Masjid Pathok Negara Babadan Kauman jadi saksi ragam sejarah. Salah satunya halaman masjid ini jadi tempat Latihan perang pasukan Diponegoro sebelum maju ke medan perang.
***
Di dekat kaki saya, sebuah bola plastik berhenti. “Mas, Mas, tendangke rene!” teriak beberapa bocah sambil berjingkrak-jingkrak. Dia dan teman-temannya memasang posisi ala pemain profesional. Bola berpindah, di tengah rintik hujan petang itu mereka bermain.
“Kok ora TPA?” tanya saya ke seorang bocah laki-laki.
“Wis rampung kok,” sahutnya sambil celingukan mengamati jalannya bola.
Azan Isya kemudian berkumandang dan saya bergegas masuk ke dalam. Sebuah kaligrafi besar terpampang di dinding. Bagian serambi digunakan untuk jamaah perempuan sedangkan jamaah laki-laki berada di dalam. Kini saya sedang berada di Masjid Pathok Negara Ad-Darojat Babadan Kauman.
Perintah sang guru raja
Masjid Pathok Negara Ad-Darojat menjadi pathok negara di sebelah timur Yogyakarta. Secara geografis, bangunan ini berada di Kecamatan Banguntapan, Bantul. Namun, letaknya lebih dekat dengan Kota Yogyakarta. Karena berada di sebelah selatan Timoho, di tengah perkampungan warga di Dusun Babadan Kauman.
Bangunan masjid ini tampak bernuansa keraton Jawa. Ini berkat sebuah gapura di bagian depan dan gaya atap bertingkat yang sudah tampak dari jauh. Halaman masjid luas dan tidak memiliki kolam di sekeliling masjid. Di bagian kiri serambi, terpampang sebuah papan nama dengan tulisan Masjid Ad-Darojat.
Sejarah masjid Ad-Darojat bisa ditarik dari perintah Hamengkubuwono I tatkala berguru ke Kiai Mohammad Faqih di Wonokromo, Bantul. Saat itu sang kiai menyarankan Hamengkubuwono I membangun masjid di 4 sudut kerajaan supaya Keraton Yogyakarta bisa stabil dan maju.
Mas Jajar Muhammad Suhari (50), abdi dalem kemasjidan di Masjid Ad-Darojat, mengatakan bahwa jabatan pathok negara pertama di Masjid Ad-Darojat berada di tangan sosok bernama Kiai Karang Besari. Ia menyebut nama ini sebagai anak dari Kiai Nur Iman, pendiri Masjid Pathok Negara Mlangi.
Berdasarkan cerita turun temurun, masjid pathok negara di Babadan Kauman ini dibangun pada tahun 1774. Dan sejak masa itu, aneka peristiwa sejarah telah disaksikan oleh masjid pathok negara untuk wilayah timur ini.
Di masa Perang Jawa, Suhari menyebut wilayah sekitar Babadan Kauman menjadi salah satu penyokong prajurit bagi pasukan Diponegoro. Halaman masjid sering digunakan untuk arena berlatih perang bagi para prajurit.
“Karena memang salah satu fungsi masjid pathok negara adalah untuk pusat pertahanan, baik secara keamanan maupun kebatinan,” terang Suhari. Sementara secara kebatinan, fungsi ini berkaitan dengan peran masjid pathok negara sebagai penahan arus budaya dari luar, termasuk pengaruh Belanda di Yogyakarta.
Sama seperti masjid pathok negara lainnya, Masjid Ad-Darojat juga menjadi tempat pengadilan surambi di masa lalu. Sebuah pengadilan dengan basis syariat Islam dengan menggunakan budaya Jawa. Namun, sepengetahuan Suhari, fungsi ini hilang tatkala Perang Jawa berakhir dan Diponegoro menelan kekalahan. Saat itu, pengadilan surambi dihapuskan oleh Belanda dan segala kewenangan pengadilan diambil alih oleh mereka.
“Sejak saat itu masjid pathok negara hanya menjadi tempat ibadah,” ungkapnya.
Keberadaan masjid pathok negara memang tidak bisa dilepaskan dari kontestasi politik pasca-Perang Jawa. Hal ini dibenarkan sendiri oleh Riswinarno, Kepala Prodi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga sekaligus arkeolog Kementerian Agama.
Pasca Java Oorlog, ungkap Riswinarno, pemerintah Hindia Belanda agak trauma dengan kelompok santri dan ulama. Sebab, dua kelompok ini memegang peran penting dalam kekuatan Perang Diponegoro. Maka, selepas Perang Jawa, jabatan penghulu tidak lagi ditunjuk sepenuhnya oleh keraton.
