Kisah Mbah Kuwot Selamat dari Romusha dan Buka Warung Kopi Legendaris di Trenggalek

Warung Kopi Mbah Kuwot Trenggalek. (Ilutrasi Mojok.co)

Kuwot Satinem beruntung bisa selamat dari Romusha. Bersama suaminya, ia kemudian menjalani kehidupan baru dengan membuka warung kopi. Namun tak disangka warung ini laris dan populer hingga saat ini.

***

“Kalau ngopi di sini temannya banyak, dari mana-mana kumpulnya ya di sini,” ujar Bagus (50).

Sudah hampir 30 tahun Bagus jadi pelanggan tetap Warung Kopi Mbah Kuwot. Saking lamanya jadi pelanggan, ia tahu kebiasaan orang-orang yang ngopi di sana.

Menurut penuturannya, dulu jamannya Mbah Kuwot masih sugeng, ada papan yang isinya penuh catatan utang. Kalau belum bisa bayar, orang-orang mencatat sendiri pakai kapur.

Nanti kalau sudah dibayar ya dihapus sendiri. Catatan itu tidak terhenti pada papan. Saat itu juga ada lemari kayu yang berisi penuh coretan utang.

“Lemari itu ditulis pakai kapur bolak-balik. Walaupun satu orang catatan utangnya berderet sampai bawah, kalau belum bisa bayar ya dibiarkan saja.” ungkap Bagus sambil tertawa lepas.

Mbah Kuwot sendiri seingat Bagus tak pernah menagih. Sebagian pelanggan biasanya baru bisa bayar kalau uang bulanan pensiun sudah turun. Pelanggan lain yang profesinya petani juga polanya begitu. Baru bisa bayar setelah panen.

“Pokoknya asal punya uang ya dibayar. Kalau nggak ada uang, dipanjang-panjangkan ya nggak apa-apa,” Bagus mengatakannya dengan tertawa lagi.

“Dari tempat dan rasa kopi, menurut saya paling enak di sini,” katanya dengan nada meyakinkan.

kopi mbah kuwot mojok.co
Satu cangkir kopi susu di Warung Kopi Mbah Kuwot. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Malam itu, Rabu (15/6/2022) Saya sengaja mampir ke Warung Kopi Mbah Kuwot setelah perjalanan yang melelahkan dari Ponorogo. Lokasi warungnya berada di perempatan sebelah selatan Kantor Lurah Sumbergedong, Trenggalek, Jawa Timur.

Sembari berbincang dengan Bagus, saya menyeruput kopi susu sambil menikmati heci. Oya, heci ini panganan yang di daerah lain biasa disebut dengan ote-ote atau pia-pia.

Tempat duduk saya berada di samping tungku kayu besar dengan api yang menjilat-jilat. Suasana malam sehabis hujan itu jadi terasa hangat. Keputusan yang tepat untuk ngopi di warung ini.

Ikut Romusha

Setelah tak berapa lama berbincang dengan Bagus, saya penasaran dengan sejarah warung kopi legendaris ini. Kebetulan, malam itu salah satu pengelola ada di lokasi.

Namanya Muarip (63), anak dari keponakan Mbah Kuwot. Saya kemudian meminta izin untuk bertanya tentang sejarah dari Warung Kopi Mbah Kuwot ini.

Sek ya, Mas. Ini masih belum ada anak saya. Nanti kalau dia sudah datang saja ya,” katanya sambil meracik kopi.

Muarip yang malam itu masih sendirian, terus bergerak melayani para pelanggan. Ia meracik kopi, menuang air panas , mengantarkan kopi, lalu mengambil uang kembalian. Begitu seterusnya.

Namun tak berapa lama kemudian, Muarip mengajak saya ke ruang tengah. Ruangannya relatif agak sepi. Ini tak lama setelah anaknya datang.

“Pemilik warung yang pertama namanya Kuwot. Makanya nama warung ini, Warung Kopi Mbah Kuwot,” ucapnya mengawali perbincangan.

“Nama lengkapnya Kuwot Satinem. Ini cewek, Mas. memang banyak pelanggan baru yang mikir Mbah Kuwot sebagai laki-laki. Sedangkan suaminya bernama Abdul Basar.”

Pak Muarip mengambil air mendidih yang dituang dalam racikan kopi dalam cangkir. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Menurut cerita dari ibunya, dulu Mbah Kuwot pernah ikut Romusha. Sekitar tahun 1942. Mbah Kuwot ditugaskan jadi juru masak untuk orang Jepang saat pembangunan terowongan Niyama di Tulungagung.

