Di dalam kompleks Candi Ratu Boko Jogja ada rumah seorang kakek tua yang tak mau pindah sejak relokasi 1985. Bertahan hingga sekarang, membuka warung sederhana yang sesekali dihampiri pengunjung candi.
***
Di balik ramainya kompleks luas Candi Ratu Boko saat akhir pekan, ada warung yang tersembunyi dan seperti tak terjamah pengunjung. Dari pintu masuk, jaraknya sekitar 200 meter. Berada di atas bukit dan tertutupi pepohonan.
Saya tiba di Candi Ratu Boko pada Sabtu (13/7/2024) sekitar pukul setengah tiga sore. Kebetulan, saat itu sedang acara Tamasya Asmara, sebuah agenda dari kolektif anak muda yang membuat ratusan orang memadati area itu.
Berbekal informasi dari seorang panitia acara, saya berpisah dari keramaian. Menelusuri kompleks candi luas yang terletak di Prambanan, Sleman ini sendiri sampai keringat mengucur deras dan napas terengah.
Setelah menaiki bukit, di balik pepohonan bangunan sederhana itu mulai terlihat. Lelaki tua tampak sedang terlelap di kursi kayu sederhana. Siaran radio menyala, namun ia terlalu pulas untuk menyadari kedatangan saya.
Lelaki itu baru terbangun setelah saya mengucap permisi sekitar lima kali dengan diselingi jeda. Lelaki itu bernama Dawud (73).
“Maaf Mas, suka tertidur. Lagi sepi. Banyak pengunjung yang nggak tahu kalau ada warung di sini,” ungkap Dawud dengan bahasa Jawa.
Saya lantas memesan segelas teh hangat. Tadinya mau pesan es teh, tapi ia tak punya stok es. Dagangannya memang sederhana, hanya minuman kemasan, air mineral, dan mi instan.
Di sebelah warung sederhana ini, ada sebuah rumah dari kayu yang tampak terbengkalai. Kata Dawud, di situlah dulu orang tuanya tinggal. Turun temurun dari generasi buyutnya.
“Bapak saya baru meninggal setahun lalu. 7 April 2023,” ungkapnya.
Membuka warung untuk menjaga orang tua yang sudah renta
Ia juga lahir dan tumbuh besar di rumah itu. Pada awal 90-an ia mengaku baru pindah keluar, berpisah rumah dengan orang tuanya. Menempati rumah di desa tak dekat dari candi ini.
Lelaki ini menekuni profesi sebagai tukang becak selama puluhan tahun. Profesi itu ia jalani setelah lulus dari Sekolah Pendidikan Agama (PGA) pada 1970-an silam. Mulai dari becak kayuh sampai becak motor.
Saat sudah menggunakan becak motor, kakek tujuh cucu ini mengaku bisa mengantar penumpang dengan jarak cukup jauh. Pernah sampai Parangtritis, Godean, dan beberapa tempat lain di Jogja yang secara jarak jauh dari tempat tinggalnya.
Seringnya, ia mangkal di Pasar Prambanan. Sampai hari-hari ini, pagi-pagi sekali ia masih sering di sana mencoba mencari peruntungan mendapat penumpang.
“Becak sekarang sudah sepi. Selain penumpang kadang ya saya disuruh ngantar barang. Lebaran lalu sama pengelola Candi Ratu Boko disuruh ngirim parsel ke dinas,” tuturnya.
Setelah itu, sekitar jam sembilan ia akan membuka warung ini. Setiap hari, kecuali ada halangan atau sedang sakit.
Warung ini ia buka sejak 2010. Setelah ibunya meninggal, Dawud merasa perlu sering-sering mengecek kondisi bapaknya yang tinggal di dalam kompleks Candi Ratu Boko Jogja. Sehingga, bangunan yang dulunya kandang kambing ini ia sulap menjadi warung.
Setelah bapaknya meninggal pun ia masih memutuskan untuk terus menjaga warung ini. Berharap sedikit rezeki tambahan. Namun, rumah di sebelah warung yang dulu ditempati bapaknya memang sudah tidak dihuni lagi dan agak terbengkalai.
