Kopi Rakyat: Menunya Kekinian Lokasinya di Pinggiran Sawah Pelosok Trenggalek

Kopi Rakyat: Menunya Kekinian Lokasinya di Pinggiran Sawah Pelosok Trenggalek

Kopi Rakyat, sebuah usaha yang dibangun oleh Reza di Desa Masalan, Trenggalek, Jawa Timur. Meski berada di pelosok desa dan pinggiran sawah, menu yang disajikan kekinian, nggak kalah sama menu coffe shop di Yogya yang secangkirnya bisa Rp 30 ribu.   

Nama lengkapnya Reza Faturachman (23), biasa dipanggil Pace. Pemilik Kopi Rakyat, street coffee dengan view hamparan sawah desa yang sekarang eksis betul di kampung saya, Desa Malasan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. 

Mas Pace mencoba berjualan mulai 4 Juli 2020, sekian bulan sejak kedatangannya dari Merauke pada 1 Januari 2020. “Tahun baru, lembaran baru, hahahahaha,” sambut Pace dengan tawa membahana. 

Gerobak yang bersatu dengan motornya ini dulu merupakan bekas usaha dari almarhum bapaknya. “Almarhum dulu cari rongsokan, gerobak ini nganggur di rumah. Aku modifikasi dan tambah-tambah. Yang ada di kepala aku taruh semua, termasuk tulisan itu. Ya norak sih sebenernya, ha..ha..ha…,” kelakar Pace dengan Bahasa Indonesia karena dia nggak lancar blas pakai Bahasa Jawa. 

Sebelum di sini, Pace juga buka kedai di Merauke. Tidak seperti Kopi Rakyat, kedai di sana sudah bertempat di gedung, karena merupakan usaha bersama lima orang temannya. Di kedai tersebut, Pace pegang dapur, dan dia sama sekali tidak pegang kopi. 

“Jadi betulan belajar kopi di sini, betulan mendalami banget dari nol. Di sana sekadar tahu dasar-dasar. Pas di Jawa, baru otodidak nonton YouTube tiap hari. Dan waktu itu saya belum ada kenalan, jadi saya bingung tanya siapa yang tahu kopi di sini,” ujar Pace. 

“Lantas kapan sampean punya niatan buka usaha kopi?” Saya coba menggali lebih dalam. 

“Dari dulu sebenarnya sudah kepikiran, bahkan saya tidak berpikir ke Jawa, cuma karena ada hal yang mengharuskan saya pulang, saya ke sini. Setelah itu, saya berpikir ingin cari kerja. Tetapi lihat gaji dan segala macamnya. Waduh. Mungkin karena nggak biasa ya, soalnya beda jauh dengan Merauke yang kira-kira sama dengan Surabaya. Sedangkan di sini 1,9 juta,” Pace menutupnya dengan “hahaha” lagi. 

Alasan utama Pace ke Jawa karena waktu itu ayahnya sedang sakit, ibunya pun sudah lama tidak ada. Sebenarnya, Pace memiliki kakak, tetapi kakanya sudah berkeluarga di Merauke sana. Sehingga hanya Pace saja yang relatif masih bebas. “Ya sudah pulang saja, jalan satu bulan tujuh hari, ayah meninggal.”

Inspirasi membuka kopi rakyat dan waktu terbaik untuk ngopi di sini

“Sebenarnya dapat inspirasi dari mana Mas? Sampean kepikiran buka warung kopi di depan sawah gini,” tanya saya sembari menyeruput es kopi susu aren yang sudah Pace buatkan sebelumnya. 

“Pada awal buka, saya belum pernah tahu ada street coffee di daerah Trenggalek Tulungagung. Kalau kita bicara di Jawa Timur, itu banyak sekali, apalagi Malang, dan Surabaya ya. Kalau di kota besar mereka biasa buka di depan gedung atau depan toko. Tetapi yang kayak begini belum ada,” Pace berhenti sejenak. 

“Di depan sawah maksudnya?” Todong saya dengan nada ngegas. 

“Salah satunya.” Ujar Pace. Perihal pemilihan tempat yang di depan sawah ini sebetulnya Pace juga tidak sengaja. Awalnya dia ingin berjualan di kabupaten sebelah, Tulungagung, yang orang-orang lebih ngerti kopi. Dia berpikir itu akan lebih mudah karena tidak susah untuk mengedukasi pelanggan. Ternyata ketika mau jalan, keterbatasannya lebih banyak, seperti motor bututnya yang tidak kuat berjalan jauh. 

