Pasar Belut Godean, Dirundung Sepi Menunggu Pembeli

Pasar Kuliner Belut Godean

Kedua kalinya saya mengunjungi Pasar Kuliner Belut Godean dalam dua hari. Kali ini saya sudah mempersiapkan diri secara mental. Benar saja, baru memasuki halaman, teriakan pedagang yang meminta untuk membeli keripik belut mereka sudah terdengar nyaring.

“Belutnya mbak, belutnya,”
“Belutnya sebungkus saja mbak,”
“Mbak, belutnya, kres….”

Suara dari pedagang keripik belut terus bersahutan. Padahal, sepeda motor saya masih melaju ke tempat parkir. Tak cukup hanya berteriak untuk menawarkan, para pedagang keripik belut itu kemudian beranjak dari tempat duduknya bersiap menghampiri saya. Mereka bahkan membuka plastik dan mengeluarkan keripik belut untuk memberikan saya icip-icip gratis. Hari sebelumnya saya putar balik, pulang karena tidak siap dengan sergapan pedagang. Kali ini, saya sudah siap.

Saya tidak melayani tawaran pedagang belut itu yang sama seperti hari sebelumnya, jumlahnya 8 orang ibu-ibu. Saya justru clingak-clinguk mencari tukang parkir. Saya melihatnya tengah asik menghisap sebatang rokok. Di dekat tempatnya duduk ada segelas es teh.

“Dari awal dibuka hingga sekarang, tidak pernah ramai pembeli,” ungkap penjaga parkir Pasar Kuliner Belut Godean dengan nada kecewa sembari menghembuskan asap rokoknya. Ia tidak mau menyebut namanya, tapi mau bercerita kalau dalam sehari di kondisi biasa paling 5-10 sepeda motor dan mobil yang masuk untuk membeli belut. Namun, saat pandemi Covid-19, dalam sehari bisa tidak ada satu pembeli yang datang.

Hanya 8 lapak yang buka

Pasar Kuliner Belut Godean ini sudah buka selama tujuh tahun, tepatnya pada 11 Maret 2014. Dilansir dari slemankab.go.id, Pasar Kuliner Belut Godean ini dibangun untuk menata pedagang keripik belut di lingkungan Pasar Godean. Pasalnya, saat masih berada di Pasar Godean, lapak pedagang menjorok ke jalanan, sehingga membuat lalu lintas di depan Pasar Godean sering terjadi kemacetan.

Saya mengamati, dari sekitar 30 lapak yang ada, hanya tersisa 8 lapak yang masih buka. Sebenarnya letaknya cukup strategis, berhadapan langsung dengan Jalan Raya Godean dan yang selalu ramai. Dari arah Kota Yogyakarta juga mudah dituju, kalau dari arah Tugu Yogyakarta, ikuti saja arah barat. Setelah 8,3 kilometer di sebelah kiri jalan ada bangunan bertuliskan Pasar Kuliner Belut Godean.

Letaknya hanya beberapa meter dari  Pasar Godean. Namun, rasanya bangunan itu terlalu menjorok ke dalam dan berbentuk hurut E, sehingga tidak terlihat aktivitas yang sedang terjadi di dalamnya. Berdiri di lahan seluas 2.690 meter persegi, 30 pedagang keripik belut yang ada di dalamnya tergabung dalam Kelompok Harapan Mulya.

Kelompok ini tidak hanya memiliki anggota pengolah keripik belut dari Kecamatan Godean saja, melainkan juga dari daerah di sekitarnya seperti Kecamatan Seyegan, Kecamatan Minggir, dan Kecamatan Moyudan. Pasar Kuliner Belut Godean digadang-gadang dapat meningkatkan belut sebagai ikon kuliner khas Godean.

Tak lama berselang, seorang ibu dengan baju warna putih dan kerudung hitam menghampiri saya dan tukang parkir yang tengah mengobrol. “Dulu sudah dibuatkan lomba agar banyak masyarakat yang kesini. Ada lomba mewarnai dan menggambar untuk anak-anak, lalu lomba masak belut. Tapi kenyataannya ya tetap sepi,” ungkap Bu Parjiem (41) yang ternyata mendengar percakapan antara saya dan penjaga parkir itu.