Baca halaman selanjutnya…
Permukiman lebih dari satu abad di dalam kompleks Candi Ratu Boko
Dulunya, area di dalam kompleks Candi Ratu Boko merupakan permukiman warga. Seingat Dawud, ada lebih dari 30 KK yang menempati rumah-rumah di dalam.
Rumah berdiri berdampingan dengan bebatuan candi. Candi Ratu Boko yang disebut juga Kraton Ratu Boko diperkirakan merupakan situs yang dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Budha. Setelah itu, diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu.
Berabad-abad kemudian, ketika kerajaan-kerajaan itu runtuh, di area candi mulai banyak permukiman warga. Seperti rumah milik keluarga Dawud ini yang sudah ditinggali beberapa generasi.
“Sudah lama sekali keluarga saya tinggal di sini. Dari simbah buyut saya. Berarti sudah lebih dari 100 tahun,” tuturnya.
Bapaknya, selain menjadi petani juga dulu dikenal sebagai tukang gali sumur tradisional. Beberapa sumur warga di sekitar candi menurutnya digali oleh bapaknya. Ilmu itu juga diturunkan kepada Dawud. Namun, ia memutuskan untuk tidak menggeluti profesi sebagai penggali sumur tradisional.
Dulu, ternak-ternak milik warga diumbar di padang rumput area perbukitan yang luas ini. Membayangkannya saja seperti syahdu sekali. Kami semakin intens mengobrol sehingga Dawud memilih mematikan radionya yang sedari tadi menyala. Lalu mengisahkan tentang awal mula kepindahan warga dari dalam area candi.
Menolak direlokasi sejak 1985, sampai dicap komunis
Meski di area depan candi, ramai pengunjung, sekitar warung ini, yang berada di ujung timur kompleks sedari tadi sepi. Ada satu dua orang yang melintas namun tidak menghampirinya.
Meski tidak tinggal di bangunan ini lagi, selain untuk menjaga warung, ikatan Dawud dengan tanah milik orang tuanya begitu mandalam. Ia ingat, saat kompleks candi hendak dipugar dan ditata pada 1985, bapaknya memilih mempertahankan tanah dan tidak mau pindah.
Dari puluhan KK, hanya lima rumah yang memilih bertahan, salah satunya milik keluarga Dawud. Ia ingat pesan bapak, bahwa tanah ini harus dijaga karena uang bisa cepat habis namun tempat ini bisa turun temurun lintas generasi.
“Dulu ya cukup ditekan supaya menjual rumah. Zaman Pak Harto kan keras to Mas. Kami sampai minta bantuan LBH yang dulu kantornya di dekat Pasar Beringharjo,” kenangnya.
“Bahkan dulu karena kekeuh nggak mau jual rumah, kami dibilang komunis. Padahal nggih mboten onten komunis-komunisan keluarga niki,” sambungnya tertawa.
Tanpa bantuan LBH, Dawud yakin tanah ini sulit bertahan. Beruntungnya, masa berat itu telah terlalui.
Sepeninggal bapaknya, sempat ada tawaran kembali untuk menjual tanah dengan luas sekitar 800 meter persegi milik keluarganya. Namun, hal itu dinegosiasikan pihak pemerintah ke kakaknya.
“Ya kalau saya ngikut saja soal itu. Urusan kakak saya. Tapi kalau ingat dulu pesan bapak nggih tanah ini perlu dijaga terus,” tuturnya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima, wisata Candi Ratu Boko Jogja tutup pukul lima. Warung milik Dawud pun tutupnya menyesuaikan dengan jam tersebut.
Beruntungnya, tiba-tiba rombongan puluhan orang yang lelah berkeliling mampir di warung tersebut. Dagangan Dawud yang daritadi sepi jadi berubah menjadi ramai. Raut bahagia terlihat di wajahnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bu Lasiyem, Warung Makan yang Nyempil Sendirian di Halaman Hotel Hyatt Jogja
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News