Waktu itu pandemi sudah mulai longgar, dan kebetulan Pace sudah membeli alat-alat pembuat kopi. “Kalau nggak jalan, percuma kan. Habis banyak soalnya. Sudahlah buka di sini saja.”

Dengan pertimbangan dekat dengan rumah yang hanya berjarak sekitar 500 meter, dan kebetulan lagi waktu itu orang-orang sedang suka bersepeda di sekitar sana. “Ya sudah, buka di tempat ini. Ketidaksengajaan dan keterbatasan, eh malah jadi ciri khas.”

Warung kopi Pace juga berproses seperti warung kopi lainnya, nggak bisa langsung dapat pelanggan banyak. “Saya nemu orang yang jadi pelanggan tetap itu lama. Satu setengah bulan baru dapat. Satu bulan pertama itu suram. Kadang jual satu gelas per hari, kadang nggak laku,” Pace kembali tertawa keras-keras. Sesekali kata-kata Pace dibenarkan pelanggan lain yang kebetulan mendengarkan. 

Kira-kira satu bulan Pace hanya jual 48 gelas saja. “Sangat berdarah ya,” Pace lalu menyeruput gelas besi yang diisinya dengan air dingin. Agaknya tawa-tawa yang keluar dari mulutnya membuat tenggorokannya kering. 

“Jalan bulan selanjutnya, baru ketemu teman-teman. Waktu itu anak perkopian Trenggalek ada yang notice,” setelah itu, warung kopi Pace mulai tumbuh perlahan.

“Kalau di sini, ternyata orang lebih kena vibes chill-nya kalau saya bilang. Makanya saya bilang waktu terbaik ke sini adalah sore. Walaupun saat ini cuaca tidak baik. Tapi kadang pelanggan juga menumpuk dan rame. Jadi nggak terlalu chill.” 

Saya akui memang sore hari ketika golden hour ditemani pemandangan sawah yang aduhai sambil diterpa angin sepoi-sepoi dari selatan. Hilang sudah hati kecut gara-gara masalah kerjaan. 

Nekat memakai menu cafe kekinian di desa

“Justru itu, dari awal buka saya punya misi, kopi begini dengan nama macem-macem biasanya cuma ada di tempat besar-besar yang wah. Tempatnya kekinian lah kalau orang bilang. Itu yang pengen saya patahkan, bisa kok kopi kayak gini diminum dimana saja. Saya bawa namanya sesuai yang ada ke sini,” celoteh Pace menceritakan idealismenya. 

Pace ingin mengenalkan warga sini bahwa walaupun namanya “kopi”, variannya bisa macam-macam. Nah, karena nama varian kopi yang banyak itu, nantinya bakal muncul pertanyaan, disitulah muncul esensi kedai kopi berupa interaksi antara pelanggan dan penjual. “Jika pelanggan nggak tahu, dia tanya.” Ujar pace.

Menu kekinian Kopi Rakyat. Foto oleh Prima Ardiansah:Mojok.co
Menu dan harga di Kopi Rakyat. Foto oleh Prima Ardiansah:Mojok.co

 

Saya langsung bercermin, karena selama ini saya tidak pernah tanya mengenai menu-menu itu. Ya pokoknya namanya keliatan keren, saya coba. Eh, ternyata itu menyalahi esensi kedai kopi. 

“Maklum, kadang orang malu tanya. Pelanggan kadang tahunya menu paling atas paling enak.” Suatu hari pernah ada orang yang kaget dengan rasa kopi yang dia pesan, dia pun balik tanya ke Pace. “Kok begini Mas rasanya,” Pace coba memperagakan. 

Setelah itu Pace menjelaskan panjang lebar sekaligus memberi pesan: “Kalau Mas belum tahu, mending Mas tanya. Justru itu tugas saya ngasih tahu. Supaya nggak salah.”

Sebenarnya kejadian seperti itu banyak terjadi di tempat besar. Biasanya orang datang pesan espresso yang satu sloki isi 30 mili. “Karena namanya umum kan, orang pikir itu kopi yang bagaimana. Ternyata setelah diminum, itu betulan nendang,” ucap Pace. 

Saya ingat bahwa dulu pernah ada iklan permen kopi espresso yang rasanya manis, sehingga sebetulnya wajar kalau ada orang yang berpikir bahwa espresso itu rasanya manis. 

