48 Tahun Menjadi Petugas Kebersihan di Surabaya hingga Antar Anak Jadi Sarjana

ilustrasi - pemulung di Surabaya bekerja selama 48 tahun hingga bisa mengantarkan anak kuliah. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kemiskinan tak membuat Sukarmin (65) putus asa mewujudkan mimpi anaknya untuk kuliah. Sehari-hari dia mengorek sampah dan menabung sedikit demi sedikit untuk biaya pendidikan anaknya. Pekerjaan menjadi seorang petugas kebersihan di Surabaya sudah dia lakoni selama 48 tahun.

***

Tak semua orang mampu mengenyam bangku kuliah. Selain harus lolos seleksi, biayanya juga tak murah. Namun, Sukarmin begitu mendukung anaknya untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi, meskipun pendapatannya sedikit sebagai petugas kebersihan. 

Mimpi itu pun mustahil terwujud jika anak Sukarmin, Sugiyarti, tidak memiliki keinginan yang tinggi. Giyar, sapaan akrabnya, paham bagaimana ayahnya harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Oleh karena itu, sembari sekolah dia juga membantu kedua orang tuanya dengan bekerja.

Pilih menjadi petugas kebersihan di Surabaya

Sukarmin sudah siap menarik gerobak sampahnya sehabis salat subuh. Dia berangkat dari kontrakannya, lalu berkeling ke kampung-kampung sekitaran Kelurahan Peneleh, serta Jalan Achmad Jais sampai sore. 

“Kalau truk sampah di TPS lancar, kira-kira jam 12 itu sudah selesai, tapi kalau nggak lancar ya setor sampai jam 17.00 WIB,” ucap Sukarmin  kepada Mojok, Rabu (27/11/2024).

Laki-laki asal Sragen, Solo itu sudah menjadi petugas kebersihan di Surabaya sejak tahun 1976 saat remaja. Pada usia 16 tahun, dia memutuskan pergi ke rumah pamannya di Surabaya. Sebab dia pikir, tak ada pekerjaan yang bisa dia geluti sebagai lulusan SD. 

“Di desa saya cuman angon sapi,” katanya.

48 Tahun Menjadi petugas kebersihan di Surabaya hingga Antar Anak Jadi Sarjana. MOJOK.CO
Sukarmin, petugas kebersihan Surabaya yang sudah berprofesi selama 48 tahun. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Paman Sukarmin sudah bekerja sebagai penjaga tempat pembuangan sampah (TPS) sementara di Jalan Achmad Jais, Surabaya. Mulanya dia hanya membantu pamannya, tapi kemudian disuruh bekerja sendiri. Akhirnya, Sukarmin mulai memungut sampah sendiri di kampung-kampung.

Setia sebagai petugas kebersihan setelah menikah

Dua tahun menabung dari hasil memulung, Sukarmin memutuskan menikah. Istrinya yang juga berasal dari Solo akhirnya tinggal di Surabaya. Mereka pun mengontrak di daerah Kedung Anyar.

Tahun 1980, keduanya kemudian dikaruniai seorang anak. Putri kecilnya itu mereka beri nama Giyar. Menurut Sukarmin, Giyar adalah sosok yang pengertian dan suka belajar sejak kecil.

Dia becerita anaknya itu tergolong cerdas. Buktinya, dari SD hingga SMA dia selalu lolos masuk sekolah negeri.

“Zaman dulu itu kan nggak ada bantuan sama sekali, saya dan istri pakai uang pribadi menyekolahkan anak. Alhamdulillah anak saya danemnya selalu tinggi, jadi sekolahnya di negeri,” ucapnya.

Dengan begitu, Sukarmin tak perlu mengeluarkan uang yang terlalu besar untuk biaya sekolah anaknya. Sebab jujur saja, penghasilannya sebagai petugas kebersihan di Surabaya itu hanya Rp60 ribu dalam sebulan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup saja sudah mengkis-mengkis.

