Bagi orang Batak, identitas kebatakan bermakna segalanya. Terutama bila menyangkut adat bermarga. Pun bagi yang sudah tidak lagi tinggal di wilayah asal orang Batak. Konon, seorang Batak sejati harus mampu menyebutkan sejarah asal-usul marga ayah dan ibunya serta seluruh tetek bengek turunannya. Mengapa? Agar ia tidak lupa pada asal, sejauh apa pun melangkah. Terutama agar tidak lupa pada keluarga, pada akar tempat ia bermula.
Tersebab itulah mengapa ritual mulak tu huta alias pulang kampung sangat berarti bagi orang berdarah Batak yang hidup di perantauan. Pulang kampung adalah ritual merealisasikan kenangan tentang orang-orang, pemandangan, serta bebauan yang telanjur kabur dari ingatan—meski samar-samar masih terasa akrab. Siapa orang Batak yang tidak rindu kepada harum dan lezatnya makanan khas Batak? Mulai dari arsik, bulung gadung tumbuk, hingga tasak telu? Belum lagi kerinduan teramat besar kepada orang tua. Ke pelukan hangat ibu. Dan bagi sebagian orang Batak, pulang kampung berarti juga menemukan jodoh! Sebab, momen Lebaran dan Natal dimanfaatkan inang-inang Batak yang memang rempong itu untuk saling menjodohkan anak-anak mereka yang sudah hidup di perantauan.
Saya sendiri memiliki kegiatan favorit tersendiri yang rutin dilakukan setiap kali pulang kampung, yaitu mengunjungi rumah salah satu ujing (tante) saya di Sipirok, Tapanuli Selatan. Ujing saya ini orangnya luar biasa ramahnya, masakannya luar biasa enaknya. Layaknya orang kampung pada umumnya, pantang bagi Ujing untuk tidak menyajikan masakan terbaik bagi setiap tamu. Namun, adalah keluh kesahnya yang kerap disisipi humor, serta tak ketinggalan gosip-gosip keluarga yang menarik, yang membuat kunjungan rutin ke ujing satu ini selalu layak dilakukan.
Saya sudah hafal kegiatan demi kegiatan yang akan kami lakukan bersama begitu saya memasuki rumah Ujing. Identik dari tahun ke tahun. Pertama-tama, ia akan menanyakan kabar saya dan mengomentari betapa kurusnya saya. Lalu, dengan segala kerepotannya yang khas, ia akan bergegas ke dapur untuk menyiapkan santapan untuk kami. Saya akan mengikutinya berjalan ke dapur.. Sembari duduk bersila di depan kompor, ia menyeruput kopi dan menyalakan kreteknya. Lalu proses memasak serta obrolan pun dimulai.
Lauk utama hari itu adalah gule limbat (ikan baung yang diasap lalu digulai). Sembari mulai menyiapkan bahan-bahan (ikan asap, kelapa, serta berbagai macam bumbu), Ujing mengawali ceritanya tentang panen yang gagal (lagi) tahun ini. Tanaman kopi tidak berbuah, cabai tidak tumbuh. Hanya penghasilan dari sawah yang agak lumayan.
Lalu obrolan yang lebih merupakan monolog tersebut menyasar ke suaminya. Bunyi kukuran kelapa yang khas beradu dengan nada suara Ujing yang mulai meninggi memaki-maki suaminya.
“Dasar suami tak tahu diuntung! Aku banting tulang di kebun seharian, dia malah anteng saja membual di warung kopi!”
Kesal dan amarah ujing yang meluap tanpa bisa ditahan itu pasti berujung dengan kesimpulan yang selalu sama setiap topik ini muncul.
“Memang semua laki-laki sama saja! Maunya senang dan menang sendiri, padahal tidak bisa diandalkan.”
Cerita yang sebenarnya sedih, bahkan tragis ini, berubah menjadi hiburan karena disampaikan secara dramatis oleh Ujing. Belum lagi gaya bicaranya yang sangat khas perempuan Batak, serta tak henti-hentinya mengisap kretek Gudang Garam kesayangannya. Bawang dijadikan sebagai pelampiasan emosi, dipotong-potong dengan kecepatan yang mencengangkan.
Saya lalu mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya saya sudah tahu akan dijawab apa olehnya. “Kalau gitu, Ujing, buat apa juga nikah, ya? Yang ada malahan nambah pusing aja. Sepertinya setiap cerita pernikahan yang saya dengar nggak pernah ada yang bahagia. Susah terus, merepotkan terus. ”
“Astagfirullah! Nggak bisa gitu. Perempuan harus tetap menikah. Apa pun dan bagaimanapun. Perempuan tetap membutuhkan laki-laki!”
