Hutan di Yogyakarta atau tepatnya di kawasan Gunungkidul ini menyimpan misteri yang bahkan penduduk sekitar tempat itu enggan bercerita banyak. Kawasan hutan ini selain sering dijadikan tempat penelitian mahasiswa juga kerap digunakan untuk syuting film horor.
****
Waktu menunjukkan pukul 3 dinihari. Suasana hening, hanya terdengar suara langkah kaki dari sepasang sepatu yang saling mendahului. Berbekal senter di tangan kanan, saya tetap berjalan lurus tanpa mengindahkan pohon-pohon besar di sepanjang jalan setapak yang dilalui.
Jika tidak demi rasa kantuk yang ingin segera dituntaskan…demi Tuhan! Saya tak akan nekat berjalan sendiri di tengah hutan untuk kembali ke penginapan, meninggalkan rombongan yang masih asyik mengobrol di aula.
“Srrrk…srrrk…”
Langkah kaki saya langsung terhenti. Ah, mungkin hanya angin. Saya kembali melanjutkan langkah untuk menuju cahaya lampu yang sudah terlihat di ujung jalan.
“Dug..Dug..Dug,”
Kali ini berbeda, saya dengan jelas mendengar langkah kaki lain di belakang. Jantung saya mulai berdetak lebih cepat, was- was…ah pokoknya tidak karuan! Perlahan, saya menunduk, mengintip dari sela- sela kaki. Tak ada orang. Bulu kuduk saya berdiri, hawa panas mulai menjalar ke punggung hingga leher. Tak mau berdiam terlalu lama, akhirnya saya mencoba kembali berjalan dengan langkah panjang, tanpa berlari.
Pengalaman yang terjadi dua tahun silam tersebut tak akan saya lupakan. Mungkin biasa saja bagi sebagian orang, tapi kejadian itu menjadi hal yang luar biasa menyeramkan bagi saya yang penakut! Sumpah! Hingga memasuki semester tua, saya paling anti menonton film horor, apalagi dengan set lokasi di hutan.
Ngeri! Rasanya seperti dihantui demit-demit film jika sedang masuk hutan. Padahal jelas, jurusan kuliah yang saya ambil adalah Ilmu Kehutanan. Dan masuk ke luar hutan untuk praktikum adalah aktivitas yang harus dilakukan di setiap semester. Kampus saya juga dikenal dengan mitos-mitos hantunya. Tapi yang namanya takut ya tetap takut.
Jelmaan suara hingga tangan bercincin perunggu
Seorang video editor yang tergabung dalam tim REV Production pernah membagikan pengalaman di hutan ini melalui akun twitter @syendiprt. Dalam cuitannya, dirinya menceritakan mendengar suara cekikian ketika melakukan pengambilan video di dalam air untuk film pendek. Bahkan, dalam tweet tersebut dia juga mengunggah suara cekikikan wanita yang sangat jelas terdengar dalam video berdurasi 22 detik itu.
Saya mencoba menghubungi pria asal Bengkulu yang akrab dipanggil Syendi (27) melalui direct message lalu beralih pada telepon. Terdengar suara tawa renyah dari ujung sana ketika telepon tersambung, Syendi sempat kebingungan mengawali cerita. Tak lama, hembusan napas panjang terdengar darinya mengawali cerita tentang misteri hutan di Yogyakarta yang pernah dialaminya.
Pagi-pagi buta, Syendi dan dua teman lainnya bernama Randy dan Aris melakukan perjalanan ke sebuah hutan yang tak begitu jauh dari Kota Yogyakarta. Rencananya, mereka ingin melakukan syuting sebuah film pendek berlatar hutan.
Konsep “Orang-Orang Tersesat di Hutan” mereka pilih, berbagai peralatan beserta properti telah disiapkan. Menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya mobil berukuran cukup besar mulai membelah jalanan hutan, sorot lampu mobil tak mampu menembus kabut tebal di pagi hari yang gelap itu. Jika dikisarkan, jarak pandang hanya sekitar 4- 5 meter.
Mobil menepi dan berhenti. Mereka bertiga membuka pintu untuk keluar, hawa dingin dan rasa gelisah mulai dirasakan oleh Syendi. Dirinya menutup pintu kembali. “Ini gimana, Bang?” tanyanya pada Aris. Ketika membuka pintu, dirinya merasa ada banyak pasang mata yang mengamati mobil mereka. Hal ini ternyata juga dirasakan oleh kedua temannya yang lain.
“Kita tunggu saja hingga terang,” jawab Aris. Akhirnya, mereka memutuskan untuk beristirahat di mobil menunggu matahari terbit.
Pukul 6 pagi ketika langit sudah cerah mereka bertiga memutuskan untuk keluar. Mereka berjalan ke tempat yang akan digunakan sebagai tempat pengambilan gambar.