Tempat pembuangan sampah sementara di daerah Kelurahan Peneleh. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Untung ibu ini di rumah buka catering, kadang-kadang pas orang aqiqah mau pesan nasi dilayani. Kalau ibu nggak bantu ya nggak cukup. Kasarannya ya nggak sampai utang-utang,” kata Sukarmin.

Melepas beasiswa dari UNEJ dan UGM

Meskipun penghasilannya sedikit, Sukarmin tak ingin anaknya putus sekolah hanya karena perihal biaya. Setelah anaknya lulus, Sukarmin bahkan memberikan pilihan kepada Giyar: kuliah atau bekerja? 

Sukarmin sendiri berharap anaknya kuliah, mengingat peringkatnya di sekolah selalu masuk 10 besar. Rupanya, harapan Sukarmin sama dengan keinginan Giyar. Lampu hijau dari sang ayah membuat dia semangat mengikuti seleksi masuk kampus.

Dia bahkan berhasil mendapatkan beasiswa dari Universitas Negeri Jember (UNEJ) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Sayangnya, istri Sukarmin menentang karena lokasinya jauh dari Surabaya. 

Istri Sukarmin tak tega melepas anaknya pergi merantau. Terlebih, dengan pekerjaan Sukarmin sebagai petugas kebersihan, istrinya ragu bisa mengirimkan uang untuk kebutuhan hidup Giyar di sana.

Meskipun sudah mendapatkan beasiswa, ibunya tak mau jika Giyar luntang-lantung dan gagal menyelesaikan pendidikannya karena terhambat biaya.

“Soalnya anak perempuan satu-satunya,” kata Sukarmin menirukan istrinya.

Kuliah di kampus swasta Surabaya

Giyar akhirnya menunda niatnya selama satu tahun untuk kuliah. Dia sendiri paham jika ibunya bukan tak ingin dia berkuliah. Ibunya bahkan menyarankan agar Giyar mendaftar ke kampus swasta yang ada di Surabaya meskipun biayanya mahal.

Giyar lulus wisuda di tahun 2003. Dok. Sugiyarti

Akhirnya, Giyar mendaftar ke Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya Jurusan Sastra Bahasa Indonesia. Beruntungnya, Giyar lolos dengan beasiswa. Mengingat kampus itu masih swasta, dia tak ingin membebani orang tuanya, terutama ayahnya yang masih bertugas sebagai petugas kebersihan.

“Perjuangan saya sangat berat saat itu, saya harus ngajar bimbel, jualan sandal, baju, serta gorengan di kampus,” kata Giyar.

Sukarmin bercerita anaknya itu bahkan sampai membuka les-lesan di rumah. Kadang-kadang kalau Giyar belum pulang, Sukarmin akan membantu. Jika sekadar mengajari membaca, menulis, dan menghitung untuk kelas 1 SD, Sukarmin masih bisa.

Kuliah lagi untuk menjadi guru

Giyar lulus tepat waktu di tahun 2003. Usai lulus, Giyar tetap melakoni kegiatannya mengajar serta membantu usaha cathering ibunya. Singkat cerita, Giyar akhirnya diterima menjadi guru TK dan SD di tahun 2019.

“Saya termotivasi menjadi guru karena guru SD saya yang memberikan pendidikan kepada anak-anak dengan ikhlas,” ucap Giyar.

Sugiyarti lulus wisuda tahun 2022. Dok. Sugiyarti

Oleh karena itu, Giyar memutuskan kuliah lagi di tahun 2022. Dia ingin menerapkan ilmunya yang ada di SD dengan Jurusan PGSD di Universitas Terbuka. Berkat usahanya itu, Giyar sering diundang menjadi pembicara untuk mengisi seminar.

“Saya juga menjadi trainer, berkeliling Indonesia dan memberi materi soal pembelajaran Bahasa Indonesia untuk guru-guru yang berada di pelosok,” ujar Giyar.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Cerita Ibu Tunggal Jadi Driver Ojol di Jakarta hingga Bisa Antar Anak Jadi Sarjana

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version