Sehari 2.000 Porsi Soto, Rahasia Warung Saoto Bathok Mbah Katro

Saoto Bathok Pak Katro di Sleman ini fenomenal. Belum juga usianya genap 8 tahun, namun di akhir pekan mampu menjual 2.000 porsi soto dalam sehari. 

***

Akhir-akhir ini saya rajin melihat Instagram kuliner yang ada di Yogya. Ada satu yang menggugah rasa penasaran. Sebuah warung soto yang konon katanya tidak pernah sepi pembeli. Bahkan, parkirannya karena saking banyaknya kendaraan, hampir menyerupai showroom sepeda motor dan mobil dengan plat nomor kendaraan yang beragam.

Memenuhi rasa keingintahuan, Sabtu (12/ 02/ 2022) pagi, saya bertandang ke warung soto yang berada di tengah hamparan sawah. Kurang lebih, dari Godean jaraknya sekitar delapan belas kilometer atau tiga puluh menit ditempuh dengan sepeda motor.

Saoto Bathok Mbah Katro, didirikan pada Oktober 2014 oleh seorang pensiunan pegawai Hotel The Jayakarta di Yogya bernama Katro Sumaryo. Letaknya di Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman. Jika dari simpang tiga Bandara Adisucipto Jalan Raya Yogya-Solo maka ke arah timur sampai menemukan papan menuju Candi Sambisari. Setelah itu menyusuri perkampungan sekitar dua setengah kilometer jauhnya.

Saya memarkirkan sepeda motor tepat di depan Saoto Bathok Mbah Katro. Memang di akhir pekan seperti ini pembeli berdatangan nyaris tidak berhenti. Sembari mengamati lalu lalang pembeli, saya berkenalan dengan Ika (22), mahasiswa rantau asal Lampung yang datang bersama teman-teman kuliahnya di Universitas Negeri Yogyakarta. “Ini masih menunggu, ada tiga teman yang belum datang, supaya masuk dan pesannya bareng,” ungkapnya tertawa.

Ika dan teman-temannya yang berjumlah tujuh orang itu sengaja memilih sarapan di Saoto Bathok Mbah Katro untuk mengusir penat sekaligus menghabiskan waktu libur. Menurutnya, bukan hanya perut yang dimanjakan dengan menikmati soto panas, namun juga mata yang rileks ketika melihat hamparan sawah berwarna kehijauan.

Warung saoto bathok
Warung Saoto Mbah Katro, yang tidka jauh dari Candi Sambisari di Sleman. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Belum lagi, dengan harga yang tidak menguras kantong, membuat Ika dan teman-temannya langganan di Saoto Bathok Mbah Katro. “Cocok banget buat mahasiswa yang ingin makan enak, tapi nggak bikin kantong bolong,” ujarnya yang kemudian masuk karena teman yang ditunggu sudah datang.

Saya pun mengikuti dari belakang. Rupanya, cara pemesanan di Saoto Bathok Mbah Katro ini berbeda dengan warung soto lainnya. Pembeli hanya tinggal melihat menu di pintu masuk dan kemudian menyebutkan pada pelayan yang berjaga untuk dicatat. 

Setelah itu, pembeli akan diberikan papan kayu bertuliskan nomor meja. Belum sampai lima menit menunggu, soto hangat sudah diantarkan dan siap disantap. Tidak lupa, pelayan juga memberikan nota yang digunakan untuk membayar saat pulang nanti.

Aroma khas soto langsung tercium ketika melepas masker. Saya pun lantas mencoba suapan pertama dari soto hangat yang sudah memanggil minta dicicipi. Segar, satu kata yang langsung terbersit dalam benak saya. 

Ada rasa hangat dari jahe, yang diikuti rasa rempah lain seperti lengkuas, kemiri, kunyit, kapulaga, dan gurih bawang serta kaldu sapi. Perpaduan nikmat dan kaya cita rasa, terlebih jika ditambahkan cabai rawit, kucuran jeruk nipis dan sedikit kecap manis yang telah disediakan di meja.

