Melawan stigma gudeg yang identik dengan cita rasa manis, Gudeg Bu Mari menyajikan menu gudeg pedas di Solo. Sudah bertahan 50 tahun atau setengah abad dengan resep turun temurun.
***
Bagi saya yang berasal dari Sumatra Barat, makanan manis adalah masalah tersendiri bagi lidah. Orang-orang seperti saya jelas terbiasa dengan makanan pedas. Maka, ketika takdir memutuskan saya kuliah di Solo, makanan adalah salah satu persoalan.
Seperti Jogja, cita rasa makanan di Surakarta atau Solo dominan rasa manis. Termasuk gudeg, makanan warisan zaman Mataram Islam yang bukan hanya terkenal di Jogja, tapi juga penjualnya banyak ditemui di sudut-sudut Solo.
Beberapa kali mencoba, saya merasa nggak cocok dengan rasa manisnya yang medok. Nggak cocok dengan lidah Sumatra saya yang bisa dicekoki makanan pedas.
Sampai akhirnya, saya menemukan warung yang kemudian bisa membuat lidah saya berdamai dengan gudeg. Namanya, Warung Spesial Nasi Gudeg Bu Mari.
Gudeg Bu Mari, tak jauh dari Pasar Singosaren
Lokasnya tak jauh dari kawasan Pasar Singosaren Solo. Ciri khasnya, menu gudegnya dominan rasa pedas. Cocok buat lidah saya.
Tak sulit menemukan warung Nasi Gudeg Bu Mari. Tempatnya persis di pinggir jalan kawasan Gatsu. Dari kejauhan kita sudah bisa melihat tulisan “Special Nasi Gudeg Bu Mari”.
Saya berangkat ke sana menggunakan sepeda motor. Dari jalan lintas Solo-Jogja, hanya tinggal lurus saja melewati Jalan Slamet Riyadi. Kemudian belok kanan bertemu bangjo menuju Solo Baru.
Tak jauh dari sana, ada perempatan. Sekitar 100 meter dari perempatan, hanya tinggal belok kanan sebelum sampai di Pasar Singosaren. Warung Nasi Gudeg Bu Mari ada di kanan jalan, tepatnya di sebelah Dodolan Coffee.
Bisa juga menggunakan transportasi publik seperti Batik Solo Trans. Pergi menggunakan bis dengan koridor tujuan Pasar Trisakti atau Penny Gallery. Tak jauh dari situ, hanya tinggal jalan kaki sekitar 6 menit sudah bisa sampai di Nasi Gudeg Bu Mari.
Di sekitaran Pasar Singosaren Solo kini jadi tempat favorit warga untuk menghabiskan waktunya. Biasanya menjelang sore hingga dini hari, kawasan yang dikenal dengan Gatsu ini ramai orang.
Ada yang memang ingin mencari makan, berbelanja, hingga foto-foto. Terlebih saat ini sepanjang koridor Gatsu sudah dipenuhi dengan mural-mural yang estetik dan apik.
Warung Gudeg Bu Mari dibuat terbuka, tanpa ada pintu masuk dan keluar. Jadi pembeli bisa melihat keseluruhan isi dari warung ini. Mulai dari meja makan, etalase yang penuh dengan menu masakan, sampai dapur.
Ukurannya kecil, tapi tidak terlihat sempit karena memanfaatkan ruang kosong di pinggir jalan. Hanya ada tiga meja makan yang cukup untuk 4-6 orang. Di seberang warung, juga tersedia lesehan.
Sudah 50 tahun berjualan, kini diteruskan anak-anaknya
Nama warung gudeg ini diambil dari nama penjualnya, yaitu Bu Mari. Kini, penerus warung Bu Mari adalah kedua anaknya, yaitu Bu Atik dan Bu Yeni.
Kata Bu Yeni, ia tidak ingat persis kapan ibunya mulai membuka warung gudeg ini. Sambil mengira-ngira, Bu Yeni menyebut kalau usaha kuliner ini sudah berumur 50 tahun.
“Saya belum lahir pun ibu saya [Bu Mari] sudah berjualan. Dari awal memang sudah di sini. Rezekinya di sini, kok,” cerita Bu Yeni kepada saya.
Sebagai penerus, antara Bu Atik dan Bu Yeni saling membagi tugas. Bu Atik di bagian memasak dan mempersiapkan ini itu, sedangkan Bu Yeni yang melayani pembeli. Di samping itu, kata Bu Yeni, juga ada tiga karyawan yang membantu warung ini jualan.
Buka dari sore sampai subuh
Warung Nasi Gudeg Bu Mari baru mulai buka di jam 5 sore. Saya tiba di sana sebelum jam 5. Tak lama dari kedatangan saya, datang satu pembeli yang lain. Ada satu pekerja dari warung ini yang sudah berjaga.
Namun, ia tidak bisa melayani jika ada pembeli yang datang. “Nanti tunggu Bu Atik datang ya. Biasanya jam 5 dia sudah datang,” katanya.
Tepat jam 5 sore, Bu Atik datang. Kedatangannya langsung disambut oleh beberapa pembeli yang lain. Bahkan ketika warung itu belum benar-benar buka. Lewat stok beberapa masakan yang sudah Bu Atik siapkan sebelum buka, ia melayani pembeli.
Ketika sudah melayani semua pembeli, Bu Atik kembali ke dapur. Ia sudah memasak semua menunya pagi hari. Kemudian ketika warungnya sudah mau buka, ia tinggal memanaskan.
Warung gudeg ini baru akan tutup ketika subuh. Biasanya, kata Bu Yeni, bisa sampai jam 4 atau 5 subuh. Bahkan, dulunya sempat berjualan selama 24 jam.
