UMR Yogyakarta: Kisah Para Pekerja dan Mitos Biaya Hidup Murah

Potret pekerja di kota Jogja (Syaeful Cahyadi/Mojok.co).

Perbincangan mengenai upah minimum regional (UMR) di Yogyakarta kerap bernada sinis. Hal ini karena kecilnya besaran UMR Yogyakarta. Lantas bagaimana kehidupan para pekerjanya? Mojok berbincang dengan tiga orang pekerja di Yogyakarta. Ketiga narasumber Mojok kali ini meminta namanya disamarkan.

***

Sabtu (18/12) jam menunjukkan pukul 8 pagi saat Iksan (18), warga Sleman, keluar dari sebuah area pabrik dan menuju loker. Jaket dan handphone ia keluarkan. Matanya tampak memerah. Karyawan pabrik garmen di Sleman ini baru saja selesai shift malam.

Seharusnya, ia bisa keluar area pukul 7 pagi. Namun, hari itu ia tidak bisa mencapai target dan harus lembur satu jam. Sepeda motornya ia pacu pelan menuju rumah sambil menahan rasa kantuk dan perih matanya karena bertemu cahaya matahari pagi.

Rutinitas ini telah ia jalani selama 3 bulan belakangan. Ia baru saja lulus SMK saat mendaftar di pabrik tempatnya bekerja. Kini Ia telah menyelesaikan masa training dan baru saja menandatangani kontrak bekerja untuk 3 bulan ke depan.

Di sudut lain Kota Yogyakarta, Vera (27), perantau asal Jawa Tengah, baru saja selesai memasak di kosnya. Ia bersantai sembari menonton TV di kamarnya. Agak siang nanti ia berencana pergi nongkrong bersama rekan-rekannya. Sudah menjadi rutinitas bagi Vera yang bekerja di perusahaan start-up bidang IT ini jika akhir pekan adalah hari dimana ia bisa santai.

Tahun ini adalah tahun keenamnya bekerja setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja. Tiga kali sudah Vera berpindah pekerjaan. Di perusahaan yang sekarang, ia sudah 3 tahun bekerja sebagai staf pemasaran dan telah menjadi pegawai tetap. Perusahaannya memberlakukan jam kerja 9 jam per hari, mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 WIB.

Besaran UMP dan UMK di Yogyakarta

Diskusi soal UMR Yogyakarta biasanya akan terpecah ke dua pandangan. Pertama, bersyukur jadi salah satu kunci menghadapi rendahnya upah di Jogja. Kedua, menganggap bahwa gaji di Jogja memang terlalu rendah.

Untuk diketahui, UMR sendiri saat ini telah berubah penamaannya menjadi upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X telah mengumumkan besaran UMP dan UMK di Yogyakarta tahun 2022 pada tanggal 19 November 2021. Besaran UMP Yogyakarta 2022 adalah Rp1.840.915,53.

Sedangkan untuk UMK di Yogyakarta rinciannya adalah sebagai berikut: UMK Kota Yogyakarta 2022: Rp2.153.970, UMK Sleman 2022: Rp2.001.000, UMK Bantul 2022: Rp1.916.848, UMK Kulonprogo 2022: Rp1.904.275, dan UMK Gunungkidul 2022: Rp1.900.000.

Ilustrasi pekerja Jogja Mojok.co
Ilustrasi pekerja di Yogyakarta (Syaeful Cahyadi/Mojok.co).

Namun, UMR dan realita di lapangan terkadang berbeda. Iksan misalnya, menjalani 3 bulan masa trainingnya dengan upah 1,5 juta rupiah. Di kontrak barunya, ia mendapatkan gaji 1,7 juta rupiah. Pun, tidak ada janji soal kenaikan gaji per tahunnya, apalagi kontraknya hanyalah 3 bulan.

Dari gajinya, ia bisa menyisihkan sekitar 150 ribu rupiah per bulan sebagai tabungan. Lainnya, habis untuk biaya transportasi, biaya makan, dan biaya hidupnya sehari-hari. Salah satu hasil bekerja yang ia banggakan adalah handphone baru senilai 1,6 juta rupiah.

“Tapi ini juga kredit, sebulan 300 ribu,” kata Iksan.

Di sisi lain, beban kerjanya sebagai operator mesin waving juga lumayan berat. Ia bertugas mengganti gulungan benang. 8 Jam sehari ia habiskan dengan berdiri dan jika tidak mencapai target harus lembur satu jam tanpa bayaran.

