Milenial Jogja Beri Alasan untuk Pensiun dan Tidak Pensiun di Jogja

Ilustrasi Milenial Jogja Beri Alasan untuk Pensiun dan Tidak Pensiun di Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Di tengah keluhan soal Yogyakarta yang harga tanahnya nggak masuk akal, jalanan yang macet saat musim liburan, klitih, parkir yang nuthuk, transportasi umum yang ruwet, dan UMR jongkok, Generasi Milenial asal Jogja tetap punya angan-angan menghabiskan masa pensiun di Jogja. 

Mojok menemui beberapa Generasi Milenial yang sedang merantau dan meninggalkan Yogyakarta untuk bekerja. Sebagian besar mantap memilih untuk menghabiskan masa tuanya di Jogja. Namun, ada juga yang berpikir ulang untuk tak lagi kembali ke Jogja karena beberapa sebab.

***

Bertha Mintari (36) seorang PNS di Bengkulu awalnya punya angan-angan tinggi usai pensiun. Ia ingin tinggal di luar negeri di tempat yang tenang dengan pemandangan menawan. Ia juga berangan-angan menjual asetnya dan pindah hidup di luar negeri. 

Nggak jadi pensiun di luar negeri, karena Jogja lebih selow

Namun angan-angan itu buyar saat temannya yang sudah menetap di luar negeri bilang kalau tingkat stres di negara itu tinggi. “Katanya dia stres karena pajaknya tinggi, semua serba diawasi pemerintah, dan birokrasinya ribet,” kata Bertha kepada Mojok.co, Jumat (12/01/2024).

“Jadi pilihannya Jogja akan jadi pelabuhan terakhir atau jadi tempat pensiun. Jogja bagaimanapun tempatnya enak, slow… dan tempat kelahiranku,” kata lajang yang beberapa tahun ini oleh instansi tempatnya bekerja ditempatkan di Bengkulu.

Bertha tidak terlalu khawatir dengan perubahan sosial yang mungkin akan terjadi di Yogyakarta dalam 20 tahun ke depan. “Sekarang zaman kan sudah berubah, apalagi 22 tahun ke depan, pensiunku kan usia 58 tahun, generasinya sudah berubah. Pasti banyak yang sudah open minded,” kata Bertha yang kerap backpacker-an ke luar negeri. 

Menurut Bertha, saat ini saja ia melihat di lingkungan rumahnya di Jogja sudah banyak pendatang yang ingin menghabiskan masa pensiunnya di Jogja. “Kebetulan di komplek rumahku juga mayoritas pendatang dan beli rumah di jogja, culturenya sudah blend gitu jadi malah ada variasi budaya,” kata Bertha yang berencana akan meneruskan usaha kos-kosan orang tuanya selepas pensiun nanti.

Soal Jogja yang nantinya macet, Bertha berharap instansi terkait akan melakukan perencanaan dalam 20 tahun mendatang. Misalnya tentang transportasi umum. “Sepertinya transportasi umum akan lebih tersistematis, karena semakin padat populasi otomatis pemerintah juga akan memikirkan bagaimana caranya agar masyarakat lebih menggunakan transportasi umum,” kata Bertha yang rumahnya di Jogja ada di kawasan Sleman.

Jogja masih layak jadi kota pensiun

Apa yang Bertha sampaikan, mirip dengan angan-angan Adidarma (32), karyawan BUMN asal Jogja yang kini tinggal dan bekerja di Malang. “Saya ingin menghabiskan masa pensiun di Jogja karena sejauh ini bagi saya Jogja masih layak untuk jadi tempat hunian dilihat dari banyak aspek,” kata Adidarma. 

Aspek-aspek tersebut misalnya kemudahan akses transportasi. Di Yogyakarta, keberadaan stasiun, bandara, dan terminal termasuk baik. Begitu juga yang ia lihat dari sisi fasilitas umum seperti sekolah, kampus, rumah sakit di Yogyakarta sangat lengkap. 

Keadaan alam seperti kualitas air, topografi, iklim dan cocok baginya juga sangat cocok. “Prospek dalam berbisnis, misalnya buka kos-kosan juga sangat terbuka,” katanya. 