“Ramainya memang di jam segitu. Jadi pagi hari sampai siang untuk istirahat dan masak, sore sampai subuh baru jualan,” tambah Bu Yeni.
Jual gudeg pedas agar beda dari yang lain
Sambil ngobrol dengan Bu Yeni, saya memesan satu porsi nasi gudeg dengan menu tambahan ayam suwir. Dalam satu piring itu, saya mendapatkan nasi, potongan gori yang lumayan banyak, ayam suwir, dan krecek.
Satu porsi nasi gudeg di warung ini bisa melupakan pengalaman kita atas rasa gudeg pada umumnya. Rasanya jauh berbeda. Tidak seperti gudeg kebanyakan, nasi gudeg di warung ini dominan pedas dan gurih.
Bagi saya, cita rasa gudeg ini seperti menaklukan lidah orang Sumatra seperti saya yang biasa makan pedas. Sensasinya seperti bukan makan gudeg. Sumber pedasnya terutama dari kreceknya yang memang pedas.
“Pedasnya masih bisa dinikmati. Kalau manis justru bikin eneg,” ujarnya. Kata Bu Yeni, rasa pedas itu berasal dari bumbu pada krecek. Sedangkan gurih dari bumbu gori dan ayamnya.
Menurutnya, orang tidak akan bisa makan dengan porsi yang banyak jika rasa gudegnya terlalu manis. Karenanya, Bu Mari membuat gudeg dengan rasa yang pedas. Dan menurut saya, dengan resep yang berani beda ini, Bu Mari sudah berhasil dalam eksperimennya.
Selain itu, alasan utamanya adalah agar warung Bu Mari ini beda dari warung gudeg yang lain. Makanya dibuatlah gudeg dengan rasa yang pedas dan tidak manis.
Saya ngobrol dengan salah satu pembeli di sana. Malam itu, Syafa Kusuma (21) pergi ke koridor Gatsu dengan niat ingin foto-foto.
Rasa penasarannya timbul ketika melewati warung Nasi Gudeg Bu Mari. “Tiap lewat sini, warung itu hampir nggak pernah sepi,” katanya. Syafa pesan satu porsi gudeg dan es teh.
Dia mengaku bukan pecinta makanan pedas. Namun, katanya, Gudeg Bu Mari ini tetap bisa dinikmati. Tak hanya menyebut enak, Syafa menilai kalau kuliner ini punya rasa yang unik.
“Kekuatannya bukan cuma di krecek yang pedas aja, kuah opor ayamnya gurih. Disiram ke nasi jadi makin enak. Wajar kalo warungnya ramai,” kesan Syafa ketika pertama kali mencoba Gudeg Bu Mari.
Pelanggan banyak dari luar daerah yang suka gudeg pedas
Bu Yeni juga bercerita, sejak awal buka, banyak pembeli yang berasal dari Jawa Timur atau kota lain, sehingga gudeg dengan sensasi pedas ini selalu laris. Bahkan, katanya, orang Solo pun banyak yang suka.
Soal rasa gudeg, meski sudah berusia 50 tahun, Bu Yeni menjamin kalau tidak pernah merubah resep dan kekhasan dari nasi gudeg ini. “Kami nggak pelit kalau kasih bumbu. Kalo pelit bumbu itu udah nggak enak. Krecek itu kami pakai bahan yang unggulan, nggak sembarangan,” pungkasnya.
Di dapur, terlihat Bu Atik masih sibuk memanaskan beberapa makanan untuk kemudian menaruhnya di etalase. Ketika masak, Bu Atik masih menggunakan arang dan dengan cara yang masih tradisional.
Bu Yeni bilang, sejak zaman Bu Mari sampai sekarang, cara memasaknya tidak pernah berubah. Masih menggunakan arang dan tungku. Hal itu yang juga jadi alasan mengapa rasa gudeg ini bisa terus konsisten meski sudah puluhan tahun.
Selain menjual gudeg, warung ini menjual ceker dan bubur yang juga jadi menu andalan. Satu porsi gudeg harganya Rp18-20 ribu, tergantung menu tambahan apa yang kita pilih.
Bu Yeni percaya diri, kalau warungnya adalah top of mind orang-orang untuk urusan gudeg dengan rasa yang pedas. Bahkan, katanya, jadi satu-satunya warung yang menjual gudeg dengan rasa pedas di Solo. Tak heran jika banyak pendatang luar Solo yang jadi langganan warung ini.
Jadi langganan tokoh dan artis nasional
Di warung Bu Mari, terpajang beberapa foto tokoh nasional dan artis yang pernah makan di sana. Mulai dari Didi Kempot, Bondan Winarno, Wiranto, FX Hadi Rudyatmo, Ivan Gunawan, Nassar, dan beberapa publik figur yang lain. Bahkan Presiden Kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri pada tahun 1990-an pernah makan di sini.
Bu Yeni bilang, banyak tokoh nasilonal dan artis yang merupakan langganan warung ini sejak masih zamannya Bu Mari, hingga sekarang. “Almarhum Didi Kempot itu kalau di sini suka sama buburnya. Orang tua beliau kebetulan temannya ayah saya, sampai akhirnya jadi langganan,” cerita Bu Yeni.
Bu Yeni tidak begitu ingat soal cerita menarik dari kedatangan tokoh dan artis nasional itu, tetapi dia ingat betul kalau Bondan Winarno pernah mengomentari nasi gudeg ini. “Katanya enak dan beda dari gudeg yang lain,” ujar Bu Yeni menirukan komentar dari almarhum Bondan.
Reporter: Novali Panji Nugroho
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Es Teh di Khazanah Kuliner Solo Lebih Nikmat Dibandingkan Kuliner Jogja: Jangan Tanya soal Harga dan Rasa dan tulisan menarik lainnya di Goyang Lidah.