukkan isi piringnya. Tidak ketinggalan tempe bacem, andalan dari Warung Nasi Jaya. 

Mbah Sugeng sendiri mengatakan selain karena enak, ia kerap membawa teman-temannya makan di Warung Nasi Jaya karena porsi makannya bisa besar. “Maklum mas, kuli butuh makan banyak,” katanya tertawa.

Saya sendiri pagi itu memesan soto tanpa nasi. Tidak seperti warung yang secara khusus menyajikan soto, Warung Nasi Jaya menyajikan soto tidak dalam mangkuk, tapi piring biasa. Soal cita rasa sotonya juga bukan seperti soto bening pada umumnya. Ada cita rasa opor di soto yang disajikan. Di hari lain, saya memesan mangut lele dan jangan pare. Untuk memasak, Mbah Karni masih menggunakan kayu bakar dan arang. 

Warung Nasi Jaya buka dari pukul 05.00 – 15.00 WIB. Ketika ditanya, apa resep bisa mempertahankan warungnya sampai berusia 85 tahun, Mbah Karni malah tertawa. Ia mengatakan,  berusaha melayani pembeli di warungnya sebaik-baiknya. Itu mungkin yang membuat, sampai sekarang masih banyak pelanggan meski sudah banyak warung nasi tak jauh dari tempatnya jualan.

BACA JUGA  Alasan PKL Malioboro Ogah Dipindah dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version