Trauma Gempa Jogja yang Tak Kunjung Hilang, Seorang Lelaki Tua di Bantul Tak Berani Tidur di Kamar Selama 17 Tahun

Ilustrasi Trauma Gempa Jogja yang Tak Kunjung Hilang, Seorang Lelaki Tua di Bantul Tak Berani Tidur di Kamar Selama 17 Tahun

Gempa Jogja yang terjadi 17 tahun silam masih meninggalkan trauma mendalam bagi sebagian warga. Bahkan, seorang lelaki di Bantul hingga kini terus memilih tidur di teras rumah setiap hari karena ketakutan.

***

Beberapa waktu lalu, saat sedang mengerjakan liputan tentang potensi bahaya gempa dari Sesar Opak yang membentang dari pantai selatan Bantul hingga Prambanan, saya menemui kisah seorang warga yang masih menyimpan trauma. Baginya, gempa Jogja yang terjadi 2006 silam menyisakan luka dan ketakutan yang terbawa hingga sekarang.

Gempa Jogja yang membuat sebuah dipan ada di teras rumah

Kisah tentang lelaki itu mulanya saya dapatkan dari kisah seorang narasumber yang saya wawancara sebelumnya. Informasi itu membawa saya menelusuri jalanan di Dusun Blawong, Trimulyo, Jetis, Bantul pada Kamis (3/8/2023) lalu. Tempat seorang bernama Sukirzin (61) tinggal.

Kawasan Jetis memang salah satu yang terdampak cukup parah pada gempa Jogja silam. Saya sempat mengecek sebuah foto dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY yang menunjukkan Bukit Permoni, sebuah bukit batu di Dusun Blawong, Jetis yang sampai runtuh karena gempa tersebut.

Bukit batu saja merekah akibat besarnya goncangan dari dalam tanah. Apalagi rumah warga, yang saat itu sebagian besar belum punya konstruksi yang mumpuni untuk menahan gempa.

Kala itu, data BPBD Bantul melaporkan sebanyak 4.143 korban tewas di wilayah Bantul, serta mencatat 71.763 rumah rusak total, 71.372 rumah rusak berat, 66.359 rumah rusak ringan.

Setelah melewati gang-gang kecil, tibalah saya di depan kediaman Sukirzin. Letaknya di sisi timur Dusun Blawong yang berbatasan dengan aliran Sungai Opak.

Saat saya tiba memarkirkan motor, Sukirzin terhenyak dari tidurnya. Lelaki paruh baya ini langsung menata bantal yang tergeletak di kasur tipis yang ada di atas dipan. Di situlah, ia setiap hari beristirahat. Termasuk saat melewati dinginnya malam.

Tak kekurangan kamar namun teras selalu jadi pilihan

Rumah Sukirzin dulu pernah hancur akibat gempa. Namun, kini sebenarnya sudah berdiri kokoh. Bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya karena ada beberapa penyesuaian pada konstruksinya.

Selain itu, rumahnya pun tak kekurangan kamar yang layak. Terlebih, di samping juga ada kediaman anak yang punya cukup banyak ruang. Namun, ia memilih untuk selalu memejamkan matanya di luar ruangan.

Setelah saling sapa dan menyampaikan maksud wawancara, Kirzin beranjak dari dipan lalu mengajak saya duduk bersama di teras rumahnya. Langkahnya gontai, ada hal yang tak bisa pulih seutuhnya sejak gempa 27 Mei 2006 silam.

warga bantul trauma gempa jogja.mojok.co
Sukirzin di tempat ia biasa beristirahat sehari-hari karena trauma gempa Jogja (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Hampir semua rumah di Dusun Blawong merupakan bangunan baru konstruksi pasca-gempa 2006. Rumah Kirzin pun dulu runtuh nyaris tak tersisa. Saat itu, ia tinggal di rumah bersama istrinya, Susanti (59) dan anak bungsunya.

Lelaki ini lalu mulai mengorek memori lamanya di hari-hari menjelang gempa Jogja terjadi. Saat itu ia baru menjalani momen besar. Tiga hari sebelum kejadian, salah satu anaknya baru saja menikah.

“Beruntung dia tidur di rumah mertua sampai akhirnya gempa itu terjadi. Sabtu pagi jam enam kurang lima belas,” kenangnya.

Sehari-hari Kirzin dan istrinya merupakan pedagang soto di Jalan Imogiri Timur. Selain itu, Kirzin juga merupakan tukang bor sumur. Blawong, tempatnya tinggal memang terkenal sebagai penghasil ahli sumur di Jogja.

Pada hari gempa Jogja terjadi, seperti biasa, Kirzin dan istrinya Susanti (59) sudah bangun sejak sebelum subuh. Mereka berdua mulai mempersiapkan bahan racikan soto sejak hari masih gelap.

Sementara itu, anak bungsunya yang saat itu masih tinggal serumah belum bangun. Masih tidur pulas di kamarnya.

Detik-detik gempa Jogja di Bantul yang membawa trauma berkepanjangan

Sampai hari mulai cerah, semuanya masih normal. Warga mulai beraktivitas di jalanan. Namun, suasana tiba-tiba berubah jadi kepanikan, saat suara gemuruh terdengar, disusul adanya getaran yang menggerakkan tanah.

Bukan sekadar bergetar, dataran benar-benar bergoyang vertikal dan horizontal. Kirzin menggambarkan betapa dahsyatnya goncangan sambil mengayunkan kedua tangannya, ke kanan dan ke kiri lalu ke atas dan ke bawah.

