Kehidupan keras berjalan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Sebuah tempat yang dulu menjadi pintu gerbang utama Jakarta dari sisi utara. Kini, berisi banyak perantau yang bertahun-tahun tak pernah pulang ke kampungnya.
Cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa sudah ada sejak abad ke-5. Kerajaan silih berganti menaklukkan Jakarta membuatnya banyak berubah. Sempat berada di bawah kendali Kerajaan Demak Cirebon sampai akhirnya jatuh ke tangan VOC. Keberadaannya jadi penting karena jadi pintu masuk VOC dalam membangun kota Batavia -dulunya Jayakarta.
Namun, kondisi geografis dan volume lalu lintas kapal yang meningkat membuatnya tidak lagi jadi pintu utama Jakarta dari utara. Arkeolog Chandrian Attahiyat mengungkapkan salah satu alasan Sunda Kelapa fungsinya digantikan Tanjung Priok karena adanya pendangkalan.
“Daratan maju sehingga tidak cocok lagi menjadi Pelabuhan. Kapal bermuatan besar tidak bisa berlabuh sehingga pada 1880-an Tanjung Priok berdiri,” kata Chandrian dalam dokumenter CNN Indonesia.
Kini Pelabuhan tua itu belum mati. Hanya kapal-kapal berukuran lebih kecil dengan muatan berbagai kebutuhan pokok yang bisa bersandar di sana. Suasananya tidak terlalu ramai banyak kisah prihatin tersembunyi di baliknya.
Namun, Sunda Kelapa bagi saya adalah salah satu tempat terindah di Jakarta. Pada suatu kunjungan tugas liputan yang sudah agak lama, pada Juli 2019 silam, saya sengaja berpisah dari rombongan yang sedang berkegiatan di Menteng, Jakarta Pusat. Awalnya, iseng saja ingin menuju Kota Tua menaiki KRL.
Di Kota Tua sampai menjelang sore, saya agak penasaran untuk menyambangi Sunda Kelapa. Akhirnya, saya memesan ojek online untuk menuju pesisir utara.
Saya turun di pinggir jalan menuju pelabuhan. Masih perlu berjalan sekitar 100 meter sampai akhirnya tumpukan peti kemas tampak sepanjang mata memandang.
Kehidupan yang keras di balik keindahan Sunda Kelapa
Kala itu, saya tugas sekitar lima hari di Jakarta. Berkeliling ke cukup banyak tempat. Namun, pemandangan deretan kapal kayu yang tampak seperti pinisi jadi di Sunda Kelapa jadi hal yang paling menarik perhatian mata.
Seorang lelaki lantas mengajak saya berbincang. Ia menawarkan saya untuk naik ke perahu berkeliling Sunda Kelapa dengan tarif sekitar Rp20-25 ribu. Namun, saya menolaknya dengan sopan karena masih ingin berkeliling sambil jalan kaki.
Begitu saya bercerita bahwa datang dari Jogja lelaki itu tersenyum. “Aku dulu dari Kulon Progo,” kata lelaki yang tampak usianya 40-an itu.
Ia mengaku sudah puluhan tahun tak pulang. Merantau dari Jogja ke Jakarta sejak 90-an, bekerja serabutan, sampai nasib melabuhkannya di Sunda Kelapa.
“Kerja apa aja di sini. Kadang ngangkutin muatan, kadang bantu cari penumpang perahu wisata ini,” tuturnya.
Saat saya tanya mengapa ia tak pernah pulang ke Jogja, ia sempat terdiam. Katanya, sudah tidak ada lagi keluarga dekat di sana. Mau pulang pun, sungkan, tidak bisa membawa apa-apa dari perantauan. Ia, barangkali adalah satu dari para perantau lain yang bernasib serupa selepas bertahun-tahun mengadu nasib di Jakarta.
Ia tinggal di perkampungan kumuh tepat di seberang kami berdiri. Kampung kecil dengan latarbelakang pemandangan sebuah apartemen besar. Sulit untuk menyebut tempat tinggalnya sebagai rumah. Yang jelas, di sana ia berteduh dari hujan.
Saya terus berjalan, mendekat, menatap satu per satu kapal yang kebanyakan tampak teronggok tanpa awak. Bahkan, ada yang kondisinya rusak dan tampak tak layak untuk berlayar.
Saat sedang menatapi kapal-kapal sambil mengambil foto, seorang dari kapal sebelah memanggil saya. “Mau naik, Bang?” katanya.
Ternyata, ia mempersilakan saya untuk menaiki kapal yang ia awaki. Untuk menaikinya saya perlu melintasi jembatan dari sebatang kayu yang panjangnya sekitar 3 meter. Bergoyang dan jika tidak stabil, tamat lah sudah bisa tercebur ke bawah.
Tempat terindah di Jakarta
Saya lupa, nama lelaki itu secara pasti. Anggaplah namanya Junaidi, usianya sekitar lima puluhan. Ia mengaku mengawaki kapal ini berlayar dari Sulawesi Selatan membawa berton-ton komoditas lokal sana.
“Ini sudah bersandar semingguan. Nunggu muatan lagi buat dibawah ke Sumatera,” katanya.
Benar, seperti yang saya saksikan tadi, menurut Junaidi sebagian kapal di sini memang sudah bersandar lama. Bahkan, pemiliknya seakan sudah tidak mengurusi lagi.
“Lihat saja itu, rusak-rusak nggak layak berlayar. Biaya sandarnya saja pasti sudah menumpuk banyak karena berbulan-bulan nggak diurus,” terangnya.
Kepadanya, saya meminta izin untuk duduk di ujung depan geladak kapal. Ia mempersilakan. Dari tempat saya duduk, pemandangan tampak begitu indah. Bukan pemandangan gedung-gedung, melainkan kapal-kapal kayu bersandar dengan pekerja yang berlalu lalang. Cuaca terik sudah berganti dengan hangat sore.
Dari ujung geladak, tampak segerombolan anak-anak yang melompat tanpa ragu ke air. Teriakan senang terdengar. Membuat saya terpanggil untuk mendekati mereka. Saya pun pamit kepada Junaidi lantas turun ke bawah.
“Fotoin bang… Mau bikin vlog ya,” kata mereka antusias.
Sialan, salah satu di antara mereka menenteng besi pipih yang sudah dibengkokkan menjadi semacam celurit besar. Gagangnya dibabat dengan ban dalam sepeda motor. Entah kenapa ada yang membawa senjata tajam semacam itu, yang jelas, wajah mereka yang riang tanpa dosa tak terlihat seram.
Mereka senang difoto. Sebagian ada yang kembali melompat di samping kapal. Sebagian lainnya beranjak pergi. Tak peduli kerasnya, kehidupan di Sunda Kelapa terus berlanjut.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mahasiswa ITS Lulus Sarjana Jelang Drop Out, Sidang Skripsi Kaget Ketemu Teman yang Sudah Jadi Dosen
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News