Dalam sejarahnya, gaya komedi pelawak memiliki perbedaan khas antara satu daerah dengan daerah lain. Misalnya, gaya komedi pelawak Jogja ternyata berbeda dengan gaya Jawa Timuran. Begitu juga dalam konteks zaman. Gaya komedi zaman dulu tentu berbeda dengan sekarang. Di antara perbedaan-perbadaan tersebut, salah satunya dibabarkan oleh pelawak legendaris, Sri Slamet Sumarwoto (72) atau yang kemudian dikenal dengan nama panggung Marwoto.
Marwoto dilahirkan memang untuk mengisi jagat komedi tanah air. Kalau mau sedikit berlebihan, ya sebut saja begitu. Sebab, di tengah industri komedi yang terus berkembang, dia menjadi salah satu sosok lawas yang masih bisa eksis di panggung hiburan. Bahkan dia juga bisa “menyelinap” dalam kelompok-kelompok komedi anak muda.
Javanes Gipsy: ketoprak tobong
Marwoto mulai terjun di dunia komedi sejak 1982. Di masa-masa awal kariernya, dia sempat ikut dalam kelompok ketoprak tobong. Yaitu kelompok pelawak yang keliling dari satu daerah ke daerah lain.
Yang menarik dari ketoprak tobong, serombongan kru ketoprak berkeliling sembari membawa set panggung. Di set panggung itu pula mereka akan berpindah-pindah. Itulah kenapa sampai ada istilah “Javanes Gipsy” untuk menyebut kelompok ini. Karena memang mirip dengan cara hidup kelompok Gipsy yang berpindah-pindah tempat tinggal.
Bedanya, Gipsy membawa narasi anti kemapanan. Sementara ketoprak tobong berkeliling untuk melestarikan kesenian.
Dari ketoprak tobong dan persinggungan Marwoto dengan dunia komedi di berbagai daerah, dia akhirnya belajar banyak perihal gaya berkomedi: termasuk juga menemukan mana bedanya.
Komedi Jogja vs komedi Jawa Timur
Selain di Jogja, kelompok ketoprak tobong yang diikuti Marwoto kerap berkeliling di daerah-daerah Jawa Timur.
“Kalau di Jawa Timur, gaya komedinya itu tektokan. Saling sahut. Dan itu bisa ger,” jelas Marwoto dalam perbincangan di konten Sebat Dulu yang tayang di kanal YouTube Mojokdotco. Karena memang pada dasarnya gaya ketoprak khas Jawa Timuran, seperti ludruk, memang menggunakan kekuatan verbal para penampil.
Sementara kalau gaya komedi Jogja, lanjut Marwoto, adalah gaya komedi improvisasi. Terutama dalam merespons atau memanfaatkan benda atau properti yang disediakan di panggung.
“Misalnya, dulu kalau ketoprak kan panggungnya ada gambar rumah. Di rumah itu ada gambar kentongannya. Nah pas dipukul, ternyata gambar kentongannya bisa bunyi. Padahal di belakang gambar kentongan itu sudah dipasang kentongan asli. Itu sudah lucu,” beber Marwoto.
Membuat materi komedi tak semudah yang dibayangkan
Menjadi pelawak atau menyusun materi komedi, kata Marwoto, tidak pernah semudah yang banyak orang bayangkan.
“Jadi pelawak itu harus belajar terus. Harus mengikuti tren untuk mencari bahan yang lucu dan ger,” ungkap Marwoto.
Lebih-lebih, di era modern ini, tantangannya lebih besar lagi ketimbang era dulu sebelum era digital. Dulu, satu materi komedi masih bisa dibawakan berulang-ulang dan akan tetap lucu.
Sebab, audiens di daerah A tentu akan berbeda dengan audiens di daerah B. Walaupun tetap ada keharusan untuk mengikuti tren yang berkembang di era itu, tapi tantangannya tidak sebesar sekarang.
“Sekarang ada YouTube. Kalau nggak update, lawakannya ya jadi basi,” ucap Marwoto. Mengingat, satu konten komedi bisa diakses dan terdistribusi dalam skala massal.
Berbaur dengan pelawak muda
Pasar komedi saat ini (komedi modern) bisa dibilang sedang dipegang oleh gaya stand up comedy. Bahkan, stand up comedy menjadi industri yang cukup menjanjikan dalam konteks eskalasi karier maupun ekonomi.
Itulah kenapa sekarang banyak komunitas stand up comedy tersebar di banyak daerah. Sekalipun di daerah-daerah kecil.
Stand up comedy kemudian terbukti melahirkan pelawak-pelawak muda yang jauh lebih segar, cerdas, dan cepat merespons tren. Marwoto pun mengamini itu.
Maka, dalam pusaran para pelawak muda, pelawak tua seperti Marwoto hanya punya dua pilihan: mengikuti mereka atau terbenam. Marwoto memilih yang pertama.
“Akhirnya ya belejar lagi, mencoba mengikuti gaya mereka, walaupun dengan susah payah,” tuturnya.
“Kolaborasi antara pelawak tua dan muda itu perlu. Biar ada pertukaran energi (kreatif) antara senior ke junior dan sebaliknya. Kalau sudah terjalin, selebihnya nanti mengalir,” imbuhnya.
Itulah kenapa Marwoto jadi salah satu dari sedikit pelawak-pelawak tua yang masih eksis di panggung hiburan tanah air.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Susahnya Jadi Komika, Melucu di Stand Up Comedy Itu Tak Semudah di Layar Kaca
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News