Pasar Belut Godean sepi pembeli. Foto oleh Brigitta Adelia/Mojok.co

Bu Parjiem adalah Ketua Kelompok Harapan Mulya. Ia sudah sepuluh tahun bekerja sebagai pengolah dan pedagang keripik belut. Sedikit bercerita, Bu Parjiem mengatakan pendapatannya turun semenjak pindah dari depan Pasar Godean ke Pasar Kuliner Belut Godean. Katanya, ketika masih berada di depan Pasar Godean, dalam sehari ia bisa menjual lebih dari dua puluh kilogram.

Pemilik lapak Keripik Belut SInar Sawah ini juga bercerita jika sebelum Lebaran penjualannya akan meningkat drastis. Namun di masa pandemi covid-19, ia tidak bisa berharap lagi pada penjualan keripik belutnya. Ia mengatakan sehari kadang hanya bisa laku dua sampai tiga bungkus. Karena itu, ia akhirnya terpaksa melakukan pengurangan karyawan hingga sekarang hanya tersisa satu untuk membantunya mengolah keripik belut.

Saat ini, Bu Parjiem hanya bisa menawarkan keripik belut melalui sosial media seperti Facebook dan Instagram walau hasilnya tidak seberapa. “Sudah tua, mau mencoba menawarkan di Shopee atau Tokopedia tidak paham. Yang penting ada uang masuk saja dalam sehari,” ungkap Bu Parjiem sedih karena dagangannya belum ada yang laku.

Saya pun undur diri dari hadapan Bu Parjiem, hendak melihat-lihat lapak keripik belut lainnya. Kata Ibu Parjiem tadi, pedagang tertua di Pasar Kuliner Belut Godean ini adalah Mbah Tukirah. Lapaknya bernama Keripik Belut Miroso. Sayang, saat saya mendekat ke lapaknya, beliau sedang tertidur di lantai dengan alas karung goni dan berbantal kain yang dilipat. Sebenarnya Mbah Tukirah bukan satu-satunya pedagang yang tertidur. Masih ada juga pedagang keripik belut lainnya yang tertidur dengan kepala di meja. Sisanya lebih memilih menghabiskan waktu dengan saling mengobrol dengan sesama pedagang keripik belut atau memandang layar handphone.

Salah satu pedagang keripik belut yang sibuk membalas pesan di handphone adalah Bu Nanik (47). “Lagi promosi di grup biar banyak yang beli,” kata pemilik lapak Keripik Belut Aditya ini. Penjualannya juga menurun drastis, padahal dalam sekali produksi dahulu bisa mencapai lima puluh kilogram. Kini menghabiskan lima puluh kilogram harus susah payah.

Terlebih kios keripik belutnya berada di bagian dalam sehingga tidak terlalu terlihat oleh pengunjung. Sebagian penjual  memilih menutup lapaknya karena tidak laku. Memang, berjualan di Pasar Kuliner Belut Godean ini hanya dipungun retribusi seribu rupiah, tidak ada uang sewa kios. Namun, sama saja jika tidak ada yang beli.

Setiap keripik belut punya cita rasa berbeda

Kalau mau jeli, setiap penjual keripik belut di sini memiliki cita rasa andalan di keripik yang mereka jual. Bu Nanik, mengatakan keripik buatannya gurih berpadu dengan asin, serta tekstur renyah belutnya. Sedang Bu Parjiem mengatakan keripik belut buatannya memiliki cita rasa gurih yang berpadu manis, dan tidak renyah. “Setiap konsumen juga punya selera masing-masing, makanya cocok-cocokan,” ungkap Bu Nanik.

Keripik belut khas Godean sebenarnya merupakan perpaduan belut yang dilumuri dengan tepung yaitu tepung terigu dan tepung beras. Keripik belut ini dijual dengan tiga kualitas berbeda. Kualitas pertama memiliki ciri ukuran belut kecil dengan tepung yang tipis. Kualitas kedua memiliki ciri belut sedang dengan tepung sedikit tebal. Dan kualitas ketiga memiliki ciri belut besar dengan tepung tebal.