Tidak seperti soto yang menggunakan bihun, Saoto Bathok Mbah Katro ini terdiri dari nasi, tauge, potongan daging sapi, daun seledri cincang, dan taburan bawang merah goreng. Porsi yang disajikan pun cukup mengenyangkan bagi saya.

Berawal dari Rebo Soto

Saya pun berbincang dengan Asdianto (26), salah satu penanggung jawab Saoto Bathok Mbah Katro. Rupanya, sejak tahun 2018, Mbah Katro menyerahkan tanggung jawab warungnya kepada dua pekerjanya. 

Asdianto berasal dari Kabupaten Gunungkidul. Bekerja di Saoto Bathok Mbah Katro pada tahun 2014 atau saat mulai berdiri. Selepas SMP, ia membantu orang tuanya di sawah. Jadi ini adalah pengalaman kerja pertamanya bekerja pada orang. “Tapi saya memang suka memasak, diajari orang tua,” kata Asdianto.  

Menurut Asdianto, tidak ada rahasia khusus hingga Saoto Bathok Mbah Katro laris seperti sekarang. Hanya dari awal didirikan, semua berdasarkan pengalaman dan perencanaan pendirinya, Katro Sumaryo (52) yang memilih untuk pensiun dini dari kesibukannya bekerja di bidang food and beverage hotel.

Saoto Mbah Katro awalnya hanya terdiri dua saung, kini memiliki tempat luas untuk pengunjung. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Soto merupakan makanan kesukaan Katro Sumayo (52) atau biasa dipanggil Mbah Katro. Bukan sekadar suka, Mbah Katro bahkan mengikuti sebuah komunitas bernama Rebo Soto, di mana setiap Rabu pagi ia akan pergi untuk sarapan soto. Rasa cintanya pada soto membuat Mbah Katro mengulik berbagai resep mencari sajian soto paling enak dan pas di lidahnya.

Mbah Katro menjadi terkenal pintar masak soto. Karena itulah, ia mulai mencoba membuka warung soto di atas tanah sawah miliknya dan menekuni sebagai bisnis. Kebetulan, letak sawahnya dekat dengan Candi Sambisari atau hanya berkisar tiga ratus meter saja. Hal itu menjadi potensi Saoto Bathok Mbah Katro menarik wisatawan yang datang berkunjung.

Penyebutan saoto rupanya merupakan gaya khas Surakarta (Solo). Selain itu, orang tua zaman dahulu memang mengatakan makanan berkuah ini sebagai Saoto bukan Soto. Itulah yang mendasari Katro Sumaryo melabeli warungnya dengan nama Saoto Bathok Mbah Katro.

Ide soto kuah bening milik Mbah Katro ini memang sengaja berbeda dari sajian soto lainnya. Tidak menggunakan santan, tidak pula menggunakan rempah kental. “Ide tersebut muncul lantaran sering melakukan jelajah soto atau blusukan ke warung-warung soto di Yogya,” ujar Asdianto.

Alasan menggunakan batok kelapa

Keunikan dari warung soto ini adalah tempat sajiannya yang menggunakan mangkuk batok atau bathok. Ide menggunakan tempurung kelapa ini bermula ketika Mbah Katro mencari ciri khas dari warung sotonya.

Dahulu, belum ada warung soto yang menggunakan batok sebagai wadahnya. Mbah Katro yang berasal dari Kabupaten Kulonprogo dan istrinya yang asli Kalasan, dalam perjalanannya jelajah soto, menemukan sebuah sentra kerajinan batok.

Sentra itu ditemukan di Kabupaten Bantul. Dalam benak Mbah Katro, batok merupakan kerajinan hasil alam. Ia ingin memanfaatkan bahan alam dan juga memberdayakan para perajin batok. Terlebih, ketika dihitung, modal yang dikeluarkan untuk membeli batok lebih murah dibanding mangkuk pada umumnya. Karena itu, Mbah Katro memutuskan menjajal meletakkan soto dalam batok.

