Perajin Tempe Legendaris di Semarang Kena Imbas Harga Kedelai Meroket

Sudah 50 tahun memproduksi tempe.

Sudah hampir tiga tahun harga kedelai impor terus merangkak naik. Produsen tempe terus dibayangi kerugian. Tak terkecuali Jumadi, perajin tempe legendaris di Semarang.

***

Siang itu, Senin (21/2/2022) pukul 11.00 WIB, langit di Kota Semarang terlihat mendung. Kondisi jalanan di sepanjang Jalan Jalatundo, yang berada di sekitar aliran sungai Banjir Kanal Timur (BKT) yang selalu dipadati kendaraan terlihat lengang.

Saya mengendarai motor Scoopy berkelir putih, dengan kecepatan 20 km per jam untuk mencari rumah pengerajin tempe legendaris. Konon, telah eksis sejak tahun 70-an. Saya masuk ke dalam perkampungan padat penduduk, dengan jalan yang tak bisa dilalui mobil jika berpapasan.

Saya hanya mengandalkan aplikasi peta digital, untuk mencari rumah pengerajin tempe tersebut. Lokasinya berada di Jalan Medoho, Pandean Lamper, Semarang. Setelah lebih dari 10 menit saya mengikuti arah jalan yang ditunjukan oleh peta digital. Tepat berada di jalan gang kecil motor saya berhenti, terdapat sebuah rumah dengan teras yang cukup luas dan di depan rumah terpasang MMT berwarna hijau bertuliskan “UMKM Tempe Bp. Jumadi”.

kedelai mojok.co
Kedelai yang sedang diolah untuk dibuat menjadi tempe. (Anin Kartika/Mojok.co)

Tampak sejumlah tumpukan karung berwarna putih tertata rapi. Bungkusan plastik putih yang disusun berjajar dengan penyangga potongan bambu tampak rapi menempel di kanan-kiri dinding rumah tersebut. Lebih masuk ke dalam, terdapat tungku api tengah menyala, dengan dandang berukuran raksasa—tingginya hampir sama dengan tinggi orang dewasa.

Kala itu, saya tidak berani mendekat untuk melihat isi dari dandang tersebut, lantaran dari jarak dua meter saja panasnya sudah terasa. Jadi beginilah bentuk rumah pengrajin tempe. Saya tertegun dengan kondisi rumah produksi pengrajin tempe ini. Tiba-tiba keheningan dibuyarkan oleh sapaan ramah pria lanjut usia.

Bade tumbas tempe nopo, nduk? (Mau beli tempe apa, nak?)” ia bertanya pada saya.

Pria berambut putih dengan kerut yang melekat di wajahnya menunjukan usianya yang telah lanjut. Dia adalah Ahmad Jumadi (65) sang empunya industri tempe rumahan. Saya lantas berbincang dengannya.

Usaha keluarga

Pak Jum sapaan akrabnya, menceritakan kepada saya awal mula mengelola usaha tempe miliknya yang dimulai pada tahun 1975. Saat itu, Pak Jum berusia 18 tahun. Ia meneruskan usaha tempe yang dirintis oleh sang ayah sejak tahun 1960-an.

Sejak muda, ia kerap membantu sang ayah membuat tempe, dimulai sejak pagi buta. Dari proses memilah kedelai di tengkulak, hingga proses memasak kedelai menjadi tempe yang mampu memakan waktu selama dua hari.

“Proses membuat tempe itu kan panjang ya, dari mencuci kedelai, penggodokan, bersihin dari kulit arinya itu direndam semalamam sampai fermentasinya baru jadi tempe,” ungkap Jumadi.

Jumadi sedang melihat kedelai yang sedang disimpan di dapur produksi tempenya. (Anin Kartika/Mojok.co)

Sebelum memutuskan untuk meneruskan usaha sang ayah, sekitar akhir tahun 1970. Terjadi peristiwa pahit yang menimpa keluarganya. Kala itu, ayah Jumadi tengah gila judi yang berimbas pada usaha tempe keluarganya.

Tak hanya membuat usaha tempenya terjun bebas. Namun, sampai dibuat kapok lantaran tertangkap oleh aparat. Pasca-peristiwa tersebut, sang ayah berpesan kepada Jumadi, agar ia tak ikut terperosok dalam judi jika nantinya telah memiliki penghasilan yang lebih.

“Dulu itu usaha tempe bapak saya bisa dibilang sukses, sampai ada satu tregedi uang hasil jual tempe dibuat untuk main judi dan kalah terus. Terus ditangkap polisi dan kapok. Bapak kasih pesan ke saya, jangan sekali sekali ikut main judi, bakal jadi penyakit. Fokus saja buat ngelakoni usaha biar bisa buat makan keluarga. Sampai sekarang saya pegang betul itu wasiat bapak,” tutur Jumadi.

Lebih lanjut Jumadi menceritakan kepada saya, selama hampir 50 tahun menjadi pengrajin tempe. Dirinya telah banyak menelan asam garam agar usaha tempe miliknya tetap berjalan. Dari zaman orde baru hingga era kepemimpinan Jokowi dimana usaha tempe identik berbahan baku kedelai impor. Jumadi mengungkapkan ketika era orde baru, usaha tempe miliknya sempat mencicipi menggunakan kedelai lokal yang berasal dari pesisir Jawa Tengah bagian timur.