Soal Romusha ini pernah juga ditulis oleh Historia.id. Saat itu, 17 November 1942, Sungai Brantas meluap. Sebanyak 150 desa dan 9000 rumah terendam banjir di Tulungagung.

Pemerintah Karesidenan Kediri lantas menginstruksikan untuk membangun terowongan yang bisa menembus laut selatan. Ribuan tenaga manusia kemudian dipaksa untuk bekerja demi ambisi menembus gunung.

Kini, terowongan tersebut dikenal sebagai Terowongan Niyama. Kata ini berasal dari kata: ne yang berarti akar, dan yama yang berarti gunung

Semasa Mbah Kuwot menjalani Romusha, ia melihat pekerja yang mengangkat gundukan tanah dan menggali sungai. Orang yang meninggal malah dimasukan ke dalam air sekalian.

“Namanya Romusha, tanpa upah, tanpa makan, dan dipaksa. Kuat nggak kuat ya bagaimana, lha lawannya senjata api. Tapi tanpa itu, mungkin Trenggalek sekarang bisa-bisa sering banjir,” ujar Muarip.

Waktu zaman Romusha, tiap desa ada jumputan paksa sesuai perintah pemerintah setempat. Misalnya, Desa Sumbergedong dapat giliran beberapa orang, selanjutnya berganti ke Desa Ngantru, kemudian Desa Surodakan, begitu pula di desa-desa lainnya.

Saat itu banyak yang tidak bisa kembali pulang. Entah kemana. Syukur, Mbah Kuwot saat itu bertugas sebagai juru masak, nasibnya lebih baik karena pasti bisa makan.

Jika dikatakan apes, ia cukup apes karena menjadi korban dari jumputan desa. Tapi beruntungnya, ia masih bisa kembali dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Setelah pulang menjalani Romusha, Mbah Kuwot lalu menikah dengan Abdul Basar.

Suasana warung kopi Mbah Kuwot, baju hijau paling kanan, Pak Bagus (50). (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Setelah menikah inilah Mbah Kuwot mulai merintis warung kopi. Muarip tak tahu kapan pastinya warung kopi ini berdiri. Namun, seingatnya, sejak 1958 atau saat dia dilahirkan, warung kopi ini sudah berdiri.

“Mbah Kuwot itu tidak punya anak, hanya ponakan yang diangkat jadi anak, di sini biasa disebut anak pupon,” kata Muarip melanjutkan ceritanya.

Mbah Kuwot kemudian merawat tiga orang keponakannya. Pertama ibunda Muarip yang bernama Painem, kedua Katiman, ketiga Hermanto. Kini ketiga anak pupon Mbah Kuwot sudah meninggal semua. Warung kopi ini kemudian dititipkan ke Muarip dan kedua saudaranya.

“Pelanggan Mbah Kuwot waktu itu orang tani. Walaupun mereka tidak punya uang, mereka tetap boleh ngopi tiap hari. Makan sama minum juga nggak apa-apa. Besok setelah panen baru dibayar,” ungkap Muarip.

Keahlian meracik kopi

Saya kembali nyeruput kopi susu yang tersaji di meja. Bersama balutan susu kental manis yang pas, kopi itu begitu tenang masuk ke tenggorokan. “Mbah Kuwot sendiri mendapat keahlian meracik kopi darimana, Pak?” tanya saya.

“Kalau kopi yang berperan itu keponakannya yang bernama Katiman. Mbah Kuwot itu melayani pembeli di depan. Yang menggoreng sama meracik itu Katiman,” jawabnya.

“Waktu itu setiap hari prosesnya juga masih ditumbuk pakai alu dan lumpang. Yang menumbuk itu ya saya, kakak perempuan saya, kadang juga ibu saya,” ucap Muarip menunjukan tangannya yang dulu penuh benjol dan kapalan gara-gara hampir tiap hari menumbuk kopi.

Kemampuan Katiman meracik kopi didapat secara otodidak. Sebelum tahun 1994, bubuk kopi seberat 25 kilogram bisa habis dalam tiga hari. Kini, penjualan semakin laris, dalam satu minggu 80 kilogram bubuk kopi bisa ludes.

“Apalagi kalau di lingkungan sini ada tontonan, pasti lebih (laris),” kata Muarip.

Tumpukan racikan kopi dalam cangkir siap seduh. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Katiman saat itu jadi penggerak utama Warung Kopi Mbah Kuwot. Dan kini seiring berjalannya waktu, Muarip kemudian memegang estafet mengelola warung kopi ini bersama dua saudaranya.

“Cara menggoreng, mencampur kopi, tetap resep asli,” tegas Muarip.