Rupanya, batok mampu menambah cita rasa soto. Kuah soto menjadi terasa lebih segar. Tidak disangka, Saoto Bathok Mbah Katro malah banyak peminatnya. Mungkin juga faktor letak di pinggir sawah yang membuat pengunjung merasa menyatu dengan alam atau mendapat sensasi berada di desa yang jauh dari hiruk pikuk dan kental dengan nuansa Jawa. Terlebih, ketika diputarkan lagu-lagu koplo Jawa seperti yang saya nikmati sekarang ini.

Menjadi orang kepercayaan Mbah Katro yang diberi mandat untuk mengelola Saoto Bathok Mbah Katro, Asdianto belajar untuk menyatukan pendapat dengan rekannya. “Dari awal itu memang pekerjanya dua, saya dan rekan saya, Suyatno (32),” ungkap Asdianto. 

Hampir empat tahun berjalan di bawah kendali Asdianto dan Suyatno, beban di pundak keduanya pun semakin berat. Asdianto mengaku bahwa mengurus operasional, karyawan, dan jadwal libur bukan perkara mudah. Terlebih dengan tantangan untuk terus membuat Saoto Bathok Mbah Katro tetap bertahan dan berjaya dari tahun ke tahun. Menurutnya, mempertahankan lebih sulit dibandingkan mencari pelanggan.

Salah satu saung Saoto Bathok Mbah Katro, cocok untuk makan bersama keluarga. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Sebagai penanggung jawab, Asdianto juga harus mengurus stok barang dan melayani komplain dari pembeli. Namun, merupakan pengalaman berharga baginya bisa merasakan banyak pelajaran hidup, seperti belajar untuk bertanggung jawab dan memegang kendali dari karyawan tetap yang berjumlah dua puluh tujuh orang, serta karyawan part time weekend yang berjumlah lima belas orang.

Dari cerita Asdianto, ketika awal buka, Saoto Bathok Mbah Katro belum sebesar ini. Bahkan baru ada dua saung yang bisa digunakan pembeli untuk makan di tempat. Butuh waktu dua bulan sebelum akhirnya ramai karena pembeli mempromosikan dari mulut ke mulut.

Jual 1.000 porsi di hari biasa dan 2.000 porsi di akhir pekan

Sekitar tahun 2017 sampai 2018, Saoto Bathok Mbah Katro baru memperlebar lokasi dan memperbanyak menjadi delapan saung dengan kapasitas berbeda. “Dulu itu bahkan tidak pakai media sosial. Kalau sekarang pakai Instagram dan Facebook tapi hanya sebatas formalitas,” ungkap Asdianto.

Dalam sehari, Saoto Bathok Mbah Katro mampu menjual 1.000 porsi soto. Namun, jika akhir pekan, akan meningkat tajam sampai dua ribu porsi soto. Ada banyak makanan pendamping di sini, seperti tempe goreng, sate usus, sate telur, kerupuk nasi, peyek, dan kerupuk kaleng putih. Ada yang dibuat sendiri, seperti tempe dan sate usus, namun ada pula yang mengambil dari penyuplai seperti sate telur, peyek, dan kerupuk.

Penjualan tempe goreng rupanya tidak kalah banyak dari soto. Tempe bungkus daun ini disajikan dengan cara digoreng kering dan diberi rempah. Jika hari biasa bisa terjual 2.500 biji, namun saat akhir pekan mencapai 6.000 yang ludes.

Rupanya sistem penjualan sudah diatur sedemikian rupa oleh Asdianto dan Suyatno sehingga tidak ada soto yang tersisa. “Kalau tauge kan bisa dimasukkan kulkas, kalau nasi stok memang diatur sesuai biasanya jumlah pembeli, semua sudah disiapkan dari awal sesuai waktu ciri ramainya,” ungkap Asdianto. Sehingga kalau pun sisa, hanya kuah saja.

