Di Solo, terdapat kafe berkedok toko buku. Kafe Bukuku Lawas namanya. Tempat ini menjadi tempat nongkrong favorit bagi para mahasiswa pecinta kopi sekaligus buku.
***
Sejujurnya, Kafe Bukuku Lawas tidak terlihat seperti sebuah kafe jika dilihat dari luar. Saya sudah sering mondar-mandir melewati jalan ini. Namun, selama ini saya mengira bangunan joglo tua adalah angkringan, karena kesannya yang memang demikian.
Meskipun sudah lama menjadi mahasiswa UNS, malam Minggu (16/11/24) kemarin, saya baru meluangkan waktu mendatangi kafe tersebut. Rasa penasaran, ditambah teman-teman yang terus merekomendasikannya, membawa langkah kaki saya ke sana.
Kalau boleh jujur, awalnya saya tidak memiliki ekspektasi tinggi saat pertama datang kesini. Sebab, ini bukan kali pertama saya datang ke sebuah kafe dengan “gimmick” yang sama: berjualan kopi, tapi juga memamerkan buku.
Apalagi area parkir yang terbilang sempit dan penuh, membuat kesan pertama tiba di Kafe Bukuku Lawas langsung terasa kurang enak. Namun, sesaat setelah saya masuk, suasana remang-remang dan kumpulan lemari penuh dengan buku membuat saya kaget.
Sulit buat mendeskripsikan kesana itu dengan kata-kata. Yang jelas, meskipun tidak terlalu ramai, kumpulan buku di sini langsung membuat saya terpikat lagi. Tanpa perlu berkeliling, buku-buku klasik dan menarik macam Between Heaven & Hell, The Most Important Minute, sampai komik Mama Calle dan Dragon Ball Z langsung membuat saya tak sabar untuk duduk dan membaca.
Kafe Bukuku Laws, bookstore berkedok coffeeshop
Saya memutuskan untuk memesan secangkir caramel latte. Saat sedang memesan, Galih, salah seorang karyawan Kafe Bukuku Lawas menjelaskan kepada saya terkait teknis peminjaman buku.
“Kalau mau pinjam, bisa langsung diambil, Mas. Nanti kembalikan saja ke tempat semula,” ujarnya kala itu. “Sama bisa, Mas, kalau misalnya mau beli buku juga,” imbuhnya.
Galih menjelaskan kalau harga buku ada di di halaman terakhir buku. Saya pun gercep melihat-lihat koleksi buku lain. Barangkali ada yang cocok, baik secara selera maupun harga.
Ada banyak buku di kafe ini. Di rak, misalnya, buku-buku baik yang bisa dipinjam maupun boleh dibeli, tertata rapi. Tak cuma di situ, ada juga buku-buku yang bertumpuk di lantai.
Selain buku dan novel populer masa kini, yang menambah sisi unik Kafe Bukuku Lawas adalah mereka menjual buku klasik. Sesuai namanya: Lawas, yang dijual pun buku-buku terbitan tahun 1950-an ke bawah. Tentu, semakin tua usianya, harga buku juga semakin tinggi.
Buku kualitas tinggi dengan harga obral
Dengan sigap saya mengambil beberapa komik dan buku Operasi Gelap CIA. Sesaat ketika saya membaca buku komik, saya menyadari bahwa buku-buku ini lebih seperti hiasan dan daya tarik Kafe. Poin unik dari kafe ini memang terletak pada buku gratis untuk dibaca para pengunjung. Karena meskipun mereka “menjual” nuansa lawas, kualitas buku-bukunya sangatlah terawat dengan bagus.
Buku yang saya ambil, misalnya, semuanya terlihat sangat terjaga. Tidak ada goresan, coretan, atau sobekan pada buku-buku ini. Buku-buku ini memang terlihat buku jadul karena warna kertasnya sudah menguning.
Tapi bagi saya, itulah daya tarik utama kafe ini. Ditambah dengan dengan lampu yang remang membuat kafe Bukuku Lawas memiliki vibe yang amat vintage. Cocok jadi tongkrongan bagi anak muda zaman sekarang.
Saya pun tidak ragu untuk membeli 2 buku, satu komik dan satu buku lawas tentang operasi CIA tadi. Saya pun menyiapkan uang Rp100 ribu lebih untuk dua buku tersebut. Tapi, siapa sangka, harga yang diberikan Kafe Bukuku Lawas sangat “mbanting”.
“27 ribu,” kata Galih. Saya sempat mengira salah dengar. Sebelum akhirnya Galih menjelaskan kalau komik yang saya pegang seharga Rp5 ribu dan buku Operasi Gelap CIA cuma Rp22 ribu. Dengan kualitas yang masih sangat bagus, tentu ini amat worth it.
Alasan harga buku di Kafe Buku Lawas murah
Setelah membayar, saya kembali berbincang Galih. Dia mengatakan memang cukup sulit untuk mempertahankan kualitas buku. Apalagi buku-buku di Kafe Bukuku Lawas adalah keluaran lama yang cenderung lebih rentan.
“Paling kami lawan itu kalau sudah berhubungan saya hujan dan rayap,” kata dia.
Dia bilang, saat koleksi buku masih sedikit, dirinya tak terlalu repot untuk merawatnya. Namun, ketika jumlahnya semakin banyak, tentu Galih mengalami kesulitan.
Menurut Galih, ketika pertama kali bekerja di sini, koleksi buku di Kafe Bukuku Lawas baru sekadar memenuhi rak. Namun, sekarang sudah mulai banyak yang bertumpukkan di atas lantai.
“Untungnya misal ada pembaca nemu buku yang kondisinya rusak, mereka bisa makhlum karena memang buku di sini tua-tua semua,” jelasnya.
Galih tak terlalu paham untuk menjelaskan mengapa harga buku di sini bisa sangat murah. Dia hanya mengatakan bahwa sang owner memang punya impian untuk membuat ruang baca gratis. Akhirnya, muncullah ide bisnis kafe yang memungkinkan pengunjung untuk membaca secara gratis. Demi memperpanjang nafas bisnis, beberapa buku kemudian ada yang dijual–sampai sekarang.
“Kami juga ada di marketplace. Jadi kalau mau membeli, bisa juga di sana,” pungkasnya.
Penulis: Dwi Akbar Setiawan
Editor: Ahmad Effendi
Catatan:
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo periode Oktober-November 2024
BACA JUGA Jogja Tak Pernah Lengkap Tanpa Buku, Musik, dan Seni Rupa
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News