Jika diibaratkan delman, hidup sebagai kelas menengah laiknya kuda yang menarik dokar sambil membawa penumpang. Mereka terlihat paling kuat, meski aslinya paling menderita.
Begitu pula kelas menengah. Mereka terlihat mampu memenuhi kebutuhannya, padahal juga harus ngos-ngosan menyambung hidup. Mereka harus memutar otak sendiri karena tidak bisa bergantung pada siapapun, termasuk negara.
Bagi para konglomerat, mereka sudah selesai dengan urusan kebutuhan harian. Bagi menengah ke bawah, dalam kesulitan mereka, setidaknya ada jaring sosial seperti bantuan sosial (bansos), yang bisa diperoleh. Sementara bagi kelas menengah? Mereka hanya bisa meratapi nasib.
Seperti yang kita tahu, pemerintah memang punya banyak program bansos. Namun, kebanyakan untuk keluarga kelas ekonomi ke bawah, misalnya, Program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Jaminan Kesehatan Nasional, Bantuan Pangan Non Tunai, dan sebagainya.
Selain itu, penerima bansos pun masih wajib memenuhi syarat tertentu. Salah satunya, harus terdaftar di pangkalan data utama Kementerian Sosial atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Untuk masuk daftar tersebut, penerima bansos wajib punya surat keterangan tidak mampu. Hal ini yang sulit dipenuhi oleh kelas menengah.
Kelas menengah yang dianaktirikan
Menjadi masyarakat kelas menengah terasa berat bagi Ihza (23). Sebagai anak pertama dari dua saudara, Ihza terbiasa mengandalkan dirinya tanpa bergantung pada orang lain, apalagi kepada pemerintah.
Bagi keluarga kelas menengah seperti dia, mengharapkan bantuan dari pemerintah adalah kesia-siaan. Ihza merasa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak pernah berpihak pada kelompok kelas menengah.
“Kelompok menengah atas punya cukup banyak aset yang bisa membuat mereka stabil dengan guncangan yang mungkin terjadi, kaum menengah ke bawah punya bantuan dari pemerintah, lah kita (kelas menengah)? Ngang ngong!” kata dia.
“Perlu disadari, dengan kita bisa survive, belum tentu aman. Banyak yang bisa survive tapi tetep menggos-menggos (sesak nafas),” lanjutnya.
Tahun 2014-2019, Ihza menempuh pendidikan sekolah. Saat itu dia merasa belum mengalami kendala yang berarti, sebab ibunya masih punya penghasilan tetap sebagai karyawan pabrik. Beruntungnya dia juga lolos tes akademik untuk sekolah negeri.
Semasa kuliah di salah satu politeknik di Surabaya, Ihza tak terlalu ambisius untuk mencari bantuan pendidikan, misalnya KIP-Kuliah. Toh, program itu hanya untuk warga kelas menengah ke bawah.
“Ya, rasanya kayak dianaktirikan. Padahal kalau dibilang butuh, ya butuh. Tapi kami juga merasa (kondisi ekonomi) tidak separah itu,” ucapnya kepada Mojok, Minggu (13/10/2024).
Namun, dia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut banding uang kuliah tunggal (UKT) tiap semester. Dengan begitu, UKT-nya lebih murah, dan uang khusus untuk dana pendidikan bisa digunakan untuk kebutuhan lain.
PHK mengubah kasta
Ihza mulai mengalami kegusaran saat kondisi ekonomi keluarganya mulai tak seimbang. Ibunya sebagai penopang biaya hidup keluarga justru mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia sadar, tak banyak bantuan untuk masyarakat kelas menengah.
Merujuk data Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah kelas menengah terus menurun dalam lima tahun terakhir. Tahun 2021, jumlah kelas menengah sebanyak 53,83 juta orang. Mereka turun kelas, sehingga jumlah kelas menengah tahun 2024 hanya 47,85 juta orang. Artinya, hampir 9,5 juta orang yang tergolong kelas menengah turun menjadi kelas bawah.
Menurut ekonom Perbanas Institute, Dradjad H. Wibowo, faktor penurunan kelas itu karena kurangnya atau hilangnya penghasilan, dan atau bertambahnya tanggungan keluarga. Selain itu, kemungkinan lain karena ada anggota keluarga yang di-PHK, sehingga masuk menjadi tanggungan mereka.