Menurutnya, bagian itu adalah salah satu bagian paling berat di pabrik. Di sana ia tidak boleh lengah sedikitpun. Jika tidak, keselamatan dirinya menjadi taruhan. Ia berkisah, beberapa hari lalu ada karyawan perempuan kehilangan rambutnya karena terjepit mesin.

Di keluarganya, Iksan adalah generasi kedua yang bekerja di pabrik. Ibunya sejak 10 tahun belakangan juga bekerja di pabrik. Remaja itu tidak punya banyak pilihan. Membayangkan akan berkuliah pun ia tidak berani.

Kini, Iksan hanya ingin menikmati kehidupan barunya sebagai pekerja. Tidak ada rencana muluk di benaknya selain berusaha menabung sebisanya dan membahagiakan kedua orang tuanya.

“Besok kalau sudah naik gaji semoga bisa memberi sedikit ke mereka (orangtua), sekarang sih bisanya baru mentraktir adik dan ponakan-ponakan,” ujarnya.

Kerja keras para pekerja

Iksan bercita-cita ingin kuliah. Di benaknya, itu seperti sebuah jaminan demi pekerjaan dan gaji yang lebih baik. Kisah Vera setidaknya mengkonfirmasi impian Iksan. Dengan ijazah sarjana, Vera bisa mengantongi penghasilan 3 juta per bulan.

Terdengar menyenangkan, tapi Vera masih harus berhemat. Ia, misalnya, memilih memasak sendiri. Kadang, jatah catering kantor ia bawa pulang. Ia juga mencoba membatasi jadwal nongkrongnya sehingga tidak terlalu boros.

Vera juga memiliki target satu juta rupiah per bulan untuk tabungan. Dengan begitu ia masih bisa berlibur 2 kali setahun. Namun, tidak semua kisah sarjana punya nasib seperti Vera.

Dian (25), warga Bantul, adalah salah satunya. Ia punya pengalaman pahit soal pekerjaan sebelumnya. Dua tahun lamanya ia terjebak di sebuah pekerjaan yang benar-benar menguji mental dan kesabarannya.

Semua bermula dari semangatnya mencari pekerjaan selepas lulus kuliah. Ia mendaftar di sebuah lembaga bimbingan belajar sebagai seorang staf, sesuai dengan iklan lowongan yang tertera di sosial media.

Hingga, ia sadar bahwa semuanya hanya sekedar bahasa iklan. Kenyataannya, ia harus merangkap 3 tugas sekaligus: tenaga pengajar, tenaga pemasaran, dan pembuat konten media sosial. Bahkan ia dan karyawan lain juga diharuskan membersihkan kantor.

“Kan kantornya cuma kecil, tanggung kalau harus cari office boy. Kalian saja yang membersihkan, nanti gantian,” demikian alasan dari atasan.

Masalah jam istirahat juga jadi masalah, ia berkisah atasannya tidak menyukai jika pegawainya keluar terlalu lama. Si atasan lebih menyarankan pegawainya makan siang di kantor, dengan alasan bahwa sebelum siang pekerjaan mereka sebenarnya santai, sehingga tidak membutuhkan istirahat lama. Semua keluh itu dilengkapi dengan gaji pokok yang hanya 1,5 juta per bulan.

Jika dijumlahkan dengan variabel lainnya, rata-rata dalam sebulan Dian bisa membawa pulang 2,2 juta. Jam kerjanya mulai dari pukul 9 pagi. Saat pagi ia harus berkeliling mencari klien. Dan Ketika siang, ia berganti jobdesk, entah sebagai pengajar atau staf biasa.

Salah satu alasannya kenapa ia tetap bertahan karena ia harus menghabiskan kontrak 2 tahun. Jika tidak ia akan terkena denda 4 juta lebih jika mengundurkan diri sebelum kontrak usai. Selain itu, ia juga berharap bisa dapat pemasukan lebih karena adanya janji bonus besar jika bisa mendapatkan klien baru. Namun sekali lagi, itu hanya pepesan kosong.

Ia mengenang, suatu kali berhasil mendapatkan klien dengan nilai kontrak puluhan juta rupiah. Namun, kenyataannya, ia hanya mendapatkan bonus tidak sampai satu juta.

Dengan itu semua, ia masih harus mencari pemasukan lain. Sepulang kerja, ia masih menyempatkan mengajar sebagai guru les selama satu hingga dua jam. Semua itu, karena ia dan ketiga saudaranya harus bergantian membiayai keluarga mereka. Gaji pokok yang rendah dan total akumulasi gaji yang tidak pasti membuatnya tidak berani berharap banyak.