Kata Bu Nanik, ketiganya memiliki harga yang berbeda. Tentu saja harga paling mahal adalah yang kualitas pertama. Keripik belut dibandrol dengan harga Rp 15.000 hingga Rp 50.000. Jika melihat ke belakang, sebenarnya keripik belut Godean yang asli memiliki tepung yang tebal dan menutup permukaan belut hingga tak terlihat. Karena itu, keripik belut Godean dikenal dengan sebutan keripik belut yang keras atau atos.

Masih menggunakan kayu bakar untuk menggoreng

Mbah Tukirah (82) terbangun saat mendengar suara pedagang berteriak menawarkan dagangan. Dia pun ikut berteriak. Sayang, suaranya kalah dengan pedagang lainnya. Simbah duduk di kursi. Menatap halaman dan berharap setelah ini ada pembeli yang datang lagi. Saya pun menghampirinya. Meminta sedikit waktunya untuk bercerita. “Sudah lama, semenjak jalan belum di aspal. Jamane Pak Harto,” ungkap Mbah Tukirah mengingat.

Mbah Tukirah, menjelaskan proses pembuatan belut goreng. Terlebih dulu belut harus direndam dengan abu agar mati dan lendirnya dapat keluar. Belut yang sudah mati, kemudian bisa dikeluarkan isi perutnya. “Kalau rasa keripik belutnya pahit berarti yang membersihkan memecahkan empedu belut,” ujar MBah Tukirah.

Belut yang sudah dikeluarkan isi perutnya barulah dicuci hingga bersih. Abu bisa digantikan dengan garam atau air es, namun nanti lendir belutnya tidak bisa keluar. Setelah belut selesai dicuci, barulah dilumuri oleh tepung. Mbah Tukirah biasa melumuri belut berkali-kali hingga belut tidak terlihat.

Menurut Mbah Tukirah, saat menggoreng keripik belut juga harus menggunakan wajan khusus atau wajan besar. Selain itu, suhu penggorengan juga harus tinggi. Karena itu, menggoreng keripik belut harus menggunakan kayu bakar.

Saya bertemu dengan penjual keripik belut lainnya, Bu Warty (52). Saya menemui pemilik Keripik Belut Citra Rasa ini di rumahnya. Ternyata selain di Pasar Kuliner Belut Godean, ia mempunyai sebuah outlet di rumahnya dan sering bekerja sama dengan pemandu wisata serta sopir kereta kelinci. Awalnya suaminya merupakan anak dari pengusaha belut di pasar Godean. Dari cerita ibu mertua dan suaminya, dulunya bahan baku didapat dari mencegat petani yang pulang dari sawah. Itu sekitar tahun ’60-an. Saat itu, belut dan sawah masih banyak di seputaran Godean.

Setiap hari, suami dan ibu mertuanya bisa mendapatkan lima hingga sepuluh kilogram belut. Pagi hari menanti di sebelah Pasar Godean, siangnya akan menjadi dagangan keripik belut yang di jual di depan Pasar Godean. Hal itu terus berlangsung setiap hari. Resep keripik belut awalnya dibuat mengikuti resep keripik-keripik lainnya. “Jaman dahulu belum ada handphone, belum bisa lihat resep di Google atau Youtube,” ujar Bu Warty terkekeh.

Untuk berjualan keripik belut, suami dan ibu mertua Bu Warty menggunakan tenggok tumbu yang diatasnya diberi tambir dan keripik belut itu disusun membentuk tumpeng. Sore harinya, keripik belut itu sudah habis dan menghasilkan uang untuk dibawa pulang. Keadaan itu dianggap sebuah usaha yang sangat menguntungkan. Karena itulah, adik dan kakak dari mertua Bu Warty turut mencoba peruntungan dari berjualan keripik belut. Hasilnya, keripik belut itu laku keras.

