Tempe tak cuma dari kedelai. Hampir semua jenis kacang-kacangan atau legume bisa dibuat menjadi tempe. Nenek moyang kita mewariskan ilmu tentang ragam tempe yang sayangnya kini tak banyak yang mengenalnya.
Yuni (38) pembuat dan penjual tempe koro di Pasar Bibis, Godean menggelengkan kepala ketika ditanya apakah tempe buatannya masih ada. Setiap hari ia menghabiskan 12 kilogram kacang koro sebagai bahan.
“Dijual 1.000 rupiah dapat 4,” kata Yuni. Setiap hari, tempe buatan Yuni selalu habis. Ada saja yang berminat membeli tempe buatannya.
Di tempat lain Murniatun selalu mengirimkan tempe koro yang dibungkus daun pisang dan jati ke Jakarta dari Wintaos, Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Jumlahnya antara 1.700 – 2.000 tempe. Ia belajar membuat tempe koro dari ibunya yang juga belaja membuat tempe koro dari nenek buyutnya.
“Proses membuatnya lebih rumit dari membuat tempe kedelai. Karena kalau tidak bisa mengolahnya ada kandungan racunnya,” kata Murni saat dihubungi Mojok.co.
Prosesnya mulai direndam selama semalam, selanjutnya dikukus hingga agak empuk. Setelah itu koro dikupas kulit arinya sambil direndam selama tiga hari. Setiap hari air rendaman diganti dengan air baru. Setelah ditiriskan kembali dikukus hingga matang, baru kemudian ditaburi ragi tempe.
Selain tempe koro, Murni juga membuat tempe lainnya seperti tempe kacang ijo, kacang tholo, kedelai hitam, kacang gude, dan benguk. Tempe tersebut dijual melalui Kedai Sehat Pagesangan yang merupakan unit usaha dari Sekolah Pagesangan dimana Murni aktif di dalamnya.
Pendiri Sekolah Pagesangan, Diah Widuretno kepada Mojok.co mengatakan, aktivitas berjualan produk olahan tempe nonkedelai putih bukan semata untuk tujuan bisnis. Namun, tujuannya adalah edukasi serta pemuliaan benih.
Baca Juga :Mementahkan Stereotip Orang Ngapak Emosian dengan Tempe Mendoan
Perempuan yang biasa dipanggil Mba Diah ini mengatakan, tahun 2013 Sekolah Pagesangan melakukan proses belajar identifikasi pangan yang ada di masyarakat. Pangan yang diusahakan sendiri oleh masyarakat mulai dari menanam, mengolah, mengawetkan hingga mengonsumsinya. Ketemulah tempe.
Dari penelusuran itulah diidentifikasi jenis-jenis tempe, seperti koro, benguk, tempe dari mlanding, kedelai hitam, kacang ijo, tolo. “Kami banyak menemukan tempe-tempe yang tidak umum, yang sejak zaman nenek moyang kita sudah jadi bahan pangan,” kata Mba Diah yang juga penulis buku ‘Gesang di Lahan Gersang’.
Keragaman jenis tempe tersebut saat ini kondisinya kritis. Pengetahuan membuat tempe dari bahan non kedelai sudah sedikit yang menguasainya. Sehingga salah satu cara untuk melestarikan ilmu tersebut adalah dengan mengenalkan kembali jenis-jenis tempe tersebut kepada masyarakat.
“Jualan tempa itu salah satu cara merekonstruksi kembali pangan-pangan lokal. Tujuannya untuk literasi pangan, jualan tempe bukan untuk kesejahteraan, tapi lebih ke edukasi, misi pertema memperkenalkan bahwa tempe kita beragam, misi kedua, untuk melestarikan benih,” ujar Mba Diah.