“Orang-orang pada lari. Mereka yang bawa motor jatuh bergelimpangan di jalan,” kata Kirzin mengorek memori.

Penanda rumah Sukirzin di Blawong, Jetis, Bantul (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ia sebenarnya bisa lari menyelamatkan diri dengan segera. Namun, tiba-tiba ingat anak kecilnya yang saat itu masih duduk di bangku TK, sedang tertidur pulas di kamar. Ia segera menyusul ke dalam menggeret buah hatinya untuk keluar rumah.

Semua terjadi sangat cepat. Goncangan semakin kencang, tiba-tiba saja atap rumahnya ambruk. Hitungan detik, anak berhasil ia rengkuh, tapi Kirzin tak bisa menghindari material yang jatuh menimpa tulang bahunya. Krek…patah

Dalam kondisi itu, ia masih sempat lari keluar rumah. Namun, kembali tergelincir karena kondisi permukaan tanah yang sudah tidak karuan. Ia kembali mengalami penderitaan, kala itu, tulang di selangkangannya juga retak.

Sebulan Kirzin menginap di rumah sakit. Ia dirawat dengan kondisi seadanya, bahkan rebah di kasur tanpa dipan di lantai rumah sakit lantaran banyaknya korban.

“Dusun sini yang meninggal enam. Kalau yang luka-luka, banyak sampai nggak bisa hitung,” ucapnya bergetar.

Luka di tubuh pulih, di jiwa tak kunjung reda

Badan dan luka di tubuhnya berangsur pulih. Namun, Kirzin mengalami trauma berat. Ia tak pernah tidur di dalam rumah lantaran selalu terbayang gempa.

Ia memilih tidur di dipan di depan rumahnya. Khawatir tak bisa menyelamatkan diri jika bencana itu datang di tengah malam saat ia terlelap.

Istrinya pun membenarkan hal itu. Ia hanya bisa memaklumi trauma yang suaminya alami. Seringkali, ia tidur di ruang tengah yang berdekatan dengan pintu menuju teras supaya masih dekat dengan suaminya ketika malam.

Di Bantul, trauma sempat membayangi sebagian warga. Kirzin mengaku selalu panik ketika ada goncangan yang terjadi.  Terakhir, ia sempat panik saat terjadi goncangan berkekuatan magnitude 6,6 di wilayah Jogja pada Jumat (30/5/2023) lalu jam 19.57. Pusatnya berada 94 kilometer di selatan Bantul dengan kedalaman 12 kilometer.

“Saya sampai lari ke jalan. Sampai menggak-menggok larinya. Lumayan besar,” ujarnya.

Mungkin, hanya segelintir yang masih menyimpan trauma mendalam seperti Kirzin. Namun, di bulan-bulan awal pascagempa, aura ketakutan terasa di sudut-sudut permukiman.

Warga Blawong lain yang saya jumpai, Sarbini (43), mengaku ingat, banyak lansia di kampung yang sempat tidak berani tidur di rumah. Mereka memilih tidur di teras karena ketakutan itu.

“Mungkin beberapa bulan setelah gempa masih banyak yang seperti itu. Setelah itu sudah pulih. Tidak banyak yang mengalami ketakutan seperti Pak Kirzin,” tuturnya.

Trauma warga Bantul setelah gempa

Trauma psikologis memang jadi momok yang tak kalah mengerikan ketimbang dampak lain dari bencana. Secara terminologis, Trauma mengacu pada pengalaman yang menyebabkan reaksi stres fisik dan psikologis yang intens. Bentuk traumanya bisa berbeda-beda pada setiap mereka yang mengalaminya.

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD DIY, Danang Samsu mengungkapkan bahwa dampak psikologis dari bencana merupakan hal yang jadi perhatian bagi instansinya. Saat terjadi bencana di Jogja, selain posko kesehatan fisik terdapat juga posko untuk pendampingan psikologis korban. Hal itu sesuai mandat UU No 24 Tahun 2007 bahwa salah satu aspek dampak dari bencana adalah psikologis.

“Dampak kesehatan dari bencana itu meliputi kesehatan fisik dan juga jiwa. Jadi ada juga posko kesehatan sub kluster pemulihan psikososial,” paparnya saat Mojok hubungi Rabu (27/9/2023).

Tragedi gempa Jogja 2006 membuat instansi penanggulangan bencana melakukan penguatan kapasitas masyarakat lewat program Kelurahan Tangguh Bencana. Lewat program ini, kelompok dalam masyarakat melakukan penilaian mandiri soal ancaman dan kerentanan di wilayahnya.

“Lewat pendataan tersebut mereka tahu mana yang berpotensi mengalami tekanan secara psikologis. Lansia jadi salah satu yang rentan,” ujarnya.

Jogja merupakan wilayah dengan potensi ancaman gempa bumi yang cukup tinggi. Ia berharap hal yang Kirzin alami juga jadi pengingat bahwa dampak psikologis bencana bisa bertahan lebih lama ketimbang cedera fisik.

Selain itu, paling penting masyarakat perlu memahami bahwa dampak dari gempa bumi bisa diminimalisir dengan konstruksi bangunan yang kuat. Juga dengan kondisi kejiwaan yang sehat.

“Penting untuk disampaikan, jangan takut pada gempa, tapi perhatikan sisi kesiapan mental dan fisik bangunan,” pungkasnya.

Penulis : Hammam Izzuddin

Editor  : Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Kampung Ahli Sumur di Jogja yang Mendadak Ditinggal Laki-laki Usai Gempa 2006

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version