Mahasiswa Jogja Cari Dana Event Kampus dengan Mengamen: Tanda Kreativitas Mahasiswa Seret atau Dana Kampus yang Mepet Banget?

Saat Wisatawan di Jogja Kewalahan Hadapi Pengemis dan Pengamen yang Mengintimidasi. MOJOK.CO mahasiswa event kampus

Ilustrasi Saat Wisatawan di Jogja Kewalahan Hadapi Pengemis dan Pengamen yang Mengintimidasi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagi kalian yang pernah terjebak lampu merah di Jogja, pasti sekali dua kali pernah melihat kumpulan mahasiswa mengamen untuk event kampus. Entah event charity, acara akhir tahun, atau makrab. Saya tentu tak asing dengan hal ini. Sebab, sekira 11-12 tahun lalu, saya juga jadi bagian mahasiswa yang mengamen tersebut. Meski, jujur saja, saya tak terlalu suka hal tersebut.

Bagi saya, tak sepatutnya mahasiswa mengamen untuk cari dana acara kampus. Mahasiswa lumrahnya ya cari sponsor, kreatif perkara cari dana, dan jika acara tersebut memang hajat kampus, ya urusan kampus perkara menyediakan dananya. Bukan dibebankan pada mahasiswa yang pada dasarnya hanya jadi pelaksana saja.

Apalagi di Jogja, yang dipenuhi pengamen yang punya skill dan mempergunakannya untuk bertahan hidup, bukan untuk diserahkan kepada kampus.

Tapi, saya sedikit memahami kenapa ngamen jadi jalan bagi para panitia event kampus untuk menutup dana. seperti yang saya sudah bilang, saya pernah ikutan ngamen, jadi saya tahu kenapa keputusan ngamen tersebut diambil. Tetap saja, saya tak setuju-setuju amat dengan hal itu.

Maka, saya bertanya kepada para pelaku ngamen lain, dan orang yang jelas punya sudut pandang berbeda dengan saya. Siapa tahu, informasi dari mereka, bisa membuat saya, dan mungkin kalian para pembaca, saat mau nyinyir mahasiswa yang ngamen buat event kampus di Jogja.

Saya mewawancarai Syafiq, mantan Ketua EDSA, ormawa Pendidikan Bahasa Inggris UNY, dan Bugis, mahasiswa Sastra Inggris, anggota Edsacoustic dan gitaris Holiday With Masha. Kedua orang ini, saya pikir, punya pendapat otoritatif perkara fenomena mahasiswa mengamen di Jogja

Mahasiswa mengamen karena duit kampus seret

Jam menunjukkan 00.18 ketika saya memulai percakapan dengan Syafiq. Bukan waktu yang proper untuk melakukan wawancara, tapi waktu yang tepat bagi laki-laki untuk menyatakan kejujuran. Tak berlama-lama, saya langsung menanyakan pada Syafiq. Sebagai ketua, apakah dia setuju dengan mahasiswa mengamen untuk event kampus di Jogja. Jawabnya, setuju, dengan banyak catatan.

“Kesepakatanku dengan (alm) Jodi, wakil ketuaku saat itu, adalah anak-anak (anggota ormawa) boleh ngamen asal acara tersebut memang untuk umum. Bisa dinikmati siapa pun di Jogja. Untuk acara internal, aku jelas melarang.”

“Tapi memang aku nggak pernah secara eksplisit melarang ngamen, dan secara terang-terangan memberi saran ngamen. Cuma aku memang memahami, kalau nggak ngamen, dana acara nggak akan ketutup, Mas.”

Kok bisa?

“Soalnya dana dari kampus juga seret, Mas. Dana untuk ormawa itu turun cuman tiga kali. Maksudnya 3 gelombang, Mas. Itu pun waktunya nggak tentu. Banyak acara yang jalan duluan sebelum uang turun. Kita juga nggak bisa nyesuaiin acara dengan kapan duit turun. Lagian yang kena kayak gini bukan hanya EDSA, Mas. Tapi juga ormawa lain. Bayangin betapa hectic dan ribetnya rapat saat itu cuman perkara nentuin ormawa mana yang dapet duit dulu.”

“Dan jelas bukan kita aja, Mas, yang ngamen di Jogja. Dulu sempat ketemu anak dari UPN juga, mau ngamen buat USDA (usaha dana).”

Saya kaget. UPN? Salah satu kampus di Jogja yang terkenal isinya orang kaya itu?

“Cok, ngopo coba cah UPN golek duit?”

“Hambuh, Mas, aku yo kaget.”

Guest star event kampus bikin beban (?)

Bugis ini kebetulan berbagi pandangan yang sama dengan saya: dia menolak keras mahasiswa ngamen untuk event kampus di Jogja. Apa pun alasannya, dia tidak bisa menerima. Sebab, jika memang perkara uang yang kurang, yang perlu dibenahi adalah perencanaannya.

