MOJOK.CO – Cara petugas call center hadapi omelan pelanggan saban hari dengan telinga tahan banting, emosi stabil, dan anti-lecet di hati. Apa rahasianya?
Mungkin Erich Fromm pernah menulis buku yang punya judul gagah: The Art of Listening, tapi haqul yakin dia belum pernah menggunakan telinganya seekstrem orang-orang yang saya ajak bicara baru-baru ini.
Mereka ini merupakan orang yang mendedikasikan diri untuk siap sedia mendengarkan sambatan demi sambatan orang tiap harinya. Terbiasa kena marah atas kesalahan yang mungkin tidak dilakukan secara langsung. Yak, siapa lagi kalau bukan almukarom… petugas call center.
Sejak awal saya menaruh keyakinan bahwa permintaan panggilan wawancara yang saya lakukan akan menjadi momen yang menjemukan buat mereka. Namun, prediksi saya sepertinya salah belaka.
Orang pertama yang saya ajak bicara adalah Fauzan. Saat ini dia kerja sebagai salah seorang pemimpin tim (istilah lebih keren yang ia sebut: team leader) di perusahaan penyedia jasa customer service.
Tujuh bulan yang lalu, sebelum menjadi pemimpin tim, Fauzan masih menjadi seorang agen. Bekerja sebagai agen di perusahaan tempat ia bekerja artinya ia menjadi orang di garis depan yang berkomunikasi dengan keluhan pelanggan. Entah melalui live chat, email, maupun via sambungan telepon.
“Kurang lebih saya dulu bekerja sebagai agen selama satu tahun. Kalau untuk bagian call center saya cuma sebulanan,” terang Fauzan agak malu.
Dari penjelasan Fauzan, saya baru tahu kalau dalam dunia call center, ada level kesulitan yang berbeda-beda kayak orang main game. Petugas call center yang mengelola keluhan pelanggan via email atau live chat bisa dibilang lebih mudah ketimbang via telepon.
Laporan keluhan via telepon biasanya dipilih oleh pelanggan yang mendapati masalah dan ingin lekas-lekas mendapatkan solusi. Tidak perlu ba-bi-bu harus menunggu balasan email atau chat.
Saya bisa membayangkannya. Keluhan pelanggan via telepon yang harus direspons sak–dek–sak–nyet memang membutuhkan skill bacot level dewa. Kalau via email atau live chat, petugas call center mungkin bisa mikir dulu dan menata kalimat yang pas untuk merespons keluhan pelanggan. Hal ini nggak berlaku buat panggilan telepon.
Daus, orang kedua yang saya telepon pun membenarkan hal tersebut. Seorang Sales & Marketing di Ruangguru. Di posisinya sekarang ia bertanggung jawab atas bertambahnya pelanggan dengan cara menelepon calon-calon yang prospek. Di sisi lain, Daus juga harus siap sedia menjadi tempat penerima keluhan dari pelanggan yang telah dia dapatkan sebelumnya.
Sebelum bekerja di Ruangguru, Daus telah punya pengalaman bekerja sebagai customer service selama 4 tahun di beberapa perusahaan dengan klien perusahaan transportasi dan market place.
“Biasanya orang yang baru gabung perusahaan dan belum tahu medannya seperti apa bakal kaget. Di rumah nggak biasa dimarah-marahi terus jadinya baper. Kalau misalnya kita orangnya lemah lembut pasti dia khawatir sama dirinya sendiri. Nanti ujung-ujungnya pasti nangis.”
Pada mulanya Daus menangani keluhan via email, tapi ketika terdapat banyak panggilan masuk melebihi kapasitas, dia diperbantukan untuk juga menerima panggilan. Mampuuus. Dan bisa ditebak, Daus sendiri mengaku hanya kuat selama satu tahun dengerin makian para klien via telepon.
Ketika saya bertanya berapa banyak panggilan yang diterima Daus setiap harinya, jawabannya sungguh bikin kicep. “Biasanya minimal 60 panggilan. Ini bener-bener sepi. Kalau paling banyak ya lebih dari 100 tiap harinya.”
Mungkin bagi para petugas call center jumlah tersebut merupakan jumlah yang wajar. Akan tetapi, bagi saya yang bahkan kerap menonaktifkan centang biru di WhatsApp—karena bikin cemas, jumlah itu sungguh fantastis.
Coba kita hitung: jika dalam satu tahun ada sekitar 300 hari aktif kerja, berarti: 300 hari x 60 panggilan = 18.000 panggilan/pertahun. Ntap!
