Sudah 4 Tahun Kuliah di UI, Malah Pilih Kampus Nggak Terkenal di Jogja: Kini Nikmati Upah Jakarta, Biaya Hidup Jogja

Sudah 4 Tahun Kuliah di UI, Pilih Kampus Nggak Terkenal di Jogja: Kini Nikmati Upah Jakarta, Biaya Hidup Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi Sudah 4 Tahun Kuliah di UI, Pilih Kampus Nggak Terkenal di Jogja: Kini Nikmati Upah Jakarta, Biaya Hidup Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Empat tahun kuliah di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, anak muda ini justru pilih keluar dan mulai dari nol lagi untuk kuliah di kampus yang baru berdiri di Yogyakarta. Ia tidak menduga, Jogja mengubah karakternya sehingga sulit berpaling dari kota ini. Kini ia menikmati gaji Jakarta, biaya hidup Jogja.

***

Sebut saja namanya Abdi Nugroho* (30), anak muda yang kini bekerja sebagai penulis skenario film freelance ini memilih Yogyakarta sebagai tempat tinggal. Padahal kalau mau, ada banyak tawaran bekerja di ibu kota untuk orang sepertinya.

“Kalau mau berkembang di industri film ya tempatnya sebenarnya di Jakarta, tetapi banyak pertimbangan yang membuat saya memilih Jogja. Salah satunya karena sekarang sebagai penulis skenario, pekerjaan dari Jakarta bisa saya kerjakan di Jogja,” kata Abdi dalam obrolan di sebuah warung makan, Jalan Kaliurang Km 12, Jumat (22/3/2024).

Ketika teman SMA “bedol desa” ke Jogja dan Malang untuk kuliah, Jakarta justru jadi pilihan

Sosok Abdi ini tergolong anti mainstream. Setidaknya itu yang saya tangkap dari obrolannya. Saat SMA, ketika teman-temannya menyasar tempat kuliah di Jogja dan Malang, ia justru menjatuhkan pilihanya ke Jakarta. 

“Lulusan SMA-ku di Purwokerto, kalau kuliah di Jawa Timur terutama Malang dan di Jogja itu sudah kayak bedol desa, dua kota itu yang jadi tujuan utama. Saat itu saya mikir, harus beda, awalnya mau ke Bandung di Unpad, tapi atas beberapa pertimbangan pilihannya di UI Jakarta,” kata Abdi.

Abdi awalnya mengincar Jurusan Psikologi sebagai sasaran pertama, tapi ia kemudian  harus menerima nasib masuk Sastra Cina yang jadi pilihan kedua. Ia lolos, dan pindah ke ibu kota. Ada 10 teman satu angkatan SMA yang kuliah di UI.

Abdi bahkan menjadi salah satu kebanggan guru Bahasa Mandarinnya di SMA ketika tahu ia kuliah di UI. Wajar karena ia di sekolah lebih banyak nongkrong di sekretariat pecinta alam daripada belajar.

Sebagai seorang yang cukup aktif di organisasi waktu SMA, Abdi melirik beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)  di kampusnya. Berbeda dengan waktu SMA yang ia aktif di pecinta alam, di kampus ia memilih UKM teater dan UKM film sebagai tempatnya berorganisasi. 

“Waktu itu usia 18-19 kan lagi pingin-pinginnya punya waktu dengan nyoba ikut UKM-UKM. Waktu itu pernah ikut UKM teater, tapi kemudian lebih banyak waktunya di UKM film,” kata Abdi. 

Abdi harus menerima kenyataan, ternyata mata kuliah di Sastra Cina tidak semudah ia bayangkan. Ia merasa waktunya banyak tersita untuk belajar mengikuti mata kuliah. 

“Sedangkan di UKM film lagi asyik-asyiknya. Lagi sering bikin film pendek, produksi dan lain-lain,” kata Abdi. 

Nggak terasa, ia sudah empat tahun kuliah di UI. Artinya hanya tinggal satu tahun lagi ia punya waktu harus lulus dari UI atau kena DO kampus. “Saya lihat senior-senior sudah banyak yang di-DO, teman-teman seangkatan juga banyak yang menyerah. Apalagi ada dua mata kuliah yang nggak lulus-lulus. Akhirnya saya memutuskan untuk mundur,” kata Abdi. 

Pilih keluar dari UI sebelum kena DO kampus

Keputusannya mundur itu sudah ia pertimbangkan masak-masak. Termasuk dengan rencana selanjutnya yang ia inginkan yaitu mendalami film. 

“Saya kuliah di UI itu biaya orang tua, jadi keputusan mundur itu konsekuensinya kalau saya kuliah lagi maka biaya kuliah dan biaya hidup saya harus nanggung sendiri,” kata Abdi. Ia sudah mendata kampus-kampus perfilman di Jakarta. 