“Awal saya meneruskan usaha tempe bapak, saya itu dulu sempat pakai kedelai lokal, kedelai yang biasanya ambil dari daerah Grobogan, Rembang sampai Blora itu per kilo harganya masih sangat murah tidak sampai Rp50,” tutur Jumadi

Menurut Jumadi, kualitas kedelai lokal juga tak kalah dengan kualitas kedelai impor. Selain harga kedelai lokal lebih terjangkau, hasil dari proses fermentasi untuk menjadi tempe juga lebih besar jika dibandingkan dengan kedelai impor.

Namun, penggunaan kedelai lokal tak bertahan lama di kalangan perajin tempe. Seiring berjalannya waktu. Kedelai impor mulai merambah tengkulak kedelai dan kedelai lokal mulai susah untuk didapat. “kira-kira tahun 90-an,itu udah mulai pakai kedelai impor, kedelai lokal juga udah mulai langka di tengkulak. Mau tidak mau ya akhirnya beralih pakai kedelai impor,” jelas Jumadi.

Jumadi menuturkan, selama masa era orde hingga era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perajin tempe seperti berada pada masa kejayaannya. Lantaran harga kedelai yang masih murah dan menguntungkan para perajin tempe.

Jumadi dan tempe hasil buatannya. (Anin Kartika/Mojok.co)

Jumadi dengan penuh semangat menceritakan, kala itu usaha tempe miliknya selalu untung besar. Ia mencontohkan, sekitar tahun 90-an dirinya mampu membeli rumah yang diperuntukan khusus sebagai rumah produksi tempe. Selain itu, usaha tempe miliknya  juga mampu menghidupi sepuluh orang anggota keluarganya. Ia juga memiki tiga karyawan yang membantunya selama proses pembuatan tempe.

“Waktu zaman pak SBY itu juga perajin tempe seperti saya bisa untung besar. Selain dapat tabungan setiap dua bulan sekali karena beli kedelai. Harganya juga masih murah sekitar Rp5 ribu per kilonya,” tutur Jumadi.

Dalam sehari Jumadi mampu memproduksi 130 kilogram kedelai menjadi tempe. Ia mampu menyuplai tempe di beberapa pasar tradisional serta rumah makan yang berada di Kota Semarang.

Selain itu, rumah usaha tempe milik Jumadi juga kerap didatangi oleh mahasiswa untuk magang hingga sekedar belajar cara mengolah tempe. Kini selain memproduksi tempe, Jumadi juga mulai berinovasi membuat keripik tempe. Keripik tempe miliknya, dibuat dengan memanfaatkan kedelai sisa pembuatan tempe agar tidak terbuang sia-sia.

“Banyak anak-anak mahasiswa yang belajar membuat tempe di tempat saya, karena sering diskusi akhirnya bikin juga keripik tempe dari sisa kedelai,” ucap Jumadi.

Harga kedelai menggila

Raut wajah Jumadi berubah kala menceritakan kondisi usaha tempe yang ia kelola pada tiga tahun terakhir. Ia menyebut, harga kedelai impor sejak 2019 lalu terus merangkak naik. Imbasnya perajin tempe seperti dirinya terpaksa harus mengencangkan ikat pinggang.

Perlahan namun pasti, harta benda yang ia miliki sedikit demi sedikit telah terkuras habis. Lantaran terpaksa harus dijualnya. Dalam dua tahun terakhir. Jumadi terpaksa menjual empat motor dari lima motor miliknya, agar usaha tempe yang ia kelola tetap berjalan dan dapur keluarganya tetap mengepul.

“Sudah tiga tahun ini harga kedelai impor terus naik, dari Rp6 ribu sampai sekarang Rp11 ribu, itu benar benar gila. Saya jual empat motor biar usaha tetap bisa jalan, mirisnya lagi sudah tidak mampu bayar pegawai,” ucap Jumadi dengan nada bicara lesu.

Harga kedelai ini diperkirakan akan terus naik, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan. Ia mengatakan bahwa puncak kenaikan harga kedelai diprediksi terjadi pada bulan Mei 2022 di angka Rp12 ribu per kilogram.

Jumadi, pembuat tempe sejak tahun 70-an di Semarang. (Anin Kartika/Mojok.co)

Meroketnya harga kedelai disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena suplai kedelai dunia yang turun dan inflasi harga makanan di AS yang notabene merupakan negara importir kedelai terbesar. Harga kedelai diprediksi akan mulai turun di bulan Juli 2022.

Selain itu, Jumadi juga  mengaku, adanya pandemi covid-19 semakin memperparah kondisi usaha tempe miliknya. Untuk menyiasati rumah produksi tempenya agar tetap berjalan, kini Jumadi mengurangi jumlah produksi kedelai serta memperkecil ukuran tempe yang ia jual.

“Sekarang sehari cuma bisa bikin 80 kilogram kedelai, saya juga tidak tega kalau harus menaikan harga tempe. Makanya ukuran tempe yang saya perkecil,” kata Jumadi.

Kini, Jumadi hanya bisa  berharap kepada pemerintah agar mampu  menurunkan dan mengendalikan harga kedelai di pasaran. Selama 47 tahun jadi perajin tempe, tahun ini menjadi tahun tersulit baginya untuk mempertahankan warisan usaha tempe sang ayah.

“Sekarang saya ya cuma bisa usaha aja, alon-alon waton kelakon yang penting produksi tempe saya tetap jalan meski sedikit. Semoga pemerintah bisa meringankan dengan menurunkan harga kedelai, “harap Jumadi.

Reporter: Aninda Putri Kartika
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Mengalami Masa Lalu Membelah Hutan Jati dengan Kereta Uap di Cepu liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version