Selain alasan tersebut, satu hal yang membuatnya berkeinginan pensiun di Jogja adalah keluarga besar tinggal di Jogja semua. 

Nggak mau pensiun di Malang karena masyarakat dan pemerintah hobi tutup jalan

Kenapa tidak ingin pensiun di Malang? Menurut Adidarma, terlepas keluarga besarnya tidak ada yang di Malang, kondisi Malang sebagai kota untuk pensiun masih kalah skoring dibandingkan dengan aspek-aspek yang sudah disebutkan tentang Jogja tadi. 

“Contohnya, di Malang bandaranya hanya dibuka untuk rute dan di jam tertentu, begitu pula jadwal keretanya,” kata Adidarma.

Salah satu alasan orang ingin pensiun di Jogja adalah suasana kotanya yang tenang. Foto di salah satu properti di kawasan yang tak jauh dari kaki Gunung Merapi. (Agung P/Mojok.co)

Selain itu, ada kebiasaan warga dan pemerintah yang menurut Praend menutup peluang untuk dirinya pensiun di Kota Apel tersebut. Warga dan pemkotnya sangat hobi nutup jalan raya hanya karena untuk seremonial/karnaval yang pada akhirnya mengganggu pengguna jalan raya lainnya,” katanya.

Adidarma mengakui, kondisi lingkungan di Malang lebih baik dibanding Jogja karena memiliki udara yang lebih sejuk, tapi living costnya hampir sama dengan Jogja. 

Soal Yogyakarta yang sekarang terkesan macet, bagi Adidarma nggak masalah. “Kalau ngomongin macet, hampir di semua kota besar juga udah macet, Mas. Malang yang kota kecil aja macet kok. Dan sepertinya kalo di Jogja macetnya lebih karena waktu liburan dan pas jam berangkat-pulang kerja, lumrah,” katanya. 

Situasi infrastruktur transportasi saat ini mungkin masih akan sama dengan saat Adidarma pensiun, tapi baginya yang terpenting berdamai dengan kemacetan kalau mau memilih pensiun di Jogja. “Tinggal diakali saja, naik motor misalnya, sambil buka Google Maps lihat traffic sebelum keluar rumah, atau cari jalan tikus,” katanya.

Isu keamanan di Jogja tak membuat takut

Adidarma yang sudah meninggalkan Jogja lebih dari 7 tahun ini mengakui isu klitih dan keamanan memang bikin nggak nyaman. Namun, itu sepenuhnya di luar kendalinya dan ia tidak mempersoalkan. Baginya faktor keluarga besar yang ada di Jogja semua jadi faktor terkuat untuk pensiun di Jogja. “Terlepas di setiap tempat dimana kita tinggal pasti ada isu keamanan, cuma beda kasus/intensitas peristiwanya aja. Jadi kudu eling lan waspada aja,” katanya.

Soal harga tanah dan properti di Jogja yang sangat mahal, Adidarma mengakuinya. Apalagi jika dibandingkan dengan Malang. Meski tergantung lokasi dan luasan tanahnya juga. 

“Kemungkinan untuk tempat tinggal akan ikut dengan orang tua karena ingin menemani mereka. Meskipun ada kemungkinan untuk membeli aset atau properti lain berupa tanah maupun untuk dibangun kos-kosan dari hasil tabungan atau berutang,” kata Adidarma. 

Yogyakarta sudah nggak layak untuk pensiun

Berbeda dengan Bertha dan Adidarma, Lynda Putri (32) justru memikirkan ulang rencananya untuk pensiun di Yogyakarta. Ia yang asli Pleret, Bantul dan kini bekerja di Jakarta, awalnya ingin menghabiskan masa tuanya di Yogyakarta. 

“Aku pengin pensiun di usia 40 atau 45 tahun, Mas. Ini kan masih usia produktif. Jogja jadi opsi karena pingin hidup yang pelan,” katanya.

Namun, keinginan pensiun di Jogja ini kini makin menurun. Jika dipresentasikan, tinggal 60 persen. 