“Mungkin mikirnya gitu,” respon Pace mengiyakan. 

Sesekali ada pelanggan yang pesan kopi tubruk. Pace pun dengan sigap langsung bertanya ke pelanggan tersebut apakah dia mau pakai gula atau enggak. Walaupun Pace lebih suka tanpa gula supaya rasa kopinya kelihatan. Tetapi, kebanyakan masyarakat di sini masih belum bisa menerima rasa kopi yang demikian.

“Saya coba menjaga first impression mereka supaya nggak kaget ketika minum kopi dengan nama asing. Setidaknya sebisa mungkin orang mengerti dulu baru minum.” Pace berusaha supaya tidak ada pelanggan yang kaget dan bilang kopi varian rasa tertentu rasanya nggak enak.

Hal itu bakal bikin kasian teman-teman lain yang bergerak di bidang kopi. Pelanggannya mikir aneh-aneh, padahal bisa jadi pelanggannya sendiri yang salah. “Tapi kita kan nggak bisa menyalahkan pelanggan,” ucap Pace dengan logat ketimuran diikuti kumandang tawa yang menggelegar. 

Awal buka, Pace pernah pasang menu americano dan mocktail. Namun karena pertimbangan kapasitas gerobak dan bahan, Pace menghilangkannya. Sekarang pun jika terpikir menu baru, Pace masih perlu banyak pertimbangan untuk merealisasikannya.

Menjadi inspirasi teman-teman lainnya buka coffee street

“Namanya Kopi Rakyat, dulu malah pengen kasih nama Kopi Rakyat Jelata. Tapi kasihan yang beli kalau dikatain rakyat jelata. Ya sudah pakai nama Kopi Rakyat yang ternyata sesuai visi. Merakyatkan kopi,” ujar Pace dengan logat ketimuran lagi.

Hingga hari ini, sudah ada beberapa teman yang sharing, kadang Pace di-direct message lewat Instagram. Tetapi karena Pace juga bukan orang yang sudah lama di kopi dan relatif masih belajar, kadang Pace juga bingung menjawabnya. “Jadi saya kasih tahu seadanya.” Ujar Pace. 

Sekarang, di Trenggalek mungkin ada empat atau lima, bulan September ini ada tiga yang  buka. “Konsep coffee street ya yang saya bilang, kalau di dekat sawah, mungkin masih satu di desa sebelah. Yang tempatnya asik lagi, ada di Kecamatan Bendungan, Trenggalek sana. Bagus, view-nya pegunungan,” ucap Pace.

“Ce, jujur, modal habis berapa?” Todong saya penasaran. 

“Kalau saya pribadi, sekitar 4 atau 5 juta rupiah. Sebisa mungkin jadi dengan modal seminimal mungkin.“ Pace juga cukup terbantu dengan gerobak dari almarhum ayahnya. Jika dari nol, biayanya jelas bisa lebih. Pace juga menceritakan bahwa alat-alat pengolah kopinya juga seadanya, tetapi seiring berjalannya waktu, Pace juga meng-upgrade-nya sesuai kebutuhan.

Perihal segmentasi pasar, selama ini yang datang mayoritas adalah laki-laki, baik SMA, mahasiswa, maupun pekerja. Untuk perempuan, Pace mengatakan jika yang murni datang tanpa ditemani pacarnya, mungkin baru lima bulan ke belakang.

”Karena tempatnya terbatas. Kadang cewek juga gengsi duduk di tempat seperti ini, seringnya take away. Kadang juga ada cewek yang DM saya terus bilang mau ke sini tapi malu. Beda sama laki-laki yang bisa duduk dimana-mana,” ujar Pace terkekeh. Saya kemudian mencoba menenangkan hati Pace, dengan menceritakan pengalaman ngopi di salah satu kedai kopi di Surabaya, yang pelanggan ceweknya juga tetap mau duduk lesehan di Trotoar. 

Membangun usaha itu pelan-pelan, diawali dengan menjadi pegawai ternyata juga banyak manfaatnya

“Ada pesan buat anak muda yang terlalu banyak mikir kerja dan malas-malasan, Ce?”

“Makanya jadi anak orang kaya,” nada Pace meninggi diikuti gelak tawa. Saya pun ikut terkekeh. 