“Ngene, Mas. Aku belum pernah lihat EO ngamen buat nutup uang event. Sponsor itu sebenere banyak, tapi nggak tau kenapa selalu jadi masalah. Padahal kalau tahu acaranya di akhir tahun, kan bisa digarap di awal.”

Selain itu, dia terkadang merasa malu ngamen hanya untuk nutup acara yang mengundang guest star yang nggak mahal-mahal amat. Baginya, ini menunjukkan kekurangan fatal panitia, yang dia juga ada di dalamnya.

“Bayangne, Mas, ngundang band X yang udah punya nama pas rate masih 5 jutaan, dananya kurang. Bisa dianggap ormawa nggak kuat ngundang band seharga 5 juta. Kalau itu terjadi sekarang, aku nggak bisa bayangin betapa malunya. Sekarang, band Jogja mana yang mau dibayar 5 juta, dan punya nama?”

Ketika dia bilang itu, saya tertarik untuk bertanya. Apakah misalnya jika nggak pakai guest star, dana bisa tertutup?

“Jane iso, Mas. Tapi pasti bakal ada yang bilang, masak nggak ngundang guest star gede? Nah, balik lagi ke esensi acara. Mau pamer guest star, atau bahagia bersama-sama? FBSB UNY kan salah satu kampus di Jogja yang punya banyak seniman, sebenarnya ya bisa pake jasa mereka.”

Perkara ini, Syafiq juga kurang lebih sama pendapatnya. Saya sempat bertanya hal yang sama, dan jawaban dia ya mirip-mirip.

“Ya aku dah sering denger mereka mau usaha lebih kuat saat bilang mau undang guest star X, misalnya. Aku sering ngingetin juga, Mas. Tapi, Mas dewe yo paham kan, kalau anak muda itu nggak bisa dibilangin. Kalau kejadian, baru paham.”

This shit hits me hard. Saya jadi mengingat-ingat masa muda saya yang begitu penuh keputusan bodoh. Damn.

Kreativitas mahasiswa yang seret

Meski setuju, Syafiq mengkritik kreativitas mahasiswa yang seret. Tak hanya ormawanya yang punya budaya ngamen. Ormawa lain pun begitu. Kampus lain pun begitu. Artinya, “penyakit” ini menyebar di Jogja.

Saya iseng bertanya ke Syafiq, kenapa tak ada juniornya yang mencoba mencari sponsor atau meminta alumni untuk menyumbang. Toh, jurusan Syafiq terkenal kuat ikatan alumni dan juniornya. Katakanlah ada 10 alumni menyumbang 100 ribu, sudah dapat 1 juta. Lumayan untuk menambal kekurangan kan?

“Nah, itu Mas. Selama aku kuliah, nggak ada yang kepikiran akan hal itu. semuanya kembali ke formula yang seniornya lakukan. Entah karena dipaksa, atau memang pada tinggal niru aja. Tapi mengingat aku nggak pernah memaksa kayak gitu, jadi ya kesimpulanku memang kreativitas mencari dana mahasiswanya seret.”

Bugis punya jawaban yang berbeda akan hal ini.

“Selain kreativitas mahasiswanya yang emang seret, koneksi antar-angkatannya memang nggak kuat, Mas. Contoh UGM, ikatan alumni Jakarta aja bisa bikin event. Kampus kita jelas beda. Akhirnya karena koneksi yang nggak kuat, mana bisa kepikiran minta sumbangan ke senior?”

Apakah harus ngamen untuk event kampus?

Saya mengulang pertanyaan untuk menegaskan stance kedua narasumber saya: setujukah mahasiswa mengamen untuk event kampus?

Tak berubah, Syafiq dan Bugis tetap pada pernyataannya. Syafiq kondisional, Bugis tetap menolak. Keduanya valid, keduanya punya alasan yang jelas. Pendapat mereka (mungkin) mewakili banyak orang di Jogja. Masalah tiap kampus tentu tak berbeda, jika solusinya terlihat sama, amat wajar.

Saya tak lagi jadi mahasiswa, jadi, pendapat saya tak penting, setuju atau tidak. Tapi yang jelas, mengamen untuk event kampus bisa jadi pembeda Jogja dengan daerah lain. Jogja mengajak mahasiswanya untuk kreatif dan menggunakan cara-cara yang bisa digapai untuk survive. Kreativitas mereka tanpa batas, dan meski kadang melanggar batas, tetap saja perlu diapresiasi.

Yah, begitulah jika kamu hidup di daerah dengan upah rendah. Kau akan dipaksa untuk kreatif mencari cara untuk selamat.

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Alasan Musisi Jalanan Tetap Bernyanyi di Perempatan Jalan Meski Suara Tak Didengarkan

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version