Jika lampion menjadi lentera khusus tiap perayaan Imlek bagi warga Tionghoa, maka masyarakat muslim di Gresik memiliki damar kurung. Lentera ini dipopulerkan oleh Masmundari dan dinyalakan tiap malam saat bulan Ramadan.
***
Damar kurung adalah sebuah lentera kayu berbentuk segi empat, jika dilihat dari atas menyerupai huruf M, di sisi-sisinya berhiaskan lukisan. Lukisannya dua dimensi dan mengangkat cerita kehidupan masyarakat Gresik. Secara arti damar adalah penerang, sedangkan kurung adalah penutup. Lentera ini setidaknya telah hadir sejak abad ke-16 pada zaman Sunan Prapen.
Zaman dulu, di Gresik, setiap Ramadan tiba anak-anak menggunakan damar kurung sebagai penutup obor saat hendak berangkat salat tarawih. Selain itu, lentera ini juga dinyalakan di rumah-rumah saat malam pengganti petromaks atau lampu minyak. Lentera hanya bisa dibeli di momen tertentu. Seperti saat momen padusan yang digelar saat menjelang Ramadan di sekitar pemakaman.
Hari ini, tak perlu menunggu Ramadan untuk bisa menjumpai lentera damar kurung di Gresik. Pada tahun 2017, damar kurung telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Lentera ini kini bisa dijumpai di banyak titik di kota Gresik.
Kisah sang maestro
Berbicara tentang damar kurung tak terlepas dari peran seorang seniman perempuan bernama Sriwati Masmundari. Keluarga Masmundari merupakan perajin lentera damar kurung. Ia dan kedua adiknya melanjutkan tradisi membuat lentera yang telah dirintis oleh keluarganya.
Pada tahun 1972 tercatat ada 10 orang pembuat damar kurung di Gresik. Hasil karya mereka dipasarkan setahun sekali saat bulan Ramadan di sekitar pelabuhan. Sayangnya, pada tahun 1987 hanya tersisa Masmundari.
Saat usianya tak lagi muda, Masmundari mulai sering sakit dan merasa jarak ke pelabuhan terlalu jauh. Ia lalu menjual lentera buatannya di sekitar pemakaman dekat rumah. Lentera buatannya hanya dijual selama Ramadan. Selain berjualan lentera, Masmundari juga berjualan jamu, jajanan, hingga bebatuan untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Lalu, semula lukisan untuk damar kurung milik Masmundari hanya dibuat di atas kertas minyak dan diwarnai dengan pewarna makanan. Namun pada suatu ketika datang seorang pelukis muda bernama Imang A.W. Ia menawarkan diri untuk mengembangkan lukisan damar kurung karya Masmundari menjadi seni lukis di atas kertas kanvas dengan cat minyak.
Langkah Ini merupakan upaya untuk meningkatkan nilai jual karya Masmundari. Imang A.W perlahan memperkenalkan lukisan ini keluar Kota Gresik. Seperti dikutip dari buku panduan Museum Virtual Masmundari, pada tanggal 10 November 1987, Masmundari melakukan pameran tunggal perdananya di Bentara Budaya Jakarta dengan tajuk “Masmundari dan Damar kurung: Kebebasan Pengembaraan Hati”.
Pameran itu menjadi titik permulaan dirinya mulai dikenal dalam percaturan seni rupa nasional. Setelah pameran tersebut, pesanan damar kurung Masmundari meningkat pesat. Permintaan datang dari Gresik dan kota-kota lainnya.
Tak lama kemudian, ia berkesempatan menggelar pameran keduanya di Dewan Kesenian Surabaya pada tahun 1988. Pada tahun 1991 Masmundari mendapat penghargaan dari Tugu Park Foundation dan disusul beberapa penghargaan lainnya seperti piagam seniman berprestasi nasional dari Bupati Gresik (1991) dan seniman kreator bidang seni rupa dari Gubernur Imam Utomo (2002).