Abdi sudah merasa nyaman di Jakarta, sudah beradaptasi dan sanggup untuk menaklukan kota tersebut. Ia dan teman kuliahnya bahkan sudah punya production house kecil-kecilan yang mengerjakan proyek company profil dan dokumentasi acara-acara. Dari situ ia sudah punya tabungan. Ia juga punya pandangan bisa masuk di industri perfilman di ibu kota relatif lebih mudah karena paham dengan karakter orang-orangnya. 

Namun, ia mengingat lagi, semua biaya kuliah dan biaya hidup harus ia tanggung sendiri selama di Jakarta. Ia berhitung lagi dan merasa tidak cukup percaya diri dengan bekal kemampuannya. 

Ia kemudian mempertimbangkan dua kota lain di luar Jakarta untuk mendalami film sekaligus yang biaya hidupnya murah. “Akhirnya saya memutuskan untuk ke Jogja, pertimbangannya banyak teman-teman SMA yang kuliah di kota tersebut, biaya hidup juga terjangkau,” kata Abdi. 

Ia sudah berhitung, dengan uang tabungannya ia bisa membayar biaya masuk kuliah, dan dengan skill yang ia miliki, ia berharap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Baca halaman selanjutnya

Kehilangan karakter gara-gara pilih kuliah di Jogja

Kehilangan karakter gara-gara pilih kuliah di Jogja

Abdi menjatuhkan pilihannya pada Jogja Film Academy sebagai tempat belajar. Abdi menjadi mahasiswa di kampus film yang saat itu baru berdiri di Jogja. Jika dibandingkan dengan kampusnya sebelumnya jelas sangat jauh. Kampus barunya ibaratnya nggak terkenal, sedang UI jadi salah satu kampus terbaik di Indonesia. Namun, baginya nggak masalah. 

Ada yang membuatnya lebih kaget dari sekadar kampusnya, karakter mahasiswa di Jogja. “Di Jakarta saya biasa ceplas ceplos, sat set untuk menunjukkan siapa kita, di Jogja ternyata tidak seperti itu,“ kata Abdi. 

Ia yang biasanya di Jakarta sangat ekspresif dengan siapapun, bahkan dengan orang yang baru ia kenal, ia biasa to the point nggak banyak basa-basa, ternyata hal tersebut di Jogja tidak serta merta dipandang baik dan mudah diterima. 

“Saya kemudian lebih banyak mengamati dan beradaptasi bagaimana anak-anak muda di Jogja itu membawa diri. Aku melihat banyak anak muda yang kelihatannya diam, tapi ternyata pinter. Bilangnya nggak bisa, ternyata iso banget. Ngomong ra sugih, jebul sugih banget. Saya pelajari itu agar bisa membawa diri,” kata Abdi.

Ketika selesai kuliah dan mulai ada proyek di Jakarta, ia cukup sulit untuk kembali ke setelan Jakarta. Itu karena, ia merasa Jogja telah mengubah sebagian karakternya. Sekarang ia menjadi lebih santai, merasa tidak perlu menunjukkan apa kemampuannya. Karakter yang bukan Jakarta banget. Namun, Abdi ia juga menikmatinya. 

Ia tahu bahwa pindah ke Jakarta akan membuatnya bertemu dan akan mempermudah membangun jejaring di industri film, karena industrinya memang ada di kota itu. Namun ia merasa, bukan saatnya. 

Menikmati kerja gaji Jakarta, pengeluaran Jogja

Toh, saat ini sebagai seorang penulis skenario, pekerjaannya bisa ia lakukan di mana saja. Meeting juga lebih banyak online, meski ia menyadari sebenarnya akan lebih maksimal kalau ia lakukan di Jakarta. 

“Selain itu tinggal di Jogja karena masih ada keinginan untuk membuat film pendek dan panjang. Yogyakarta menyediakan ekosistem untuk membuat film dengan efektif dan efisien. Di sini juga mudah cari alat atau talent, teman-temanku di Jogja juga masih banyak yang bantu,” kata Abdi yang belum lama ini film pendeknya meraih penghargaan internasional . 

Lebih dari itu, saat ini dengan mengerjakan proyek-proyek dari Jakarta, tapi tetap tinggal di Jogja ia bisa menabung untuk masa depan. “Kalau tinggal di Jakarta, saya sih nggak yakin bisa menabung. Sangat mungkin duit habis, nggak bisa makan, terus pinjam uang, kalau di Jogja bisa menghemat, bahkan bisa saving,” kata Abdi yang lagi getol mencari tanah murah di Jogja.  

*) Narasumber meminta namanya disamarkan dengan alasan privasi

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammm Izzuddin

BACA JUGA Suara Hati Sarjana Kerja di Jakarta Dapat Gaji Setengah UMR, Sering Dibanding-bandingkan dengan Adik Lulusan SMA di Kampung yang Penghasilannya Lebih Besar

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version