“Bang, sini bang,” Syendi mengernyit mendengar suara memanggilnya, suara yang menyerupai Aris.
“Bangsat! Ngapain manggil-manggil, orang sebelahan,” umpatan Syendi membuat Aris heran. Padahal dirinya dari tadi diam dan tak mendengar apapun.
“Huss, jangan omong kotor, cok! Tadi di mobil, aku baca internet katanya hutan ini angker, banyak orang kesurupan,” ucap Randy. Mereka bertiga bergidik ngeri, ditambah sebelum menuju lokasi tujuan ada bapak- bapak petani yang memperingatkan agar tidak pulang terlalu sore.
“Tapi, Itu belum seberapa, Mbak! Waktu syuting scene si Aris makan telur, kami mengubur tiga telur di dalam tanah. Tapi waktu kita tinggal, tiba-tiba jadi dua biji! Gak tau hilang kemana satunya,” kata Syendi.
Ia mengaku, mereka bertiga adalah orang-orang yang logis. Ketika mengalami kejadian telur hilang, mereka kira hanyalah karena binatang. Begitupula dengan gangguan-gangguan suara, bisa juga halusinasi. Perjalanan Syendi tak berhenti di situ, kebetulan mereka telah merancang adegan syuting berenang di sungai besar yang mengaliri hutan itu.
“Waktu di sungai, saya melihat ada benda panjang, kayak rambut sapu ijuk di aliran sungai tersebut,” ada jeda pada kalimat Syendi. “Gimana ya, bingung jelasinnya. Pokoknya, benda itu mirip lumba- lumba di air kadang terapung kadang tenggelam.”
Saat Syendi melihat benda tersebut, dirinya sedang duduk di pinggir sungai. Sedangkan dua temannya yang lain sedang take video di dalam air. Pria yang ketika kejadian berumur 24 tahun itu mencerna apa yang ia lihat. Takut membuat Aris dan Randy panik, Syendi menyuruh keduanya segera menyelesaikan video dengan alasan hari sudah mulai gelap.
“Setelah Aris dan Randy keluar dari air, tiba tiba Aris tidak merespon apapun yang kami bicarakan. Wajahnya berubah jadi pucat, dan terus terdiam. Sekitar 1-2 jam pokoknya,” ujar Syendi.
Dengan nada suara gelisah, Syendi mengungkapkan, kelihatannya Aris waktu itu kesurupan, tapi dia nya gak sadar. “Dia ngeyel udah ngobrol sama kita, tapi obrolan yang dia ceritakan ternyata beda dengan percakapan kita,” kata Syendi.
Ketika hari menjelang maghrib, mereka bertiga memutuskan untuk pulang. Di perjalanan menuju parkiran mobil, mereka bertemu dengan seorang nenek yang tiba-tiba memberikan sebuah korek api. “Di asta mawon, mas (dibawa saja, mas),”ucap nenek tersebut. Sampai saat ini, tak ada yang tahu apa tujuan nenek itu.
Saya ikut merinding mendengar cerita Syendi, padahal saya tak melihat raut wajah Syendi karena hanya berbincang melalui telepon. “Akhirnya, selesai juga ya mas?” ucapan saya dibalas dengan tawa, waw ternyata tidak sampai di sini saja ceritanya!
“Saat pulang, kami melihat hasil video melalui kamera, alamak! Ternyata ada suara wanita cekikian ketika di air tadi. Jelas banget! Videonya sudah saya upload di tweet yang Mbak temukan itu.”
Sebelum menelepon Syendi, saya sempat mendengar suara dari video tersebut. Sangat jelas suaranya, membuat saya tak berani pulang sendirian dan berujung menginap di kos teman.
“Nggak cuma itu aja, di video juga terlihat jelas ada tangan dengan jari yang memakai cincin perunggu berbatu hijau, kayak zaman dulu gitu, loh. Tangannya seperti ingin meraih tangan Aris, untungnya meleset terus,” ucapnya. Ia menyayangkan bahwa video yang dimaksud sudah hilang di hardisk lamanya. Tapi lagian, dirinya juga ogah menonton video itu lagi, bulu kuduknya langsung berdiri jika mengingat kejadian-kejadian menyeramkan itu.
Singkat cerita, setelah kejadian itu. Aris dikabarkan demam selama beberapa hari, lagi-lagi mereka tetap berpikir positif. Wajar, karena berenang di air dan kekurangan tidur membuat daya tahan tubuh Aris melemah, hingga mudah masuk angin.
