Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Pilu di Sunda Kelapa Jakarta, Di Balik Keindahannya Ada Para Perantau Miskin Puluhan Tahun Tak Jumpa Keluarga

Hammam Izzuddin oleh Hammam Izzuddin
15 Maret 2024
A A
Sunda kelapa Jakarta.MOJOK.CO

Ilustrasi Sunda Kelapa Jakarta (Ega/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kehidupan keras berjalan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Sebuah tempat yang dulu menjadi pintu gerbang utama Jakarta dari sisi utara. Kini, berisi banyak perantau yang bertahun-tahun tak pernah pulang ke kampungnya.

Cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa sudah ada sejak abad ke-5. Kerajaan silih berganti menaklukkan Jakarta membuatnya banyak berubah. Sempat berada di bawah kendali Kerajaan Demak Cirebon sampai akhirnya jatuh ke tangan VOC. Keberadaannya jadi penting karena jadi pintu masuk VOC dalam membangun kota Batavia -dulunya Jayakarta.

Namun, kondisi geografis dan volume lalu lintas kapal yang meningkat membuatnya tidak lagi jadi pintu utama Jakarta dari utara. Arkeolog Chandrian Attahiyat mengungkapkan salah satu alasan Sunda Kelapa fungsinya digantikan Tanjung Priok karena adanya pendangkalan.

“Daratan maju sehingga tidak cocok lagi menjadi Pelabuhan. Kapal bermuatan besar tidak bisa berlabuh sehingga pada 1880-an Tanjung Priok berdiri,” kata Chandrian dalam dokumenter CNN Indonesia.

Kini Pelabuhan tua itu belum mati. Hanya kapal-kapal berukuran lebih kecil dengan muatan berbagai kebutuhan pokok yang bisa bersandar di sana. Suasananya tidak terlalu ramai banyak kisah prihatin tersembunyi di baliknya.

Namun, Sunda Kelapa bagi saya adalah salah satu tempat terindah di Jakarta. Pada suatu kunjungan tugas liputan yang sudah agak lama, pada Juli 2019 silam, saya sengaja berpisah dari rombongan yang sedang berkegiatan di Menteng, Jakarta Pusat. Awalnya, iseng saja ingin menuju Kota Tua menaiki KRL.

Di Kota Tua sampai menjelang sore, saya agak penasaran untuk menyambangi Sunda Kelapa. Akhirnya, saya memesan ojek online untuk menuju pesisir utara.

Saya turun di pinggir jalan menuju pelabuhan. Masih perlu berjalan sekitar 100 meter sampai akhirnya tumpukan peti kemas tampak sepanjang mata memandang.

Kehidupan yang keras di balik keindahan Sunda Kelapa

Kala itu, saya tugas sekitar lima hari di Jakarta. Berkeliling ke cukup banyak tempat. Namun, pemandangan deretan kapal kayu yang tampak seperti pinisi jadi di Sunda Kelapa jadi hal yang paling menarik perhatian mata.

pemandangan di Sunda Kelapa Jakarta.MOJOK.CO
Pemandangan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta (Hammam/Mojok.co)

Seorang lelaki lantas mengajak saya berbincang. Ia menawarkan saya untuk naik ke perahu berkeliling Sunda Kelapa dengan tarif sekitar Rp20-25 ribu. Namun, saya menolaknya dengan sopan karena masih ingin berkeliling sambil jalan kaki.

Begitu saya bercerita bahwa datang dari Jogja lelaki itu tersenyum. “Aku dulu dari Kulon Progo,” kata lelaki yang tampak usianya 40-an itu.

Ia mengaku sudah puluhan tahun tak pulang. Merantau dari Jogja ke Jakarta sejak 90-an, bekerja serabutan, sampai nasib melabuhkannya di Sunda Kelapa.

“Kerja apa aja di sini. Kadang ngangkutin muatan, kadang bantu cari penumpang perahu wisata ini,” tuturnya.

Saat saya tanya mengapa ia tak pernah pulang ke Jogja, ia sempat terdiam. Katanya, sudah tidak ada lagi keluarga dekat di sana. Mau pulang pun, sungkan, tidak bisa membawa apa-apa dari perantauan. Ia, barangkali adalah satu dari para perantau lain yang bernasib serupa selepas bertahun-tahun mengadu nasib di Jakarta.

Iklan

Ia tinggal di perkampungan kumuh tepat di seberang kami berdiri. Kampung kecil dengan latarbelakang pemandangan sebuah apartemen besar. Sulit untuk menyebut tempat tinggalnya sebagai rumah. Yang jelas, di sana ia berteduh dari hujan.