“Bisa juga karena orang kehilangan pekerjaan bergaji tetap, lalu pindah ke pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap. Kondisi ini yang sekarang banyak terjadi,” ucap Dradjad saat dikonfirmasi Mojok, Selasa (15/10/2024).
Hal itu yang dialami oleh keluarga Ihza. Ketika ibunya kehilangan penghasilan tetap, ibunya beralih sebagai pekerja wiraswasta, yakni membuka usaha laundry rumahan. Awal mula membuka laundry, Ihza membantu ibunya dengan membuatkan flyer, lalu menyebarkannya ke orang-orang sekitar melalui media sosial.
Beruntungnya, keluarga Ihza masih bisa dikatakan “mampu” sebab ibu dan ayahnya punya usaha kos dengan tiga kamar. Jika ditotal, penghasilan kedua orang tuanya sekitar Rp 5-6 juta per bulan. Sangat mepet untuk membiayai kebutuhan sekolah anak bungsu mereka yang bersekolah di SMA swasta.
Usaha kelas menengah mencukupkan kebutuhan
Kondisi yang serba mepet membuat Ihza harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhannya. Salah satunya dengan berhemat. Bukan pelit, tapi dia memang sering pikir-pikir untuk membeli makanan, baju, atau barang.
Sebagai keluarga kelas menengah, membeli kebutuhan dasar saja perlu banyak pertimbangan. Apakah barang itu penting dan mendesak? Apakah itu hanya keinginannya semata? Adakah yang lebih murah dengan kualitas cukup?
Ihza sendiri bekerja sebagai staf social media manager di salah satu perusahaan F&B di Surabaya. Penghasilannya sekitar Rp3-3,5 juta. Meskipun gajinya tak sampai UMR, setidaknya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dia tidak perlu pusing membayar tempat tinggal atau makan, karena masih bersama orang tua.
Agar tidak memberatkan kedua orang tuanya, Ihza merasa perlu menyisihkan gajinya ke sang ibu. Dia juga berusaha melakukan pekerjaan rumah sebelum atau sesudah pulang bekerja, seperti menyetrika, menjemur pakaian, menyapu, memasak, dan membantu tugas sekolah adiknya.
Kebijakan pemerintah yang terasa sia-sia
Ihza merasa program bantuan dari pemerintah kurang menjangkau semua orang. Kalaupun ada kebijakan yang meringankan untuk kelas menengah, sosialisasinya tidak semasif bantuan untuk kelas ekonomi ke bawah.
“Bantuan itu hanya khusus untuk orang-orang yang niat, mau mencari dan membutuhkan,” ucap Ihza.
Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah melakukan pertimbangan di awal jika ingin memberikan bantuan. Pemerintah bisa mengkategorikan kebutuhan masing-masing kelas dengan sistem yang adil, sehingga kelas menengah punya peluang untuk berusaha dan diapresiasi.
Sebagai contoh, dalam sistem penerimaan siswa baru seharusnya pemerintah melaksanakan tes dengan adil. Pemerintah bisa memberikan bantuan atau beasiswa kepada siswa yang berprestasi untuk masuk sekolah negeri.
Selain itu, Ihza berharap ada kebijakan dari pemerintah yang juga memikirkan kondisi masyarakat kelas menengah. Bantuan itu, bisa jadi tidak sebanyak yang diberikan untuk kelas bawah, tapi harus tetap ada.
“Kita juga butuh support yang baik untuk bisa hidup ‘layak’. Nggak melulu dengan bantuan yang dikasih tiap bulan, cukup biaya atau pengeluaran yang masuk akal, dan kesempatan buat ada di posisi yang lebih baik, sepertinya cukup,” ujar Ihza.
Pemerintah juga bisa gencar melakukan publikasi dan sosialisasi, seperti yang dilakukan untuk kelas bawah. Serta tak lupa, mengalokasikan dananya dengan optimal.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kutukan Paling Mengerikan di Dunia Adalah Menjadi Warga Kelas Menengah di Indonesia!
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News