Suara Gemuruh Bikin Panik Warga di Pos Pengungsi Gunung Semeru

Senin (6/12) pagi pukul 03.30 WIB, jalan raya yang sepi di kawasan pengungsian Kantor Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang mendadak riuh. Ada kabar suara gemuruh Gunung Semeru terdengar, bakal ada banjir lahar dingin dari lelehan larva erupsi.

Malam hari hujan turun cukup deras, kondisi ini bikin tentu saja bikin was-was. Warga sudah memahami mitigasi turun-temurun bila hujan turun setelah Gunung Semeru mengalami erupsi, potensi banjir lahar dingin sewaktu-waktu bisa terjadi.

Posko pengungsian di Desa Sumberwuluh merupakan posko utama bagi korban erupsi Gunung Semeru. Lokasi ini letaknya strategis dan tidak terlalu jauh dari wilayah terdampak erupsi Gunung Semeru. Berbagai petugas gabungan juga berkumpul di posko ini.

Paska Gunung Semeru mengalami erupsi dan mengeluarkan guguran awan panas pada Sabtu (4/12) sore, sebagian besar warga di dua kecamatan, Pronojiwo dan Candipuro mengungsi dan berada di posko ini.

Pagi itu, jalanan di kawasan pengungsian mendadak ramai orang menyalakan kendaraaan, klakson, untuk bersiap turun ke tempat aman. Pengungsi yang tidur di kantor desa pun terbangun.

“Iya jam setengah empat tadi, ada kabar getaran dari atas. Banyak yang bersiap turun, saling menelpon saudara. Saat itu keluarga saya bangun semua,” ujar Syukur (60) warga yang mengungsi di Desa Sumberwuluh.

Pengungsi Gunung Semeru
Keluarga Syukur di pos pengungsian Sumberwuluh, Lumajang, Jawa Timur (M. Ulil Albab/Mojok.co)

Posko utama pengungsi di Lapangan Sumberwuluh juga tidak kalah panik. Travo milik PLN meledak. Kabar adanya suara gemuruh bikin tambah mencekam suasana.

“Travo meledak jam 3-an itu, warga lari semua. Kayak mau kiamat pokoknya. Saat tak tanya lari kemana, ‘pokok lari sak entek e,” ujar Abu Ali, petugas BPBD Jember yang diperbantukan di Lumajang menggambarkan suasana.

Lepas pukul 04.00 WIB, angin kencang berhembus disertai hujan kembali datang. Namun, suasana di pengungsian berangsur normal hingga pukul 05.00 WIB. Warga tampak sudah kembali ke pengungsian.

“Ya memang tidak ada informasi resmi. Sebenarnya suara gemuruh itu sudah biasa, karena gunung aktif. Cuma karena kondisi warga masih trauma, jadi ya beda rasanya,” kata Syukur.

Pagi sekitar pukul 7.00 WIB, Kantor Pencarian dan Pertolongan SAR Surabaya sudah berdatangan ke Desa Sumberwuluh. Pihaknya menggerakkan 700 personil gabungan dari relawan swasta maupun pemerintah.

“Kami membagi 5 tim yang tersebar di Candipuro dan Pronojiwo. Fokusnya di kawasan tambang pasir,” kata Kasi Operasi I Wayan Suyatna, SAR Surabaya.

Suyatna menyebut, pukul 03.30 memang terdapat getaran dari Gunung Semeru. Namun masih dalam tahap wajar.

“Iya memang ada getaran kecil terpantau. Tapi tidak apa-apa,” katanya.

Sementara itu, relawan lokal asal Desa Sumberwuluh, Hambali pada pukul 06.30 WIB, sudah naik ke kawasan terdampak parah, Kebun Renteng, Sumberwuluh. Sejak pertama kejadian, Hambali terpanggil untuk membantu menyisir jenazah yang tertimbun abu vulkanik.

“Hari kedua saya angkat 3 mayat. Hari ini, saya bantu angkat 7 mayat yang ketemu,” katanya.

Hambali menyebut, kabar yang bikin panik pada pagi itu, sebenarnya bisa suara angin yang kencang atau suara getaran gunung aktivitas vulkanik. “Bisa saja suara angin, karena saya cek di sungai itu tidak ada aliran baru,” katanya.

