“Kita mampir di kedai kopi politik di Donggala dulu sebelum ke Randomayang (perbatasan Mamuju, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah). Selain kopinya yang bisa bikin talinga putus, atmosfer kedainya juga sangat aufklarung. Dimulai dari isu apa pun, sebuah pembicaraan akan selalu berujung pada masalah politik lokal.”
Begitulah kata-kata mendiang sahabat saya Hedar Laudjeng yang asli Donggala. Oleh karena baru kali pertama ke Sulawesi Tengah, pagi itu, sepanjang perjalanan dari Kota Palu saya terus berusaha membayangkan salah satu episode serial Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes T. H., “Prahara di Donggala” (terbit 1975). Sebab, saya mengenal Donggala pertama kali dalam hidup saya, ya dari komik itu.
Tidak sampai satu jam, kami telah memasuki kota pelabuhan Donggala.
Donggala adalah kota kecil dengan sejarah besar: sudah ada sejak tahun 1400-an di bawah kekuasaan Kerajaan Banawa dan mencatat reputasinya sebagai pelabuhan utama Provinsi Sulawesi Tengah yang melayani arus perdagangan nasional dan internasional untuk kopra, damar, kemiri, dan sapi.
Di masa kekuasaan VOC, pelabuhan ini mencatat prestasi gemilangnya sebagai pelabuhan paling ramai di Sulawesi ketika booming kopra pada 1920—1939. Terakhir, sebelum disalip oleh Pelabuhan Pantoloan di Palu pada 1975, Pelabuhan Donggala masih menjadi tempat berangkatnya sejumlah kapal pengangkut kopra Sulawesi Tengah, dengan intensitas yang lumayan tinggi, 4—6 kapal per hari! Itu di masa jaya-jayanya minyak kelapa sebagai salah satu bahan sembako, sebelum ia menjadi korban ujaran kebencian WHO yang mengatakan bahwa minyak kelapa mengandung kolesterol tinggi, mengawali siasat bangke impor besar-besaran minyak goreng dari luar negeri.
Saat ini, pelabuhan tua Donggala nyaris mati suri. Hanya beberapa kapal kecil nelayan yang bersandar. Gudang tua penyimpanan kopra di dalam pelabuhan itu kini tinggal bangunan ringsek menunggu ambruk. Kondisi sakaratul maut menunggu bendera setengah tiang dikibarkan di muka pelabuhan.
Pada sebuah jalan yang berisi rumah-rumah dan pertokoan gaya kota tua, sebelum tikungan ke arah pelabuhan, kedai kopi bernama Nagaya bertengger di sudut jalan. Waktu seperti malas beringsut di Nagaya. Sisa-sisa masa lalu di kedai itu masih bisa dilihat dan disentuh. Mulai dibuka pada awal 1950-an oleh seorang Tionghoa yang kini telah berusia hampir 90 tahun. Anaknya yang kini meneruskan mengelola Nagaya, namanya Kilung.
Kami tiba di Nagaya jelang pukul 10, pagi itu. Memasuki kedai, ruang duduk yang berbentuk persegi sekira 4 x 7 meter, yang sudah hampir penuh pengunjung. Entah sedang terjadi pembicaraan apa di sana, tiba-tiba saja suara Ocang menggelegar.
“Nah, ini Hedar yang ahli hukum datang!”
“Eh, salah apa saya?” balas Hedar.
“Ko tidak salah apa-apa. Kami mau dengar ko punya pendapat sebagai ahli hukum. Di Donggala sini, Kejar Paket C sukses besar! Makanya sekarang disusul Kejar Paket Galian C. Mereka mau hancurkan gunung dan bukit-bukit! Cuma setan yang bisa lakukan, to? Makanya saya mau minta Tuhan untuk pensiunkan setan. Kerja setan sukses luar biasa. Banyak manusia sudah jadi setan!”
“Wah, wilayah Tuhan itu bukan wilayah hukum. Sa tra mau ikut-ikut. Kualat nanti kalo ahli hukum mendahului Tuhan.”
Ocang, lelaki berusia 60-an, merupakan salah satu pengunjung tetap Nagaya. Ia bahkan punya tempat duduk nyaris permanen di sudut kanan dekat jendela sebelah pintu masuk kedai. Orang mungkin enggan mengecek KTP Ocang sehingga tak ada yang tahu nama aslinya. Menurut Hedar, kakek buyut Ocang dipanggil Daeng Peta Lolo, seorang jagoan paling disegani di pelabuhan Donggala. Nama Peta Lolo juga nama pemberian orang, entah siapa pula nama aslinya. Peta Lolo dalam istilah hari ini kira-kira berarti ‘gaul’. Melihat Ocang yang begitu gaul untuk usianya, memang peta lolo sudah.