Saya hanya senyam-senyum mendengar jawabannya. Saya bisa saja menjawab, Ujing, laki-laki juga membutuhkan perempuan. Namun, mengapa tekanan untuk tidak hidup sendiri berkali lipat dibebankan kepada perempuan? Dan mengapa banyak sekali perempuan lajang dan janda yang saya temui, hidupnya sangat bahagia, berbanding terbalik dengan stigma yang melekat terhadap perempuan yang hidup sendiri yang ngeri-ngeri sedap itu. Bahkan Badan Pusat Statistik baru saja mengeluarkan rilisan survei yang mendata kelompok orang lajang sebagai kelompok manusia paling bahagia di Indonesia.
Namun saya tidak ingin berdebat hari itu. Terutama saya tidak ingin membuat kesal ujing kesayangan saya yang sudah menyiapkan masakan kesukaan saya. Maka, saya memilih menjawab klise, layaknya seorang keponakan perempuan Batak seharusnya. “Yang sabar sajalah, Ujing. Orang sabar ada balasannya.”
Gule limbat sudah diangkat dari kompor dan diletakkan di mangkuk besar. Sayur hijau kampung telah matang direbus. Serta sambal kentang, timun lalap dan sambal bawang batak telah dihidang. Tak pelak, kami langsung menyerbu hidangan yang tersaji; menghancurkan diet sehat yang telah susah payah dirancang ibu saya dengan melahap berpiring nasi putih asli beras Sipirok yang mengepul panas beserta lauknya yang mengandung kolesterol tinggi. Tak apalah. Sekali-sekali.
Setelah makan, suasana menjadi lebih nyaman. Percakapan-percakapan ringan mulai terlontar. Saya melihat Ujing dan Uda (suami Ujing) bercakap hangat dan mesra. Bahkan tanpa malu-malu bercanda dengan cukup intim di depan kami. Saya bingung, baru beberapa menit yang lalu Ujing membicarakan suaminya dengan gaya seolah-olah akan menikamnya. Namun, ketika makan bersama, kelihatannya seperti tidak ada masalah. Melihat ini, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya tidak mengerti, dan mungkin tidak akan pernah mengerti, tentang pernikahan.
Percakapan merambat ke desas-desus tentang keluarga besar. Tentang sepupu yang kawin lari karena tidak disetujui orang tuanya. Tentang uwak yang memilih untuk bercerai setelah menikah selama 40 tahun. Tentang salah seorang Batak pejabat tinggi di Jakarta yang kedapatan istrinya menikah lagi dengan seorang penyanyi dangdut. Lama-kelamaan pembicaraan beralih ke masalah harta. Orang Batak memang tidak jauh-jauh dari masalah tanah dan uang. Hepeng do na mangatur negara on. Merasa tidak lagi mengikuti pembicaraan yang menarik, saya undur diri dari riuh ruang makan.
Saya kemudian memilih untuk berjalan ke pasar saja. Cuci mata sekalian mencari kudapan khas Sipirok, yaitu panggelong dan golang-golang. Iseng-iseng saya memasuki salah satu toko yang menjual kerajinan tradisional Batak Angkola-Mandailing. Tampak beberapa ibu sedang mengerjakan salah satu kerajinan, yaitu salipi. Lagi-lagi, mereka mengomel tentang suami-suami mereka. Amagoiamang ….
Untungnya, salah seorang ibu mengganti topik dengan cerita bahwa 1.500 buah salipi (tempat menyimpan burangir/sirih) telah dipesan sebagai suvenir pernikahan putri Jokowi, Kahiyang Ayu, dengan putra Batak bermarga Nasution, Bobby. “Semoga perhatian Pak Jokowi akan tercurahkan ke daerah kita ini ya, dengan adanya pernikahan ini. Bayangkan, cucu dari presiden kita nantinya akan bermarga Nasution, menjadi orang Batak.”
Sungguh harapan yang tulus dan cenderung naif. Dalam hati saya menyahut, Bu, zaman sudah berubah. Kebanyakan orang Batak sukses juga toh hanya ingat kampung ketika menyangkut masalah harta serta mendirikan tugu untuk tengkorak moyangnya. Masalah persaudaraan sudah banyak yang tinggal kenangan.
Namun, opini tersebut tentunya hanya sampai di tenggorokan saja. Menanggapi celoteh ibu-ibu tersebut, saya cukup manggut-manggut. Lagian, siapa tahu memang benar harapan mereka. Siapa tahu.
Yang pasti, di tengah panen gagal, ekonomi lesu, pesanan suvenir yang mendesak, serta suami-suami yang menurut istri-istrinya tidak tahu diuntung itu, hidup terus berjalan di Sipirok Nauli. Hidup harus terus berjalan.