Jokowi Nggak Pantas Dipanggil Mulyono karena Terlalu Baik dan Sopan, Ada Panggilan yang Lebih Cocok tapi Bukan Firaun

Nama Mulyono Terlalu Baik buat Joko Widodo (Jokowi) yang Merusak Tatanan Negara MOJOK.CO

Ilustrasi - Nama Mulyono terlalu baik untuk Joko Widodo (Jokowi) yang merusak tatanan negara. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Belakangan ini publik sedang banter-banternya meledek Jokowi dengan panggilan Mulyono. Namun, hasil obrolan dengan seorang seniman Jogja menyimpulkan, nama tersebut agaknya terlalu baik. Jokowi tak layak dipanggil dengan nama Mulyono. Ada nama yang lebih menggambarkan sosok Presiden RI itu. Bukan Mulyono, Jokowi, Sengkuni, apalagi Firaun.

***

Kemuakan pada praktik mencederai demokrasi yang dilakukan Jokowi membuat publik melawannya bahkan hingga ke ranah personal. Sejak terjadi gelombang demonstrasi pada Kamis (22/8/2024) di beberapa daerah, selain narasi kritis, di media sosial juga ramai ledekan-ledekan menyasar Jokowi dan keluarganya.

Mulai dari panggilan Mulyono hingga isu bau ketiak yang menyasar menantu Jokowi (istri Kaesang Pangarep), Erina S Gudono.

“Tapi nama Mulyono bukannya terlalu baik ya buat Jokowi?” celetuk seorang kawan.

Mulyo dalam bahasa Jawa artinya “mulia”. Sementara apa yang dipertontonkan Jokowi jauh dari makna tersebut. Mangkanya, menurut kawan saya itu, rasa-rasanya tidak cocok jika Mulyono jadi bahan ledekan buat Jokowi. Terlalu bagus. Terlalu sopan.

Asal mula nama Mulyono

Usut punya usut, nama Mulyono ternyata sudah pernah ramai pada 2017 silam. Saat itu Jokowi membenarkan kalau ia memiliki nama lahir Mulyono.

Pada 21 Juni 1961 Jokowi lahir di Rumah Sakit Brayat Minulyo, Solo, Jawa Tengah. Orang tuanya lantas menamainya “Mulyono”. Namun, nama tersebut tak dipakai Jokowi kecil dalam waktu lama.

Sebab, ketika bernama Mulyono, Jokowi jadi sering sakit-sakitan. Hal ini pun diceritakan Jokowi sendiri dan tertulis dalam buku Jokowi Menuju Cahaya (2018) karya Alberthiene Endah. Alhasil, orang tua Jokowi mengganti nama dari Mulyono menjadi Joko Widodo.

“Boleh tidak percaya, saya kemudian tumbuh sehat. Itu misteri,” ujar Jokowi dalam buku tersebut.

Jokowi kabotan jeneng

Pertanyaan bernada ledekan kawan saya di atas pada akhirnya membawa saya untuk berbincang dengan Raksa* (38), seorang seniman sekaligus pegiat sastra Jawa asal Jogja. Ia memang meminta agar namanya disamarkan. Saya menyetujui.

Menurut Raksa, dalam bahasa Jawa Mulyono atau mulyo berarti mulia. Mungkin bisa bermaksud terhormat, punya kedudukan, atau bisa bermakna penuh kebaikan.

Namun ternyata Jokowi justru sakit-sakitan. Dalam kepercayaan Jawa, kondisi itu disebut dengan kabotan jeneng (keberatan nama). Yakni ketika nama yang sebenarnya mengandung harapan, ternyata harapan tersebut tak cocok dipikul oleh si anak penyandang nama. Maka nama atau harapannya perlu diganti.

Dalam konteks Jokowi, ia kemudian diberi nama Joko Widodo yang berarti lelaki yang selamat dan bisa menyelamatkan.

“Jadi harapannya mungkin diganti nama jadi lelaki selamat (Joko Widodo) biar bisa mengobati sakitnya,” jelas Raksa, Senin (27/8/2024) petang WIB.

Nama Mulyono memang tak cocok buat Jokowi

“Itulah kenapa aku nggak setuju kalau Jokowi diledek pakai Mulyono. Wong Mulyono saja sudah menolak jadi nama Jokowi sejak kecil kok. Karena mungkin sudah tahu kelak Jokowi nggak ada mulia-mulianya,” kelakar kawan saya.