“Justru kalau saya ya, saya bersyukur dulu bisa kerja di orang. Dapat ilmu di situ kalau saya bilang. Saya pernah di advertising, pernah di hotel, pernah di foto copy juga. Malah saya sempat bertahan dulu karena online shop, dengan jualan kaos, jaket, tas, sampai aksesoris HP,” ujar Pace santai menceritakan pengalamannya di Merauke.   

“Masih muda itu kekuatan masih banyak, kapasitas otak buat mikir juga masih banyak. Kerja di orang dan kalau masih mampu coba cari sambilan. Karena itu bisa mempengaruhi pemikiran kita,” Pace masih bersemangat bercerita.   

Tempat kerja Pace yang menurutnya banyak memberikan pengaruh adalah pengalaman kerjanya di hotel. Utamanya tentang servis ke pelanggan. “Sesuai dengan yang saya lakukan sekarang.” 

Benar juga, saya dari awal berpikir bahwa Pace bisa memberikan pelayanan yang hangat itu bukan serta merta dari belajar sendiri. Caranya yang bersahabat dan paham bagaimana melayani pelanggan, memang membuktikan bahwa itu adalah sesuatu yang dilatih. 

“Sekarang, saya baru bisa nabung gara-gara Kopi Rakyat ini. Kalau kerja yang dulu, dapat 300 ribu, itu habis semua, tidak ada balik modal,” tutup Pace dengan terkekeh pula.

Banyak orang terlalu berekspektasi ketika jalanin usaha. Kadang ada sesuatu rame, dia ikutan buka. “Cuma dia bertanggung jawab nggak dengan apa yang dia mulai. Orang itu kadang semena-mena. Padahal usaha itu bukan cuma soal punya duit banyak. Banyak yang saya lihat, mereka punya 300 juta sampai 1 M, kukut dalam dua bulan. Makanya, pelajari dulu ilmunya baru berani buka.” 

 

Pace meracik pesanan ditemani angin sepoi-sepoi dari sawah. Foto oleh Prima Ardiansah/Mojok.co

 

“Situasi pandemi seperti ini telah membuktikan bahwa orang yang betul punya ilmu akan bertahan.” Pesan Pace, dalam. 

Pace secara pribadi begitu menghindari investor. Kesannya gara-gara mereka punya duit, mereka menuntut tiap bulan dia dapat hasil. “Memang ada yang datang ke sini kayak gitu?” Tanya saya penasaran, sembari menyeruput es kopi susu aren lagi. 

“Ya enggak banyak, cuma tiga atau empat orang saja sih. Sampai ada yang mau kasih bangunan, ada juga mau kasih kendaraan. Cuman karena pengalaman saya dulu di Merauke, sesuatu yang joinan, nggak selalu berjalan mulus. Maksud saya, untuk sesuatu yang sensitif seperti uang, mending saya hindari. Soalnya malas ribut,” kali ini muka Pace terlihat serius.  

“Soalnya masih harus menyamakan pikiran segala macem saya bilang. Itu yang kadang saya nggak bisa terima, soalnya saya egois,” kali ini Pace tertawa. 

Dulu pernah ada orang yang mau ngasih modal. Pace tanya langsung apa dia mau bangkrut, karena membangun usaha menurut Pace adalah sebuah pertaruhan. Misal ada dua orang, kemudian salah satunya nggak serius, pihak yang serius kadang nggak enak juga.

“Konflik banyak di situ nanti. Walaupun teman dekat, kadang otak nggak sama. Mending saya sendiri walaupun lambat. Pun, saya berprinsip sebisa mungkin nggak punya musuh ketika merantau ke Jawa.” 

Jika ada rezeki, Pace kedepannya berencana membangun satu tempat tetap. Sekarang dia masih menikmati perkembangan Kopi Rakyat-nya. 

Pace masih berusaha fokus dengan segmentasi pasarnya. “Saya pengen orang biasa saja yang datang, kadang malah takut kalau yang datang malah ngerti kopi. Soalnya alat saya seadanya, cara menyeduhnya kadang juga salah,” Pace berkelakar jujur dengan tawa khasnya yang mengekor di akhir kalimatnya.

Jadi, apa kamu masih banyak alasan buat bikin usaha sesuai kemampuan? Saya sih, masih banyak, hehehe.

BACA JUGA Pusingnya Ngurus Hasoe Angels, Penyanyi Dangdut Asuhan Hasoe SE dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version