Kisah prajurit, putri, dan istana
Misteri hutan di Jogja ini dibenarkan oleh Ira, sebut saja begitu. Salah satu staff universitas di Kota Yogyakarta ini memiliki kemampuan lebih dalam merasakan hingga melihat makhluk tak kasat mata. Satu kalimat yang keluar ketika menggambarkan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk tersebut: tumpang tindih. Bisa dibilang hidup pada lokasi yang sama, waktu yang sama, namun hanya berada di alam yang berbeda.
Saya disambut oleh suara ramah yang dimiliki Mira ketika sambungan telepon tersambung. Katanya, dirinya memang sering memiliki pekerjaan ataupun hanya sekedar berjalan-jalan di hutan ini. “Kejadiannya tahun ini, ada suatu komunitas yang memiliki kegiatan sampe tengah malem. Waktu akan pulang ke penginapan, rupanya mereka ‘disesatkan’ dan diajak muter ke hutan selama dua jam. Tapi mereka nggak nyadar, karena rasanya lewat jalan aspal biasa bukan hutan. Eh, tapi pulang- pulang, motor dan badannya penuh lumpur,” ujarnya.
Mira melanjutkan dengan antusias, kebetulan saat itu ia ada di sana. Besoknya ia mengajak komunitas tersebut untuk memperlihatkan jalanan yang mereka lalui. “Mereka melewati jurang, bukan jalan biasa. Saya melihat sebuah gerbang di situ dan juga banyak prajurit.”
Mira mengungkapkan, wilayah ini memang terkenal dengan adanya kerajaan atau biasa disebut istana gaib. Memang ada beberapa jalan atau titik sebagai tempat berkumpul dan dilewatinya prajurit berseragam seperti layaknya di istana. Orang-orang menyebutkan kawasan hutan ini memang dihuni oleh berbagai jin ningrat, yang telah tinggal beribu tahun lamanya.
Kejadian ‘disesatkan’ ini juga pernah dialami oleh Ditya (22) ketika melakukan pengambilan data untuk keperluan kuliah. “Awalnya aku ada di lokasi A, paling ujung dari hutan ini. Tahu-tahu ke luar di lokasi B, padahal kalo dinalar itu jauh banget dan harus nglewati sungai,” ujarnya sambil nyengir, padahal ia juga sudah megang GPS untuk navigasi biar nggak nyasar.
Ditya menyeruput teh hangatnya perlahan sambil meniup-niupnya. “Waktu perjalanan pulang itu, aku juga lihat seorang bapak-bapak memakai caping, tampilannya seperti petani biasa. Eh, tapi ternyata hanya aku yang lihat. Temen-temenku ngga melihat, serem ngga sih?” tanya Ditya. Saya ikut bergidik ngeri.
Perjumpaan Ditya dengan bapak-bapak bercaping itu saya ceritakan kepada Mira. Suaranya terdengar seperti sambil tersenyum lebar. “Wah iya? Itu emang salah satu penunggu, tapi harusnya dia nggak di situ sih, tapi di gedung ujung jalan, kok pindah ya?” ucapnya enteng.
Saya heran, tidak ada nada takut setiap Mira bercerita. Padahal saya yang mendengar ceritanya, bolak- balik lihat kanan-kiri karena was- was. “Ah iya, Mbak! Namanya istana, pasti ada putri nya. Kalau mau ketemu putri dan permaisuri istana biasanya di dekat sumur tua. Mbak tau Taman Sari? Nah, di sana ada semacam pemandian putri mirip seperti Taman Sari, tapi gaib. Penampakannya cantik-cantik,” tambahnya.
Lagi-lagi saya dibuat heran dan geleng- geleng kepala sekaligus ngeri dengan misteri hutan ini.
Cerita dan pesan dari penjaga
Awal April lalu, tepat pukul 6 sore saya dan beberapa teman masih berada di dalam hutan untuk menyelesaikan tugas lapangan. Lupa tak membawa senter, untungnya masih ada flash HP sebagai lampu jalan. Nisa (21) duduk di tanah, berhadapan dengan kolam kecil beserta rerumputan yang cukup tinggi. Dirinya menggaruk lehernya berkali-kali, sambil sesekali mengajak untuk bergegas karena hari sudah malam.
Berada di sini pada malam hari, seharusnya adalah pantangan bagi para mahasiswa yang datang untuk praktikum ataupun urusan lainnya. Bukan apa-apa, tapi sebaiknya tidak usah dilakukan. Jika hari mulai sore, lebih baik segera pulang dan dilanjutkan besok saja daripada tersesat.
Suasana malam itu sunyi, sepi, senyap. Tak ada bunyi lain selain suara obrolan dan jangkrik yang bersahut-sahutan. Sampai tiba- tiba….suara teriakan nyaring terdengar, entah darimana. Saya dan Nisa saling menoleh satu sama lain. “Suara apa tadi? Kucing?” tanya saya.