Sebenarnya, selain memahami peta mitigasi secara alamiah. Warga Sumberwuluh ‘sudah biasa’ merasakan suasana panik sewaktu-waktu menghadapi erupsi Gunung Semeru.

“Dulu kalau erupsi warga naik ke bukit. Atau ke tempat yang lebih tinggi,” katanya.

Hanya saja, kata Hambali, peristiwa erupsi 4 Desember, seolah tanpa permisi, Gunung Semeru langsung memuntahkan awan panas dan material vulkanik.

Hal senada juga disampaikan Syukur. Sejak tahun Sejak 1965, hingga saat ini rumahnya sudah 7 kali rusak diterjang luapan banjir akibat erupsi Gunung Semeru. Ia memang sedari muda sudah bekerja menjadi pencari pasir “besi” di kawasan sungai muntahan Gunung Semeru.

“Rumah saya sudah 7 kali rusak terkena banjir lahar Semeru mulai tahun 1965,” katanya.

“Yang sekarang gak ada tanda-tanda. Kalau dulu, petir dari ujung gunung Semeru. Kalau ada petir, mau ada tanda bahaya,” jelasnya.

Belajar dari peristiwa. Ia terus membangun rumah non permanen-nya, ke tempat yang lebih tinggi. Ia juga lari ke bukit bernama Bukit Banteng setinggi 25 meter untuk menyelamatkan diri.

“Jadi bikin rumahnya semakin ke barat, semakin tinggi. Paling besar seingat saya itu tiga kali. Tahun 1990-an, tahun lalu 2020, dan sekarang. Tahun 1990-an itu saya naik ke Bukit Banteng, tinggi lahar itu sudah kurang 2 meter,” jelasnya.

Pos pengungsian warga di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang (Mohamad Ulil Albab/Mojok.co)

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat, sejak tahun 1960-an, memang terjadi erupsi Gunung Semeru secara beruntun pada 1963, kemudian di tahun 1967-1969 dan 1972-1990. Selanjutnya tercatat meletus pada 1992 dan 1994. Pada tahun 1994 Gunung Semeru juga tercatat meletus sebanyak 9 kali dan menjadi letusan terbesar.

Kali ini, saat Semeru kembali erupsi. Ia memutuskan untuk segera membonceng istrinya ke tempat pengungsian. Ia kemudian kembali lagi ke kawasan Kebun Renteng untuk menjemput cucu dan anaknya.

“Kalau dulu, saya bawa cangkir, piring, (benda berharga) lari ke atas, namanya Bukit Banteng, lebih 25 meter,” jelasnya.

Kabarnya kawasan tersebut sudah kurang ideal karena menjadi lahan pertanian.

Sementara itu, Mujianti (56) istri Syukur sudah lebih sigap. Ia sama sekali tidak memperdulikan materi di rumah saat bencana terjadi.

“Saya gak mikir materi sekarang yang penting orangnya selamat,” ujar pasangan yang baru menikah 4 tahun ini.

Mujianti mengingat bagaimana saat erupsi terjadi. Mulai pukul 09.00 WIB, listrik sudah padam. Dan saat peristiwa erupsi pukul 14.30 WIB, listrik kembali menyala pukul 16.00 WIB.

“Meletus jam setengah 3. Pertama kayak abu, terus jam 4 kayak magrib, kayak malam. Terus setengah lima mulai terang, tidak terlalu parah sudah gak gelap,” katanya.

Mujianti menyebut, akan tetap setia menemani suaminya yang hidup mencari pasir. Ia menolak menggunakan istilah menambang pasir, karena suaminya hanya pencari pasir tradisional. Meski ia sadar, pekerjaan suaminya sangat berisiko dan bakal hidup berdampingan dengan Gunung Semeru.

“Saya sudah 4 tahun menikah sama bapak. Sebelumnya bapak 20 tahun tidak menikah lagi. Saya harus setia mendampingi, ya meski upahnya kecil,” ujarnya.

Setiap kubik, jenis pasir istimewa yang disebut pasir besi, dihargai Rp 300 ribu, dibagi 3-4 pekerja. Sementara pasir biasa Rp 180 ribu

BACA JUGA  Membongkar Rahasia Blantik: Menepok Pantat untuk Menaksir Berat Badan dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version