Saoto Bathok Mbah Katro ini buka mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB. Namun, untuk pemesanan hanya sampai pukul 15.30 WIB saja.

Ketika dipegang oleh Mbah Katro maupun sekarang oleh Asdianto, tidak ada yang berubah dari resep dan cara memasaknya. Hanya saja, dulu bumbu soto diolah secara manual, misalnya saja kapulaga yang ditumbuk menggunakan tenaga tangan. Sekarang sudah menggunakan mesin. Pasalnya, jika menggunakan tangan satu kilogram membutuhkan waktu setengah hari, sedangkan tenaga mesin hanya lima belas menit.

Jika ada yang berubah, mungkin suasana yang sekarang sudah ditambah spot foto ataupun tanaman supaya lebih enak dipandang pembeli. “Memang dengan persaingan soto batok yang semakin ketat, kualitas dan kepuasan pelanggan harus dijaga,” ungkap Asdianto. Pasalnya, soto batok ini tidak memiliki hak paten karena tidak menyangka akan mendapat antusiasme tinggi dari pecinta kuliner.

Dalam sebulan, setiap karyawan di Saoto Bathok Mbah Katro mendapatkan kesempatan libur tiga kali. Apabila hari Minggu, para pekerja diharapkan tidak libur karena akan menambah beban pada pekerja lain. Sudah menjadi ciri khas bahwa akhir pekan, terutama hari Minggu pembeli akan membludak. 

Selain mengambil pekerja anak muda di bagian pramusaji, juga memberikan kesempatan mencari nafkah bagi ibu-ibu yang kesulitan mendapat pekerjaan untuk menjadi tenaga bersih-bersih dan cuci-cuci.

Harga soto cuma Rp6.000 per porsi

Daftar menu di Saoto Mbah Katro. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Saoto Bathok Mbah Katro rupanya menjadi incaran publik figur dan wisatawan mancanegara. Beberapa publik figur yang pernah datang adalah Okky Agustina, Bambang Pamungkas, Andre Taulany, Adipati Dolken, dan Sandiaga Uno yang berkunjung pada tahun 2018 lalu. Selain itu, banyak pula wisatawan dari Jakarta dan kota besar lainnya yang reservasi untuk mengadakan meeting atau kumpul trah.

Ke depan, Saoto Bathok Mbah Katro ingin memperbaiki konsep tata ruang supaya ketika hujan air tidak rembes ke tempat pembeli yang sedang menikmati soto. 

Perihal membuka cabang, menurut Asdianto belum terpikir. “Dulu pernah ada cabang di Magelang, strategis karena jalur utama ke Candi Borobudur, sekitar 2016 atau 2017, tapi karena sistem kontrak, kemudian tidak diperpanjang,” pungkas Asdianto.

Selepas menghabiskan satu porsi soto, saya pun berpamitan. Sekilas dalam penglihatan saya, Saoto Bathok Mbah Katro ini ramah bagi keluarga, ditunjukkan dengan adanya kursi anak dan beberapa permainan anak seperti ayunan dan jungkat-jungkit. Sesampainya di kasir, saya menyerahkan nota lalu membayar Rp8.500 untuk semangkok soto dan segelas es jeruk.

Menurut Mas Asdianto, waktu buka pertama, soto dijual seharga Rp5.000 sedangkan pada tahun 2021 soto sudah naik menjadi Rp6.000 untuk satu porsi. Tetap masih murah. Memang benar jika warung soto ini dapat menjangkau semua kalangan untuk dapat mencicipi Saoto Bathok Mbah Katro.

Reporter: Brigitta Adelia

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Tempe dan Puli yang Berjodoh Empat Generasi di Warung Mbak Puji dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version