Benih menurut Mba Diah, merupakan sumber daya yang agak berbeda. Benih itu semakin banyak dikonsumsi semakin banyak yang ditanam, semakin banyak ditanam semakin lestari. “Semakin kamu banyak mengkonsumsi, semakin banyak menanam, maka benih akan lestari,” kata Diah.
Menurut Diah, seharusnya orang di Indonesia bersyukur karena punya warisan budaya pangan yakni fermentasi tempe. Nenek moyang telah mengembangkan teknologi produksi tempe tidak hanya dibuat dari kedelai. Sejak dulu, lauk tempe tidak hanya soal tempe kedelai.
Budaya dan pengetahuan lokal tersebut menunjukan aneka macam tempe bisa dibuat dari aneka legume atau kacang-kacangan. Sebut saja tempe koro, benguk, tempe botor (biji kecipir), tempe gudhe, tempe lamtoro/mlandingan, tempe kacang ijo, tempe tholo, tempe kedelai hitam dan lainnya.
Sayangnya pengetahuan tersebut terkikis setelah revolusi hijau atau modernisasi pertanian. Masyarakat yang semula mengusahakan sendiri pangan mereka kemudian bergantung pada industri. Mengaburkan kearifan pangan lokal di setiap daerah.
Revolusi hijau sendiri memiliki pengertian sebagai modernisasi sistem dan budaya pertanian di negara-negara berkembang. Melalui modernisasi pertanian ini petani dikenalkan dengan penggunaan pupuk buatan, pestisida, bibit unggul, peralatan pertanian modern dan sistem budaya pertanian yang baru.
Kondisi ini bertentangan dengan sistem pertanian yang sudah dilakukan oleh nenek moyang. Ciri khas pertanian modern adalah monokultur, pangan dikelola dalam skala besar, tanpa batasan jarak dan tidak ada batasan produksi serta diperdagangkan.
Baca Juga : Tahu Tempe, Kedaulatan Pangan, dan Reza Rahadian
Modernisasi itu juga yang membuat tempe yang terbuat dari berbagai kacang-kacangan atau legume itu tersingkir. Menurut Diah, tiap daerah memiliki tempe dengan ciri khas tersendiri. Semuanya menyesuaikan potensi alam di sekelilingnya.
Di Gunungkidul sendiri ia mengenal benguk, tempe mlanding di Wonogiri. “Di Bantul ada tempe yang terbuat dari gayam. Masyarakat itu sangat adaptif terhadap lingkungan sekitar, mereka bisa memanfaatkan apa yang ada di sekeliling mereka,” kata Mba Diah.
Saat ini masyarakat lebih mengenal tempe dari kedelai putih. Kedelai putih menjadi salah satu produk modernisasi pertanian yang kemudian diglobalkan. Amerika Serikat negara yang memproduksi kedelai terbesar di dunia. Kedelai sendiri sebenarnya baru dikenal Amerika Serikat belum lama. Di tahun 70-an mereka belajar dari Indonesia.
Amerika Serikat mengembangkan kedelai untuk kebutuhan pakan ternak dan bahan bakar. Oleh Indonesia yang merupakan negara dengan kultur tempe yang kuat, justru digunakan untuk bahan membuat tempe yang notebene adalah bahan pangan.
Diah menilai ada proses pelemahan martabat petani. Salah satunya dari sisi harga produk pertanian yang dihasilkan. Kalaupun harga mahal, belum tentu keuntungannya dinikmati petani tapi para pemburu rente dan kartel.
Salah satu program dari Sekolah Pagesangan yaitu berbagi benih. Program ini adalah upaya konservasi sekaligus membuat jejaring bank benih bagi siapapun yang ingin menanam.
Benih-benih yang dibagikan sebagian besar adalah jenis kacang-kacangan. Harapannya dengan semakin banyak yang menanam, maka semakin banyak yang mengonsumsi dan pangan lokal semakin lestari.
Baca juga liputan tentang kedelai : Kedelai Lokal yang Terpinggirkan
[Sassy_Social_Share]