Perang Jawa, lanjut Riswinarno, juga menjadi momentum pemerintah Hindia Belanda untuk membatasi kekuasaan ulama. Maka, pengangkatan jabatan penghulu pun belakangan harus melewati persetujuan pihak Belanda, tidak lagi murni kewenangan keraton. Setelah masa itu, keberadaan pengadilan surambi tinggal cerita, dan seperti kata Suhari: tinggal menjadi tempat ibadah.
Masjid Ad-Darojat di masa Jepang dan PKI
Jika Masjid Pathok Negara Dongkelan pernah dibakar Belanda, maka masjid Ad-Darojat pernah hilang karena dibongkar lalu dipindahkan oleh serdadu Jepang. Alasannya, Dusun Babadan Kauman hendak dijadikan gudang mesiu. Para warga sekitar turut dipindahkan ke daerah Kentungan, Jalan Kaliurang. Peritiwa tersebut terjadi pada tahun 1942 dan membuat Babadan Kauman menjadi kampung mati.
Selepas Indonesia merdeka dan Jepang pergi, beberapa warga mulai mencoba membangun kembali masjid secara sederhana. Agaknya, kala itu, status lahan sebagai bekas masjid pathok negara juga masih abu-abu. Dugaan ini berkaitan dengan kisah selanjutnya yang dituturkan Suhari.
Kala itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) hendak menggunakan lahan bekas masjid untuk dijadikan panggung ketoprak. Status lahan juga sempat mengalami tarik ulur akibat kebijakan land reform ala PKI. Seorang kiai bernama Kiai Muthohar kemudian meminta izin Sultan Hamengkubuwono IX untuk membangun ulang masjid Pathok Negara Babadan pada 1965.
Pembangunan ulang masjid juga melahirkan nama baru: Ad-Darojat. Cerita Suhari, nama ini diambil dari nama kecil Hamengkubuwono IX yaitu Dorojatun, sebagai bentuk penghormatan atas peran sang raja selama proses pembangunan ulang. Sementara kata darojat, menurut Suhari, punya arti ‘meningkatkan’ dalam bahasa Indonesia.
Sejak saat itu, proses pembangunan dan renovasi dilakukan secara bertahap pada 1974, 1982, 1992, dan terakhir pada 2004. Masih menurut Suhari, masjid ini kini sudah disesuaikan sebagaimana bentuk aslinya. “Ya sudah sekitar 80% kemiripannya. Tapi keberadaan kolam memang tidak ada,” lanjutnya.
Masjid seluas kurang lebih 1000 meter ini juga mempunyai komplek makam di bagian belakangnya. Sang abdi dalem memperkirakan, di makam itulah dikebumikan para ulama dan pathok negara terdahulu. Sebab, menurutnya, masyarakat cukup kesulitan menengarai keberadaan nisan-nisan dengan tulisan aksara Jawa tersebut.
“Yang pasti, ada makam Kiai Lurah Sorowedi I-IV yang diperkirakan meninggal tahun 1805,” cetusnya. Terkait sosok tersebut, Suhari menjelaskan bahwa itu adalah abdi dalem suronoto yang ia sebut sebagai departemen agama keraton di masa silam.
Memakmurkan masjid
Empat soko utama masjid terlihat sangat kokoh di bagian dalam. Karateristik masjid lawas. Sekilas, bangunan utama masjid mirip dengan gaya rumah joglo. Hal lain yang khas dari masjid ini adalah umpak batu yang ditambah sebuah ukiran di atasnya sehingga tampak lebih tinggi. Tidak ada mimbar berbentuk kotak kayu besar mirip tandu. Hanya ada mimbar kayu biasa dengan lambang Keraton Yogyakarta di bagian depan.
Di dinding sisi barat, terdapat ornamen kaligrafi berukuran besar. Sementara di bagian atas pengimaman, ada sebuah ornamen ukiran dan disambung dengan kaligrafi. Nuansa bagian dalam masjid ini memang tidaklah ‘selawas’ masjid kuno, namun nuansa Jawa tetap begitu terasa.
Masjid pathok negara Babadan atau masjid Ad-Darojat hari ini tidak hanya menjadi sebuah tempat ibadah semata. Selama pandemi kemarin, ada lumbung pangan untuk warga yang menjalani isolasi mandiri. Semua kebutuhan pokok mereka ditanggung oleh masjid, dana untuk hal ini diambil dari infak jamaah.
Sejak tahun 1985, masjid ini juga punya beasiswa pendidikan untuk anak kurang mampu. “Dan masih jalan terus sampai sekarang, loh,” kata Suhari dengan nada bangga. Di hari biasa, ada pula acara TPA untuk anak-anak sekitar kampung. “Kemakmuran masjid benar-benar kami perhatikan,” pungkas Suhari.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi