Kebebasan Bersuara Direnggut Gara-gara Cap Terlalu Feminis

Kebebasan Bersuara Direnggut Gara-gara Cap Terlalu Feminis. MOJOK.CO

ilustrasi - perempuan yang menyuarakan isu kesetaraan gender malah di cap terlalu feminis

Memperjuangkan hak perempuan di salah satu organisasi kepemudaan bukan hal yang mudah bagi Laras (21). Dia dicap terlalu feminis dan menelan mentah-mentah ilmu dari barat. Karena tidak ingin terus terjerat dari lingkungan itu, dia sampai harus mengundurkan diri dari jabatannya.

***

Sabtu (30/11/2024), Laras menyatakan pengunduran dirinya dari posisi strategis di suatu organisasi kepemudaan. Dia tak tahan dengan budaya patriaki yang ada di dalam organisasi tersebut.

Di era yang sudah modern ini, Laras masih merasakan kekuasaan laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Di organisasi kepemudaan itu, kata Laras, perempuan seringkali diancam agar tidak berpendapat, direndehkan, dan dikucilkan dalam rapat pengambilan keputusan.

Meski begitu, perempuan asal Surabaya itu mengaku tak gentar karena dicap terlalu feminis. Dia akan terus menyuarakan hak-hak perempuan sampai anggota-anggotanya yang lain berani bersuara. Walaupun sekarang, Laras sudah keluar dari organisasi tersebut.

Laras berharap pengunduran dirinya tak dinilai sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab, karena dia sudah mengucapkan sumpah saat pelantikan. Dia hanya ingin anggota lainnya sadar bahwa ada kondisi internal dari organisasi yang harus dibenahi.

“Ini bukan sebuah kekalahan atau penyelesaian dakwah, melainkan adanya berbagai faktor yang sudah tidak rasional. Saya tidak ingin bertahan secara terus-menerus pada lingkaran ini, semoga kita semua menuju eudaimonia,” tulis Laras dikutip melalui Instagram pribadinya.

Sengaja membatasi akses perempuan

Laras tak habis pikir dengan berbagai kebijakan dari ketua organisasinya. Padahal, mereka belum lama ini menjabat di organisasi kepemudaan, tapi banyak kebijakan yang menurut Laras sudah menyimpang dari nilai-nilai universal. Bukan lagi berbicara soal feminis.

Misalnya begini, kata Laras, saat menghubungi saya melalui telepon. Pengadaan rapat di organisasi tersebut dimulai pada jam-jam yang tak ramah untuk perempuan.

“Setiap permasalahan itu diselesaikan di meja perkopian, dimulai dari jam 00.00 WIB bahkan 01.00 WIB,” kata Laras.

Meskipun itu hanya rapat internal, tapi Laras merasa tindakan itu sudah tidak profesional. Bahkan, Laras yang juga pengurus inti seringkali tidak dilibatkan.

Jadi ada kelompok eksklusif yang anggotanya laki-laki semua. Mereka sering ngadain rapat dadakan, dan hasil rapat itu seringkali mengubah semua konsep yang sebelumnya kami buat,” ucap Laras.

Feminis tak boleh bersuara

Baru-baru ini, teman perempuan Laras yang seorang bendahara baru menyadari bahwa uang organisasi yang dipegang oleh ketua umum mereka tiba-tiba raib. Padahal, berdasarkan pencatatan bendahara, uang itu seharusnya tidak berkurang banyak.

“Kerugiannya di bendahara itu sampai Rp5 juta. Di teman-teman sampai Rp7 juta,” ujar Laras.

Meski berada dalam kepengurusan inti, Laras maupun bendahara itu merasa pendapatnya sering kali tidak didengar. Sehingga, dia takut mengungkapkan kejadian yang sebenarnya.

Akhirnya, guna menalangi kebutuhan organisasi yang penting dan mendesak, bendahara kerap meminta iuran kepada para anggota. Lambat laun, anggota mulai curiga dan bertanya-tanya, kemana dana internal organisasi selama ini?

“Temanku ini merasa bersalah banget, karena yang disalahkan itu bendahara sama ketuanya, padahal yang ambil itu ketuanya loh,” ucap Laras.

Beberapa teman Laras sudah berulang kali mendesak ketua umum agar menjelaskan ke para anggota, tapi tanggung jawab seolah dilimpahkan semuanya ke bendahara. Laras juga meminta ketua umum agar uang yang dia pegang dikembalikan tapi tidak digubris. Dia malah dicap terlalu feminis.

“Dia sama sekali nggak merasa bersalah walaupun sudah ditekan,” ucapnya. 

Dicap terlalu feminis

Bagaimanapun, dalam suatu organisasi kebijakan dari pemimpin harus selalu ditaati baik itu laki-laki maupun perempuan. Namun, Laras merasa ketuanya saat ini sudah bias gender dalam menentukan keputusan, bahkan sampai mengancam anggota perempuan.

Jadi kelompok pendukung ketua umum yang kebanyakan laki-laki ini ngancem ke anggota perempuan bilang gini: kalau kamu ngomong, ya nanti urusannya di belakang, jadi mereka takut terlibat,” kata Laras.

Laras pernah membuka diskusi soal keseteraan gender dalam rapat pleno organisasi. Misalnya, ketika organisasi kepemudaan mengadakan suatu acara. Perempuan selalu ditempatkan di divisi logistik seperti konsumsi atau kebersihan. 

“Malah ketua umumku jawabnya gini: aku loh nggak pernah nyuruh perempuan buat angkat-angkat galon di setiap kegiatan, padahal konsep kesetaraan kan bukan terkait hal fisik saja,” ucapnya.

Alih-alih didengarkan, beberapa anggota malah menudingnya terlalu feminis dan mengambil mentah-mentah ilmu barat. Padahal, Laras hanya ingin anggota perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, mereka bisa mengutarakan ide dan pendapatnya dengan berani, tanpa merasa terancam.

“Padahal, konsep kesetaraan tuh nggak hanya dari barat, R.A Kartini pun juga mengajari konsep kesetaraan,” ujarnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Feminis di Indonesia Itu Nggak Membenci Laki-laki. Netizen Budiman, Muhasabah Diri Anda, Hei!

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version