Saya terus berjalan, mendekat, menatap satu per satu kapal yang kebanyakan tampak teronggok tanpa awak. Bahkan, ada yang kondisinya rusak dan tampak tak layak untuk berlayar.

Saat sedang menatapi kapal-kapal sambil mengambil foto, seorang dari kapal sebelah memanggil saya. “Mau naik, Bang?” katanya.

Ternyata, ia mempersilakan saya untuk menaiki kapal yang ia awaki. Untuk menaikinya saya perlu melintasi jembatan dari sebatang kayu yang panjangnya sekitar 3 meter. Bergoyang dan jika tidak stabil, tamat lah sudah bisa tercebur ke bawah.

Tempat terindah di Jakarta

Saya lupa, nama lelaki itu secara pasti. Anggaplah namanya Junaidi, usianya sekitar lima puluhan. Ia mengaku mengawaki kapal ini berlayar dari Sulawesi Selatan membawa berton-ton komoditas lokal sana.

“Ini sudah bersandar semingguan. Nunggu muatan lagi buat dibawah ke Sumatera,” katanya.

Benar, seperti yang saya saksikan tadi, menurut Junaidi sebagian kapal di sini memang sudah bersandar lama. Bahkan, pemiliknya seakan sudah tidak mengurusi lagi.

“Lihat saja itu, rusak-rusak nggak layak berlayar. Biaya sandarnya saja pasti sudah menumpuk banyak karena berbulan-bulan nggak diurus,” terangnya.

Kepadanya, saya meminta izin untuk duduk di ujung depan geladak kapal. Ia mempersilakan. Dari tempat saya duduk, pemandangan tampak begitu indah. Bukan pemandangan gedung-gedung, melainkan kapal-kapal kayu bersandar dengan pekerja yang berlalu lalang. Cuaca terik sudah berganti dengan hangat sore.

Dari ujung geladak, tampak segerombolan anak-anak yang melompat tanpa ragu ke air. Teriakan senang terdengar. Membuat saya terpanggil untuk mendekati mereka. Saya pun pamit kepada Junaidi lantas turun ke bawah.

“Fotoin bang… Mau bikin vlog ya,” kata mereka antusias.

anak-anak di sunda kelapa jakarta.MOJOK.CO
Anak-anak di Sunda Kelapa Jakarta (Hammam/Mojok.co)

Sialan, salah satu di antara mereka menenteng besi pipih yang sudah dibengkokkan menjadi semacam celurit besar. Gagangnya dibabat dengan ban dalam sepeda motor. Entah kenapa ada yang membawa senjata tajam semacam itu, yang jelas, wajah mereka yang riang tanpa dosa tak terlihat seram.

Mereka senang difoto. Sebagian ada yang kembali melompat di samping kapal. Sebagian lainnya beranjak pergi. Tak peduli kerasnya, kehidupan di Sunda Kelapa terus berlanjut.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mahasiswa ITS Lulus Sarjana Jelang Drop Out, Sidang Skripsi Kaget Ketemu Teman yang Sudah Jadi Dosen

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 16 Maret 2024 oleh

Tags: jakartaJakarta Utarapelabuhan sunda kelapasunda kelapatanjung priok
Hammam Izzuddin

Hammam Izzuddin

Reporter Mojok.co.

Artikel Terkait

Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO
Ragam

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO
Ragam

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Alumnus ITB resign kerja di Jakarta dan buka usaha sendiri di Bandung. MOJOK.CO
Sosok

Alumnus ITB Rela Tinggalkan Gaji Puluhan Juta di Jakarta demi Buka Lapangan Kerja dan Gaungkan Isu Lingkungan

12 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Era transaksi non-tunai/pembayaran digital seperti QRIS: uang tunai ditolak, bisa ciptakan kesenjangan sosial, hingga sanksi pidana ke pelaku usaha MOJOK.CO

Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha

26 Desember 2025
Nonton Olahraga Panahan. MOJOK.CO

Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu

25 Desember 2025
Olahraga panahan di MLARC Kudus. MOJOK.CO

Regenerasi Atlet Panahan Terancam Mandek di Ajang Internasional, Legenda “3 Srikandi” Yakin Masih Ada Harapan

23 Desember 2025
Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan MOJOK

Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan

21 Desember 2025
Jogja Macet Dosa Pemerintah, tapi Mari Salahkan Wisatawan Saja MOJOK.CO

Jogja Mulai Macet, Mari Kita Mulai Menyalahkan 7 Juta Wisatawan yang Datang Berlibur padahal Dosa Ada di Tangan Pemerintah

23 Desember 2025
Praja bertanding panahan di Kudus. MOJOK.CO

Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan

20 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.