“Gak tau, cepet yuk,” ucapnya geleng-geleng. Akhirnya kami semua memutuskan untuk segera kembali ke parkiran motor yang berjarak beberapa meter dari kolam kecil tadi.
Keesokan harinya, saya kembali ke lokasi tersebut. Tak jauh dari lokasi, terdapat bekas bangunan seperti kantor. Saya memarkirkan motor di depan bangunan tersebut, terlihat dapur dan rak-rak piring yang tersusun rapi. Kata warga sekitar, bangunan ini sekarang digunakan sebagai tempat tinggal salah satu penjaga, sebut saja Tarno. Dirinya telah bekerja disini selama puluhan tahun.
Tak ada rasa takut yang dirasakan Tarno selama tinggal di dalam hutan ini, pemandangan pohon- pohon yang menjulang tinggi sudah menjadi makanannya setiap hari. “Biasa aja, Mbak. Namanya juga alas,” sahutnya. Tarno melanjutkan cerita, “Tapi saya waktu awal- awal tinggal disini pernah mengalami kejadian horor, mungkin sebagai perkenalan ya? Hahaha,” raut wajah Tarno seperti mengingat-ngingat kejadian beberapa tahun silam.
Sore itu, menjelang maghrib, Tarno masih asyik mencari rumput untuk pakan sapi yang ia jaga. Azan magrib biasanya ia jadikan sebagai alarm pengingat agar segera pulang ke rumah. Namun, saat itu Tarno berniat pulang terlambat agar rumput yang didapat lebih banyak. Seperti biasa, ia berjalan menyusuri jalan setapak sambil melihat kanan kiri dengan arit di tangan kanannya.
Ketika menoleh ke kiri, rasanya ada yang aneh. Dirinya terdiam cukup lama sambil terus memandangi sebuah bayangan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Rupanya, seorang perempuan memakai baju putih tampak berdiri di bawah pohon, mereka saling berhadapan. Tarno ingin berlari, namun langkahnya terasa berat.
Dalam hati, dirinya membaca segala doa yang ia ingat. Tak selang berapa lama, sosok tersebut tiba-tiba hilang. Tarno terduduk lemas, sambil menghela napas lega. Detik itu juga, dirinya langsung berdiri dan berlari untuk menuju rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian tersebut.
Tarno bergidik ngeri mengakhiri ceritanya. Jari telunjuknya mengarah ke suatu jalan setapak yang berada di sisi selatan rumahnya. “Di situ kejadiannya,” ucap Tarno. Saya sempat terkejut, ternyata lokasi yang dimaksud dekat dengan kolam kecil tempat saya mendengar suara nyaring kemarin. Suara aneh yang hingga saat ini tak tahu dari mana asalnya.
Pria berumur sekitar setengah abad itu memandang lurus ke depan, seperti mengingat-ingat. Matanya terkadang menyipit, sambil sesekali menghembuskan napas berat.
“Dulu ayah saya kejawen, beliau sering kesini untuk mencari barang-barang sakti. Banyak yang disimpan disini, mungkin hingga sekarang,” ucap Tarno. Dirinya seperti ragu untuk bercerita lebih jauh, hingga keheningan menyelimuti obrolan kami.
“Maaf ya, Mbak. Saya gak bisa lanjut cerita,” Tarno meneguk segelas teh hangatnya, saya memaklumi. Mungkin bagi Tarno dan warga di sini hal tersebut masih sangat sensitif untuk membicarakan misteri di hutan ini.
Sebenarnya, hutan ini bukanlah hutan yang jarang terjamah manusia. Melainkan sebaliknya, banyak masyarakat sekitar yang menggantungkan kebutuhan hidupnya pada hutan ini, walau sekadar mencari rumput, ataupun kayu bakar. Bagi Tarno, kuncinya adalah hidup berdampingan antara manusia dan alam, yang terpenting saling menjaga.
Pertemuan saya dengan Tarno mengingatkan sebuah pesan yang saya dapat pada beberapa tahun silam. Ketika mengurus kegiatan kampus di lokasi ini, saya sempat mengobrol dengan salah satu warga yang dikenal dengan sebutan orang pintar. “Selalu jaga etika saja yang penting, pulang jangan terlalu larut. Dah, demit nggak akan ganggu,” ujarnya saat itu.
Beliau juga mengingatkan. “Jangan ambil barang sembarangan di sini ya, karena beberapa lokasi memang terkenal sakral dan sering disebut zona merah dalam bidang perdemitan.”
Sayangnya hingga tulisan ini dibuat, saya belum berkesempatan untuk mengobrol lagi dengan pria yang memiliki kemampuan lebih akan hal-hal mistis itu. Beberapa kali mengunjungi rumahnya, selalu kosong.
BACA JUGA Mitos Cerita Seram Sekolah Angker yang Ada di Jogja dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.