Keripik belut Godean dalam kemasan plastik. Foto oleh Brigitta Adeliak/Mojok.co

Bahan baku dari luar kota

Lambat laun mengandalkan belut dari sawah saja tidak cukup. Waktu itu sekitar tahun 2001 akhir. Bu Warty dan suaminya yang baru saja diberikan momongan lantas mulai mencari tempat untuk membeli belut. “Akhirnya tahu kalau ada distributor belut di Delanggu, Klaten dan mencari kesana,” ungkap Bu Warty.

Dengan sepeda motor Astrea Prima dan jaket tebal, Bu Warty bolak-balik Yogyakarta hingga Delanggu setiap pagi dengan membawa satu setengah kuintal belut. Sesampainya di Yogyakarta, tepatnya di Godean, belut-belut itu dibagikan kepada pengolah keripik belut. Hanya berjalan tiga bulan, Bu Warty kemudian menemukan distributor belut dari Jawa Timur. Awalnya Bu Warty dan distributor itu hanya bertukar kontak tidak sengaja karena terlalu lama menunggu di Delanggu. Akhirnya, distributor Jawa Timur itulah yang mengantarkan hingga ke rumah Bu Warty setiap dua hari sekali.

Belut tidak bisa didiamkan terlalu lama dan harus segera diolah. Jika terlalu lama, belut akan mati karena tidak bisa diberi makan. Sampai saat ini, bahan baku belut masih diantarkan dari Jawa Timur. Namun, jika belut Jawa Timur habis, mau tidak mau harus mengambil juga dari Jawa Barat. “Berbeda, belut Jawa Timur kualitasnya lebih bagus, teman-teman pengolah keripik belut lainnya juga bilang begitu,” ungkap Bu Warty.

Berbeda dengan Mbah Tukirah, Bu Warty tidak mencelupkan belut berkali-kali di adonan tepung, tapi hanya sekali saja. Namun, seperti penjual lain, Bu Warty, juga menggoreng belut menggunakan kayu bakar. Selain memberikan aroma tersendiri, kayu bakar masih mudah ditemukan di pedesaan.

Keripik belut saat ini sudah dikemas dengan plastik bening. “Dahulu, jaman ibu mertua, masih pakai kantong kresek hitam,” ujar Bu Warty. Menoleh pada sejarah juga, Keripik Belut Citra Rasa milik Bu Warty adalah pertama kalinya keripik belut yang mempunyai PIRT. Beberapa kali, Bu Warty melayani pesanan keripik belut untuk dibawa ke Korea.

Saya menjumpai Bu Yatmi, penjual keripik belut di Pasar Godean. “Saya juga punya lapak di Pasar Kuliner Belut Godean, tapi ya tidak terpakai karena sepi,” ungkap Yatmi (62). Ia memilih menyewa kios di Pasar Godean, yang meski harga sewanya mencapai puluhan juta rupiah tapi tetap ada pembeli. Bu Yatmi, tidak hanya menjual belut olahan sendiri, melainkan juga mengambil dari beberapa teman sesama pengolah keripik belut agar dapat saling membantu.

Saya bertemu seorang pembeli, Bu Srinikaton (47) namanya. Saya bertemu karena Simbah Tukirah marah mengira saya menutup rejekinya karena mengajak bercerita. Bu Srinikaton pun sama seperti saya, memasuki Pasar Kuliner Belut Godean dengan ragu-ragu. “Takut, jadi bingung mau beli yang mana. Rasanya tidak enak dengan pedagang lainnya,” ujar wanita hampir setengah baya asal Malang yang kebetulan lapak belut langganannya sedang tutup.

Bu Srinikaton sangat suka mengkonsumsi keripik belut. Selain itu, keripik belut juga diberikan kepada keluarga dan teman-temannya sebagai oleh-oleh khas dari Yogyakarta. Sama seperti saya, ia khawatir, kalau pedagang keripik belut cara menawarkannya masih sama, atau tidak ada inovasi produk, Pasar Belut Godean akan tetap sepi pembeli.

BACA JUGA  Irul Kebonkliwon, Bibit Tanaman dan Cita-citanya untuk Desa dan liputan Mojok lainnya.

Exit mobile version