Dalam satu tahun ada sekitar 18.000 panggilan sambat yang telah Daus terima. Saat saya menyebutkan jumlah kalkulasi tersebut, Daus bilang kalau ia baru nyadar jumlahnya sebanyak itu. “Lumayan panas juga ya telinga saya kalau begitu.”
Banyaknya pelanggan yang mengeluh dan maki-maki itu memang bikin pekerjaan menjadi semakin berat, tetapi hal yang betul-betul tidak menyenangkan bagi Daus adanya prank–call. Istilah ini merujuk pada panggilan yang begitu diterima isinya hanya maki-maki tanpa alasan yang jelas lantas kemudian ditutup oleh si penelepon. Entah karena memang betul-betul marah atau karena iseng saja.
“Sebetulnya kan ada beberapa kasus keluhan yang memang harus ditangani oleh banyak bagian dan butuh waktu berhari-hari. Di situ biasanya pelanggan nggak mau tahu. Ketika ternyata kesabarannya habis dan dia ngerasa kalo disepelekan, sangat mungkin lah kalau di telepon selanjutnya dia langsung maki-maki Ana,” terang Daus. “Tapi belum afdol kalau jadi CS belum pernah menerima panggilan kayak gitu.”
Terkadang, tidak semua panggilan seperti itu bisa ditangani oleh si agen. Di sinilah orang dengan posisi pemimpin tim seperti Fauzan harus turun tangan.
“Bisa dibilang saya sekarang kalo ngadepin pelanggan, pasti kondisinya udah marah banget gitu lah karena masalahnya nggak beres dari agen.”
Rahasia yang bisa Fauzan bagikan untuk menangani orang yang sudah begitu muntup-muntup marahnya sampai memaki-maki penuh busa adalah…
…cukup didengarkan saja.
Biasanya, kata Fauzan, orang yang sudah marah-marah itu hanya akan menyebutkan masalah yang dia temui di kalimat awal. Habis itu isinya cuma bakal marah-marah saja dan tidak ada cara yang lebih bagus selain hanya mendengarkan agar tidak ikut terpancing emosi.
“Bisa kena pinalty kalau CS ikut terpancing. Boro-boro emosi balik, kalau ada CS yang ketahuan lupa dengan pokok masalah yang dihadapi pelanggan lalu menanyakan ulang masalah yang dihadapi dan bikin pelanggan marah, udah bakal kena teguran tertulis dari atasan,” jelas Fauzan.
Saya jadi penasaran, kok ada ya orang yang bisa kuat mentalnya menghadapi kemarahan demi kemarahan pelanggan saban hari? Daus, yang pengalaman dalam dunia per-CS-an masuk ke tahun kelima tahun ini sedikit berbagi pandangannya.
“Ya, nggak tahu ya, Mas. Ada yang bertahan karena kebutuhan finansialnya sudah bergantung dengan pekerjaan ini ada juga yang karena passion. Saya ini kayaknya karena passion kayaknya. Hehe…”
“Passion Mas Daus itu mendengarkan kemarahan orang?” tanya saya penasaran setengah modiyar.
“Ya bukan. Saya tuh merasa puas ketika bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain.”
Oh, kirain.
Mendengar jawaban itu saya langsung mbatin. Kalau memang jawaban itu benar, berarti menjadi petugas call center atau jadi aktivis itu nggak beda-beda amat. Yakin sudah, kalau kamu mengidap savior complex, niscaya kamu bisa betah dan tekun di kedua bidang ini.
Meski demikian, Daus mengaku kala itu dirinya cukup enjoy bekerja sebagai petugas call center. Bahkan, tak jarang dia mengambil lembur barang dua jam sehari dengan alasan “lagi gabut”.
Ketika Daus cerita itu, saya pikir Daus agak melebih-lebihkan ceritanya. Sampai akhirnya saya baru sadar kalau obrolan kami di telepon sudah mencapai lebih dari satu jam, padahal saya cuma minta izin ke dia untuk ngobrol barang 10-15 menit.
Di titik inilah saya sadar, Daus ternyata nggak melebih-lebihkan. Dia membuktikan barusan, kalau beberapa manusia memang dilahirkan dengan daya tahan bicara dan mendengar di atas rata-rata manusia normal. Termasuk—mungkin saja—ketika harus mendengar makian orang.
BACA JUGA Membongkar Sindikat Yakult Lady atau tulisan dari Rubrik LIPUTAN lainnya.