Masmundari sang masestro lentera khas gresik ini menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2005 di usia 101 tahun. Ia meninggalkan seorang anak bernama Rokayah (77). Saat ini Rokayah meneruskan usaha yang dirintis Masmundari bersama anak-anaknya (cucu Masmundari). Minggu (30/01/2022), saya menemui Rokayah di kediamannya di Tlogopojok, Kroman, Gresik. “Yang menggambar (sekarang) ya saya, ngikutin gambarannya emak (ibu). Baru yang mewarnai ya anak-anak saya. Semuanya digambar dengan tangan,” ucap Rokayah.
Lentera yang bercerita
Lukisan yang ada pada sisi lentera damar kurung mempuyai tema-tema yang variatif. Seperti ritual dan kehidupan sehari-hari. Ini bisa dilihat dari beberapa karya lukisan Masmundari yang bertema tarawih, proyek pembangunan, festival pasar bandeng hingga perkawinan.
Lentera dan lukisan adalah dua elemen yang tak terpisahkan dari damar kurung. Selepas kepergian Masmundari, pamor lentera ini semakin redup. Walaupun anak dan cucu Masmundari masih melanjutkan penjualan lentera replika karya Masmundari.
Pada tahun 2012, Novan Effendy (37), seorang pengusaha kerajinan dari Gresik, mengajak kawan-kawannya di Asosiasi Souvenir Gresik (ASK) untuk mengadakan Festival Damar kurung. Hal ini bermula dari keresahannya terkait pamor damar kurung yang semakin redup. Lentera ini baginya adalah sebuah karya seni bersejarah yang harus terus dilestarikan.
Perkenalan Novan Effendy dengan lentera ini dimulai saat usianya 8 tahun. Novan kecil kerap ikut ayahnya ke Pasar Bandeng yang kemudian membelikannya sebagai mainan. Karena nilainya yang bersejarah, ia berkeinginan untuk menghidupkan kembali lentera ikonik ini.
Festival sudah terselenggara sebanyak 6 kali. Selain itu, Novan juga mendirikan Damar kurung Institute pada tahun 2013. Tahun 2021, Biennale Jogja XVI menggandeng lembaganya untuk mengadakan pameran karya Masmundari. Masmundari merupakan satu diantara 34 seniman dari Indonesia dan kawasan Oseania yang karyanya hadir dalam pameran tersebut.
“Pada acara tersebut saya mengajak beberapa mahasiswi untuk terlibat dalam pembuatan replikasi karya Masmundari. Kemarin praktiknya kami mencoba mengenalkan Masmundari pada generasi baru yang sama sekali belum mengenalnya dan hasilnya ternyata luar biasa,” ucap Novan.
Novan Effendy ingin mengembalikan esensi damar kurung yang tidak terpaku harus sama seperti karya Masmundari. Selain itu, dalam buku yang berjudul “Damar Kurung dari Masa ke Masa”, Ika Ismoerdijahwati juga menjelaskan bahwa lukisan damar kurung memiliki pakem yang bisa dipelajari. Semisal, tema-tema yang dilukis oleh Masmundari terbagi menjadi dua, yaitu sakral dan profan. Sakral karena mengangkat tema-tema reliji seperti shalat tarawih, perayaan lebaran maupun kelahiran. Sedang tema profan lebih pada kegiatan sehari-hari seperti Festival Pasar Bandeng, perkawinan hingga proyek pembangunan pabrik.
“Selama kita tahu aturan pakemnya bagaimana, bisa diadaptasi menjadi karya yang melampaui zaman, jadi dia tidak harus cerita mengenai masa lalu tapi juga bercerita mengenai masa kini. Damar kurung secara fundamental ini kan sebenarnya lampion yang menceritakan atau merekam peristiwa yang terjadi sehari hari,” pungkas Novan.
Reporter: Nurfitriani
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Jamu Jun Wijoyo, Jamu seperti Bubur, Sumber Vitamin Pejuang Kemerdekaan dan liputan menarik lainnya di Susul.