Kilung meracik kopi, menyuguhkannya, menimbrung obrolan para pengunjung (terutama ketika mulai masuk ke isu politik lokal), sampai mencuci cangkir-cangkir. Semua ia kerjakan dengan tangan, kaki, dan jiwanya, sonder asisten. Ketika saya tanya apakah anaknya akan melanjutkan bisnis keluarga ini, Kilung menatap ke jendela sambil melihat papanya yang selalu duduk menatap ke arah pelabuhan, menghela nafas dan berkata,
“Anak sekarang mana tertarik mengurus usaha seperti ini? Kafe modern bole. Kalau papa saya mati, saya mati, Nagaya juga mungkin mati. Tambah kopinya?” ia seperti enggan melanjutkan topik pembicaraan menggelisahkan itu.
Nagaya dalam bahasa Kaili, bahasa mayoritas di Donggala, berarti ‘bagus’, ‘cantik’, ‘elok’, dan bisa juga berarti ‘gagah’. Kalimat pe nagaya jo itu Agus berarti ‘gagah dan rupawan Agus itu’, begitu contohnya.
Setelah memesan enam cangkir kopi untuk rombongan kami, saya keluar untuk membeli kudapan jalangkote dan gogos bakar di toko sebelah, sebab di Nagaya hanya ada kopi; kopi tarik yang dibuat Nagaya sejak masa papanya Kilung, dimasak dengan tungku bara.
Kilung tampak sibuk sekali pagi itu. Kendati tetap saja ia nimbrung kasih satu dua komentar sambil melayani pengunjung menyediakan kopi. Usai meladeni pesanan kami, Kilung menyiapkan dua termos besar kopi yang dipesan seseorang dari Palu yang akan dibawa terbang ke Jakarta siang harinya.
Itu biasa katanya. Orang-orang Palu atau Donggala yang tinggal di Makassar, Jakarta, atau kota-kota lain sering memesan kopi Nagaya dengan termos untuk mereka bawa. Itu pasti karena rasa kopi Nagaya memang sedap, bukan karena ari-ari mereka ditanam di sekitar Nagaya. Saya lalu membayangkan, jangan-jangan Ganes T. H. juga pernah mampir di Nagaya ketika melakukan “riset lapangan” sebelum komik “Prahara di Donggala” lahir.
Seperti umumnya kedai kopi, Nagaya juga merupakan ruang publik tempat masalah-masalah publik dibicarakan. Siapa pun bisa nimbrung dalam bincang-bincang Nagaya. Dalam bahasa Hedar, “Kalau mau tahu dinamika politik lokal Donggala, Nagaya tempatnya.” Sungguh mulia kebaikan yang diberikan Kilung dan papanya dalam memfasilitasi perbincangan masalah-masalah publik.
Bahkan Anda diberi waktu ngobrol dan ngopi sesela-selanya. Hingga, seandainya kopi Anda belum habis sementara Anda mesti keluar satu dua jenak untuk satu urusan dan berencana kembali ke Nagaya, Anda cukup menutup cangkir kopi dengan tatakan cangkirnya, kopi Anda dijamin aman terkendali di sana menunggu Anda kembali. Nagaya selalu menunggu Anda untuk ngopi dan berbincang dalam suasana dan semangat merdeka serta tidak tergesa-gesa. Kurang Pancasilais apa coba?
Di kedai kopi Nagaya inilah Hedar bercerita kepada saya tentang wacana orang Kaili mengenai asal usul nenek moyang orang Bugis, Sawerigading. Cerita yang begitu manusiawi, masuk akal, dan jelas berbeda sekali dengan apa yang dikisahkan dalam kitab sakral La Galigo (Sureq Galigo). Juga cerita tentang bagaimana Sawerigading pernah disembuhkan dari penyakit anehnya di Danau Lindu (ini masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu) lewat beberapa perjanjian adat. Kisah-kisah yang berpotensi membuat geger dan guncang sebagian besar daratan Sulawesi dengan daya setara dengan magnitudo gesekan sesar Palu Koro; di atas enam Skala Richter.
Dari Nagaya kami meneruskan perjalanan ke barat, ke Randomayang.
“Desa Randomayang berasal dari nama panglima perang perempuan mereka yang duel satu lawan satu dengan panglima perang lelaki dari Mandar. Randomayang gugur dalam pertarungan itu. Masyarakat di sana memberi penghormatan dengan memberi nama desanya sesuai nama sang panglima, tanpa mau menceritakan lagi kisah menyakitkan itu,” cerita Hedar.
Saya persembahkan tulisan ini bagi sahabat saya Almarhum Hedar Laudjeng. Ketika masih menjadi pengacara di Sulawesi Tengah, ia banyak membela kasus rakyat kecil hanya dibayar dengan beras, ayam, ikan asin, atau telur ayam. Terima kasih, Dar ….