Selain Mulyono, Jokowi juga punya “ledekan” lain, yakni Firaun. Sebutan yang pertama kali tercetus dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan pernah bikin geger pada Januari 2023 silam. Firaun mungkin terkesan ke-Arab-Araban. Oleh karena itu, “Ada kah sebutan dalam khazanah Jawa yang cukup menggambarkan sosok Jokowi?” Tanya saya pada Raksa.

“Di tokoh wayang, karakter Jokowi itu mirip Drestarastra (ayah para Kurawa). Yang macak buta, polos, lembut, tapi sebenarnya punya ambisi merebut negara untuk anak-anaknya,” kata Raksa.

“Drestarasta itu tidak kelihatan brangasan seperti tokoh wayang lain misalnya Duryudana. Tidak juga menampakkan licik seperti Sengkuni. Tapi dia mengendalikan semuanya dengan senyap,” sambung seniman dan pegiat aksara Jawa asal Jogja tersebut.

Harus ganti nama lagi?

Mulyono sudah jelas tidak cocok untuk Jokowi. Bahkan nama Joko Widodo pun pada akhirnya tak begitu cocok. Sebab, alih-alih menjadi penyelamat, Jokowi justru—seperti kata publik—merusak tananan negara.

“Masa perlu ganti nama lagi?” tanya saya pada Raksa. Ini pertanyaan serius.

“Tapi di Jawa tradisi ganti nama saat dewasa juga ada kok. Biasanya umur 40-an tahun. Istilahnya ganti jeneng tuwa,” balas Raksa.

Raksa menyontohkan yang terjadi pada (misalnya) Ki Hadjar Dewantara. Lahir pada 2 Mei 1899 di lingkungan Keraton Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara memilik nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat.

Pada 3 Februari 1928, Raden Mas Suwardi Suryaningrat lalu memutuskan mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, ketika memasuki umur 40 tahun. Perubahan nama tersebut, pertama, untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya. Tentu agar bisa lebih dekat dengan masyarakat bawah.

Selain itu, nama Ki Hadjar Dewantara dirasa lebih cocok karena sosok bernama asli Suwardi itu punya keteguhan dalam perjuangan di bidang pendidikan dan pengajaran. Dan itu benar-benar tercermin pada Ki Hadjar Dewantara yang hingga akhir hidupnya mengabdikan diri pada dunia pendidikan di Indonesia.

Ruwatan penangkal energi negatif

Menurut Raksa, dalam tradisi Jawa, penggantian nama pada anak biasanya juga dibarengi dengan acara ruwatan. Agar nama baru yang diberikan benar-benar memberi kebaikan pada si anak.

“Ada sajen bancakan dan ritual tertentu. Setiap desa, adatnya biasanya berbeda. Tapi umumnya ada  Jenang Pancawarna. Lalu ada pula ritual ruwatan ganti jeneng,” jelas Raksa.

“Ada juga yang anaknya harus dibuang dulu (dititipkan ke tetangga atau sanak saudara), biar buang sawan. Ada yang harus ‘dikukus’ (ditaruh di dandang besar tempat menanak nasi). Lalu ritual itu dilanjut kenduren mengundang orang-orang,” imbuhnya.

Bagi orang Jawa yang punya rezeki lebih, ada juga yang menggelar wayangan “wayang ruwat”: pertunjukan wayang kulit yang dipercaya memiliki kekuatan magis untuk melindungi anak dari energi negatif.

“Di tokoh wayang juga ada tradisi ganti jeneng. Misalnya Jabang Tetuko yang ganti nama menjadi Gatotkaca. Ia lalu menjadi sakti, juga setelah direndam di Kawah Candradimuka,” tutur Raksa.

Jokowi nampaknya memang perlu ganti nama lagi dan diruwat. Karena makin ke sini kok rasa-rasanya makin berselimut energi gelap. Begitu kira-kira respons kawan saya ketika membaca uraian perihal ganti jeneng yang Raksa paparkan di atas.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Saya Menyesal Pernah “Memuja” Jokowi Secara Ugal-ugalan karena Dulu Terlihat Baik

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini

 

 

 

Exit mobile version