Suharto dan Prabowo memiliki kesamaan. Kedua figur ini sama-sama punya ambisi besar dalam mewujudkan swasembada pangan bagi Indonesia. Mertua dan menantu ini juga punya cara yang identik dalam mewujudkan proyek ambisius tersebut, yakni melalui jalan yang “merusak”.
***
Presiden RI Prabowo Subianto memasukkan swasembada pangan sebagai program prioritas dalam visi Asta Cita. Swasembada pangan Indonesia ditargetkan tercapai pada 2028 mendatang.
Target swasembada pangan mengandalkan program prioritas lumbung pangan food estate. Pada program ini, ditargetkan pengembangan sawah seluas 250 ribu hektar dan kawasan padi seluas 485 ribu hektar.
Ambisi mengenai swasembada pangan memang sudah seharusnya. Hampir tiap presiden yang menjabat menggelorakan swasembada pangan sebagai tujuan yang ingin dicapai. Masalahnya, cara untuk mencapainya dianggap bermasalah dan penuh tantangan.
Indonesia sendiri sempat mengalami swasembada pangan melalui swasembada beras pada 1984-1988 oleh Suharto. Prabowo pun berambisi untuk mengulangi capaian manis itu. Sayangnya, cara-cara merusak dan penuh kekerasan juga direplikasi.
Ambisi swasembada pangan ala Suharto muncul
Sejak mengambil alih kekuasaan melalui peristiwa gerpolek, Suharto mengawali era baru Indonesia via orde baru. Bagi rezim anyar, ambisi swasembada pangan melalui proyek lumbung pangan menggebu-gebu. Suharto ingin melanjutkan ambisi serupa yang gagal dijalankan Sukarno.
Dalam Celebrating Indonesia: Fifty Years with Ford Foundation 1953-2003 (2003), setidaknya ada dua alasan utama mengapa Suharto ngebet menggenjot proyek tersebut. Pertama, kelaparan yang meluas di penjuru negeri pada 1960-an. Kedua, karena kepincut teknologi yang dikembangkan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dari University of Philippines.
Kala itu, Suharto mengirim para ahlinya ke Filipina untuk mengembangkan varietas lokal yang banyak dikirim ke IRRI. Alhasil, dari hasil belajar di negeri orang ini, para ahli Suharto punya beberapa rekomendasi.
Misalnya, diawali pada 1966 saat IRRI merilis varietas pertamanya yang dinamai IR8, persilangan padi jenis Peta dari Indonesia dengan padi Dee Geo Woo Gen dari Taiwan. Pemerintah mengenalkannya ke petani Indonesia dengan nama PB8 atau “Peta Baru 8”
Sepaket dengan itu, Suharto juga mulai memperkenalkan pupuk dan pestisida. Berbekal bantuan dana ratusan juta dolar dari Bank Dunia, pemerintah mensubsidi pupuk dan pestisida hingga 80 persen. Sedangkan stok pestisida dipenuhi dua perusahaan asing, Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan raksasa penghasil obat-obatan kimia BASF.
Atas rekomendasi IRRI juga, pemerintah mulai membatasi penggunaan padi varietas lokal yang sempat jadi primadona. Misalnya padi rojolele, ketan tawon, bengawan, cempolorejo, dan ketan ireng karena dianggap tak produktif. Program ini, belakangan dinamai dengan istilah Revolusi Hijau.
Jalan kekerasan dalam mewujudkan Revolusi Hijau
Nyatanya, program ini tak berjalan mulus-mulus amat. Di lapangan, banyak petani menganggap PB8 adalah produk buruk: rasanya nggak enak, harga jual juga rendah.
Namun, pemerintah menggunakan jalan kekerasan demi mencapai swasembada pangan. Mereka memaksa para petani untuk menanam bibit yang telah direkomendasi. Jika tidak, tanaman akan dicabuti aparat. Sementara yang tak mau pakai urea dan pestisida, jualan gabahnya bakal dipersulit.
Suharto juga menekan para gubernur. Jika target panen tahun tersebut gagal memenuhi target, mereka bakal diberhentikan. Makanya, mau tak mau gubernur makin menekan petani untuk manggut-manggut dengan program pemerintah.