“Dan yang pasti pukul 4 pagi sudah banyak yang ngetok.”

Wes umup? Mereka bilang begitu sambil ketok-ketok pintu. Saya sebetulnya dari dalam dengar, tapi ya diam saja,” ucap Muarip menirukan kelakuan pelanggannya. Ia menjelaskan bahwa warung biasanya tutup jam 12 malam dan buka kembali menjelang matahari terbit.

Menurutnya ini sudah termasuk lebih ringan daripada dulu di era Mbah Kuwot. Saat itu warung tutup pukul 3 dini hari dan buka lagi pukul 4 pagi.

Di masa-masa itu menggoreng kopi bisa non-stop, karena masih pakai alu dan lumpang. Namun, sejalan berkembangnya zaman, sekitar tahun 1992 alu dan lumpang sudah tidak digunakan lagi, beralih ke mesin giling.

Tungku kayu bakar

Salah satu yang menarik dari warung kopi ini menurut saya adalah proses memasak air yang masih tradisional menggunakan tungku kayu bakar. Muarip dan saudara-saudaranya langsung menuangkan air mendidih dari wajan besar ke cangkir-cangkir kopi.

Tak jauh dari tungku, kayu bakar siap pakai bertumpuk-tumpuk. Menurut keterangan Muarip, pemasok kayu bakar itu masih dari tempat yang sama sejak dulu. Selama saya ngopi di Trenggalek, baru kali ini saya menemukan ada warung kopi dengan tungku kayu bakar sebesar ini.

“Kebanyakan pelanggan yang baru ke sini ya kaget. Mereka juga heran waktu saya menuang air panas langsung dengan air mendidih di atas tungku kayu bakar itu. Menurut mereka, rebusan kompor gas sama kayu bakar itu beda.”

Pawonnya (dapurnya) masih di tempat yang sama seperti sekarang. Kalau tempat menuang air panas dan pembayaran, dulu di dekat sini.” Pak Muarip menunjuk satu tembok.

Tungku kayu bakar dan tumbukan kayu siap pakai di sebelahnya. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Cetik geni-nya di pawonan. Airnya dipindah pakai kendil. Jadi bolak-balik dari dapur ke depan.”

“Kami sepakat tidak pakai gas, tetap mempertahankan memakai kayu.” tegas Pak Muarip tentang kesetiannya mempertahankan teknik memasak air dengan kayu bakar.

Selain bisa menikmati kopi di tempat, kini Warung Kopi Mbah Kuwot juga menyediakan bubuk kopi kemasan. Inovasi ini belum lama dimulai. Kurang lebih sekitar dua sampai tiga tahun ke belakang. Ini untuk mengakomodasi permintaan pelanggan sejak dulu.

“Kemarin saja ada orang yang minta bubuk yang dibungkus plastik sekalian sama gulanya.”

Saking populernya kopi bubuk Mbah Kuwot di masyarakat, beberapa angkringan mengambil bubuk kopi dari warung ini.

“Orang orang belinya nggak pasti, satu kilo, dua kilo. Kalau ada orang beli agak banyak, saya terus tanya, ini untuk pribadi atau dijual lagi. Kalau dijual lagi, harganya saya kurangi atau bubuknya saya tambah. Ikut membantu mereka juga,” papar Muarip sembari menghisap rokoknya.

Pesan Mbah Kuwot

Mbah Kuwot, Mbah Abdul Basar, Katiman, dan Ibu dari Muarip meninggal dalam tahun-tahun yang berdekatan. Sekitar 1995 sampai 1996. Sebelum meninggal, Mbah Kuwot berpesan kepada Katiman supaya warungya ini nanti dia pakai untuk jualan, sama seperti yang dilakukan Mbah Kuwot.

Selanjutnya, karena Katiman tidak punya istri dan anak, peninggalan tersebut akhirnya dititipkan ke Muarip.

“Sama Pak Katiman, dapur tempat sampean minum kopi tadi diberi weweling untuk tiga orang. Saya, kakak, sama adik.”

“Ini tanah sedikit, jangan kamu jual, pakai saja buat jualan, seperti yang sudah-sudah,” ucap Muarip menirukan Katiman.

Syukur amanah tersebut bisa bertahan sampai sekarang. Sejak tahun 1994, Muarip dan dua saudaranya mulai bergantian melayani pelanggan hingga hari ini.

Reporter: Prima Ardiansah
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Warung Kopi Mak Waris Tempat Ngopi Para Petani yang Kini Jadi Legenda di Tulungagung dan liputan  menarik lainnya di Rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version