Jogja memang istimewa, tapi tidak dengan gajinya. Bahkan, perlindungan terhadap para pekerjanya pun belum lah maksimal. Iksan misalnya. Lingkungan kerja berdebu membuatnya harus selalu mengenakan masker. Namun, itu harus dibelinya sendiri karena pihak pabrik tidak menyediakan. Maka, sebulan sekali ia harus membeli satu kotak masker.

Hal yang sama juga turut dialami oleh Dian. Sebagai tenaga pemasaran yang sering berada di jalanan, ia tidak mendapatkan perlindungan apapun, entah itu BPJS kesehatan ataupun BPJS ketenagakerjaan. Pihak kantor hanya memberi uang transportasi 10 ribu per hari.

Mitos biaya hidup murah

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Istianto Ari Wibowo, memberikan gambaran lebih luas soal kondisi pekerja di Jogja. Menurutnya, kondisi Jogja yang bukan kota industri membuat UMR kota ini cenderung rendah.

Selain itu, dari aspek budaya, ia beranggapan bahwa mitos biaya hidup murah juga turut menyuburkan hal ini. Sementara, standar upah minimun yang ditetapkan di bawah survei kebutuhan hidup layak (KHL) adalah sebuah kondisi yang kian menempatkan pekerja di kondisi sulit.

“Gaji UMR, akhirnya, hanya cukup untuk kebutuhan dasar. Pertanyaannya, apakah mereka akan begitu terus? Kan mereka juga butuh biaya demi hidup lebih layak?” ucap Istianto.

Ilustrasi pekerja di jalanan kota Yogyakarta (Agung Purwandono/Mojok.co).

Sebagai contoh, satu hal yang membayangi banyak orang di Jogja adalah mahalnya harga properti. Vera misalnya, gajinya boleh saja 3 juta, tapi ia tetap tidak berani bermimpi banyak soal rumah. Beberapa tahun lalu, ia sempat berencana mengajukan KPR tapi niat itu ia urungkan. Pertimbangannya, ia merasa sisa gajinya terlalu sedikit jika harus dipotong rata-rata 1,5 juta per bulan sebagai angsuran.

Mojok kemudian mencoba memasukkan kata kunci ‘harga rumah KPR termurah di Jogja’ di mesin pencari Google. Hasilnya muncul iklan properti yang angkanya dimulai dari 130 juta rupiah.

Mahalnya properti di Jogja juga bukan hanya soal rumah semata tetapi juga biaya sewa kos. Kala Mojok coba mencari di internet dengan kata kunci ‘sewa kos paling murah di Jogja’, angka rata-rata yang muncul adalah 500 ribu per bulan untuk kos kosong, tanpa fasilitas apapun. Vera misalnya, harus mengeluarkan uang 650 ribu per bulan untuk kos dengan fasilitas kamar mandi dalam dan dapur.

Menyoal properti, tidak semua orang rasanya punya gambaran soal ini. Membayangkan saja tidak berani. Dian misalnya, merasa masih sangat abu-abu soal rencana jangka panjangnya. Setelah resign dari pekerjaannya sebagai staf di lembaga bimbingan belajar, fokusnya kini adalah mencari pekerjaan lebih layak.

Sementara itu, Iksan punya keinginan yang jauh lebih sederhana. Ia hanya berencana pindah ke pabrik yang lebih santai dalam bekerja. Ia tidak bermimpi tinggi soal gaji, Iksan sadar, ijazahnya hanyalah lulusan SMK.

Menurut Istianto, hal lain yang juga turut mendasari rendahnya gaji adalah bagaimana kelompok pengusaha memandang karyawan. Apakah mereka diletakkan sebagai manusia yang butuh hal selain makan dan minum atau mereka hanya diletakkan sekadar sebagai alat produksi.

“Cukup diberi makan minum, lalu mereka bekerja, dan jika mereka tidak kuat tinggal diganti dengan orang lain,” ujarnya.

Vera, Dian, dan Iksan hanyalah sebagian kecil kisah pekerja di daerah istimewa bernama Jogja. Banyak orang bermimpi bisa hidup di sini. Namun, beberapa orang di kota ini, harus bekerja ekstra keras menghidupi mimpi-mimpi sederhana. Mereka memang tinggal di kota nan istimewa, namun sayang keistimewaan tidak turut singgah di kisah mereka sebagai pekerja.

BACA JUGA Kisah Mbah Harto, Perajin Tanduk Kerbau Terakhir di Yogyakarta dan liputan menarik lainnya di Susul. 

Reporter        : Syaeful Cahyadi
Editor            : Purnawan Setyo Adi

 

 

Exit mobile version