Program ini pun akhirnya gatot alias gagal total. Bahkan, penggunaan pestisida yang berlebihan membuat berbagai jenis hama mengalami antibodi. Hasilnya, awal 1970-an, Indonesia mengalami bencana serangan hama wereng (Nilaparvata lugens).
Lambat laun, petani kehilangan kepercayaan pada Suharto. Sebab, menanam benih sesuai anjuran pemerintah sama dengan bunuh diri. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. Sebab kalau mau balik menanam padi varietas lokal, timbunan zat kimia telah membuat tanah jenuh dan tak lagi cocok ditanami.
Swasembada pangan yang harus dibayar mahal
Dengan berbagai dinamika dan aksi represi ke petani yang makin eskalatif, Suharto berhasil mewujudkan swasemdada beras pada 1984. Tak ada lagi impor beras, sampai-sampai Suharto mendapatkan penghargaan dari FAO atas capaian ini.
Namun, penelitian Hikmah Rafika Mufti berjudul “Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum Petani Produsen Beras Tahun 1966-1988” menjelaskan, kalau capaian ini sebenarnya ilusif. Alias, ia tak benar-benar menyelesaikan masalah pangan di Indonesia.
Alasannya, sejak swasembada pangan, produksi beras Indonesia sebenarnya mengalami penurunan sejak 1985. Alhasil, Suharto pun gagal mempertahankan swasembada sehingga memilih mengalihkan fokusnya.
“Pada tahun 1988 fokus kebijakan pemerintah tidak lagi pada intensifikasi dan perluasan lahan, melainkan diversifikasi yang menggabungkan pertanian dan teknologi,” tulis Hikmah.
Lebih dari itu, para petani pun akhirnya juga kehilangan khazanah benih lokal hasil daya cipta sendiri. Sebelum Revolusi Hijau, petani menciptakan ribuan varietas. Namun, gara-gara program ambisius Suharto itu, banyak varietas kini punah.
Serupa mertua, serupa menantu
Banyak yang beranggapan, bahwa ambisi swasembada pangan yang digelorakan Prabowo punya risiko yang sama dengan yang pernah dicapai mertuanya, Suharto. Apalagi, proyek yang memakan anggaran Rp124 triliun ini ditarget tercapai via food estate, program yang banyak analisis menyebut “gagal total”.
Puluhan laporan yang disusun berbagai lembaga, mulai dari Environmental Paper Network, Pusaka, GRAIN, Walhi Papua, Greenpeace, Global Forest Coalition, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Biofuel Watch, Rainforest Rescue, Walhi Kalimantan, Serikat Petani, hingga FIAN Indonesia, kompak menyuarakan bahwa food estate itu merusak.
Di Papua, misalnya, food estate telah “menyingkirkan” masyarakat adat. Di sana, program ini juga mengikis komoditas pangan lokal karena berkurangnya lahan untuk menanam tanaman pangan tradisional masyarakat setempat. Food estate hanya mengizinkan konversi ke perkebunan industri, bukan untuk petani lokal.
Adapun di Kalimantan, food estate terbukti sia-sia karena lahan gambut tak cocok ditanami tanaman pangan. Bukti empiris menunjukkan, kondisi lahan rawa dan asam, yang mendominasi lahan food estate di Kalimantan, membuat varietas pangan gagal beradaptasi.
Swasembada pangan memang ambisi tiap pemimpin, termasuk Prabowo hari ini. Namun, sejarah juga membuktikan, cara yang keliru untuk mencapainya hanya menimbulkan mudharat yang lebih besar. Apalagi, peneliti senior Charles Darwin University, Jonatan A. Lassa pernah mencatat, “swasembada pangan tidak sama dengan ketahanan pangan”.
Bagi Lassa, ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata. Akan tetapi, ia lebih soal manajemen investasi pada sektor-sektor non pangan dan non-pertanian, yang harus dilihat sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Petani Indonesia Belum Merdeka, Di Hari Kemerdekaan RI ke 79 Petani Malah Nelangsa
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News