Lynda awalnya melihat banyak faktor yang membuatnya yakin akan pensiun di Jogja. Beberapa di antaranya, ia suka dengan interaksi masyarakat di Jogja. Ia juga punya angan-angan punya rumah yang bisa lihat Gunung Merapi, karena menurutnya pagi-pagi, membuka pintu dan lihat gunung itu menyenangkan. 

Pertimbangan lain, dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga tanah di Jakarta, ia bisa menerapkan slow living dan mencukupi kebutuhan dapur dari kebun. Saat ini pun dengan tinggal di Jakarta, ia sudah punya rumah dengan lahan kecil tersisa yang ia tanami sayuran. Ia 

“Awalnya aku ingin tinggal di Jogja, tapi bukan di Kota Jogja atau di Sleman kota. Faktor lain ingin pensiun di Jogja, sekolah untuk anak lebih terjangkau. Di Jakarta sekolah negeri kayak buangan, tapi kalau sekolah swasta mahal sekali,” kata Lynda. 

Selain itu, sistem sosial di Jogja menurutnya juga bisa turut menjaga anak. “Kultur seneng cawe-cawe urusan orang malahan jadi terpantau semua, termasuk anak-anak,” katanya tertawa. 

Hal-hal yang membuat Jogja tidak lagi jadi pilihan untuk pensiun

Lalu apa yang membuah akhirnya Lynda tidak yakin dengan pilihannya pensiun di Jogja? 

“Transportasi umumnya amburadul, Mas. Aku wes biasa naik transportasi umum dan merasa nyaman. Kan aku pengen hidup di desa. Misal Godean/Sedayu, metu sitik wes macet. Pleret tempatnya orang tua. Jalan di Jogja ini kecil-kecil dan kendaraan pribadi makin banyak. Terus bandara jauh banget,” kata Lynda.

Lynda selama ini sudah biasa mobilitas antar-provinsi atau negara yang membutuhkan pesawat terbang. Dengan bandara yang jauh, maka ongkosnya makin mahal jika menggunakan kendaraan pribadi ke bandara. “Nggak ada transportasi feeder yang mumpuni. Katanya ada Damri, tapi aku beberapa kali landing YIA ga liat stand-nya dan milih dijemput orang rumah,” katanya.

Selain transportasi umum, hal yang membuatnya untuk tidak pensiun di Jogja adalah sistem pembuangan akhir sampah dan drainase yang ia nggak yakin bagus. “Sekarang ini beruntung saja lahan di Jogja masih luas, jadi bisa bakar sampah dan ada peresapan air,” kata Lynda tertawa. 

Gaji dan gaya hidup yang nggak cocok

Alasan terakhir untuk tidak memikirkan opsi pensiun di Jogja adalah soal gaji dan gaya hidup. “Kondisi sekarang ya, Mas, aku jajan di Jogja, ngopi satu gelas Rp35 ribu. Sudah merasa mahal banget, dan sekarang saya lihat, banyak sekali kafe-kafe seperti itu,” kata Lynda. 

Ia membandingkan dengan gaji di Jogja yang kecil sekali. “Aku makan di mal sama keluarga, harganya sama dengan di Jakarta. Nah, kalau nanti pas pensiun aku nggak ada pendapatan yang seperti di Jakarta, ya pusing wkwkwk,” ujar Lynda. 

Lynda menegaskan, ia pensiun di usia 40 ini artinya ia nggak akan bekerja formal, tapi lebih sebagai freelance dan side job. 

Soal isu keamanan di Jogja juga jadi pertimbangan Lynda. Klitih membuatnya mikir ngeri untuk pulang makam pakai motor. Sementara kendaraan umum nggak ada, pakai mobil macet. “Aku ingin pensiun di desa, kalau Jogja ternyata nggak jadi opsi lainnya di Salatiga. Kota kecil tapi tenang,” kata Lynda. 

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA Jalan Kaliurang: Ketika Petani Tua Enggan Menukar Tanah Warisan dengan Uang Receh 3,5 Miliar

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version