Alun-alun Utara vs Alun-alun Selatan, Warga Jogja Ungkap Mana yang Lebih Berkesan Sebelum Perubahan Terjadi

Ilustrasi Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan Jogja (Ega Fansuri/Mojok.co)

Dulu warga Jogja punya dua ruang terbuka yang jadi andalan untuk berkumpul yakni Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Keduanya punya cerita meski saat ini tinggal satu yang bisa diakses warga. Pada masanya, mana yang lebih nyaman untuk bercengkerama?

***

Alun-alun Selatan Jogja sekarang jadi tempat yang tak pernah surut dari keramaian setiap sore dan malam. Di saat akhir pekan, anak muda hingga orang tua memadati tanah lapang sampai nyaris tak ada ruang tersisa.

Dulu, mereka punya dua pilihan. Namun, saat ini Alun-alun Utara sudah dikelilingi pagar besi. Warga dan wisatawan hanya bisa menikmati suasana tanpa menginjakkan kaki di tanah lapangnya.

Kedua landmark ini sama-sama dibangun di era Sri Sultan Hamengkubuwono I. Keduanya terintegrasi dalam satu garis imajiner yang terkenal dengan sebutan Sumbu Filosofi.

Ada beberapa perbedaan dari kedua tempat ini. Alun-alun Utara lebih luas. Secara fungsi dan budaya juga ada beberapa hal yang berbeda. Di utara misalnya, pada masa lalu ada menjadi tempat topo pepe atau cara warga Jogja menyampaikan aspirasi kepada Rajanya.

Alun-alun Utara lebih strategis karena berada di halaman depan Keraton Yogyakarta. Andi Wicaksono (24) seorang pekerja Jogja yang saya temui saat sedang menikmati es teh di sebuah angkringan sebelah Alun-alun Selatan juga membenarkannya.

Meski kami berjumpa di selatan, baginya, Alun-alun Utara lebih berkesan karena lokasinya yang berdekatan dengan beberapa titik penting lain seperti Masjid Gedhe, Titik Nol Kilometer, hingga bangunan Keraton Yogyakarta itu sendiri.

“Kalau ngomongin lokasi, lebih strategis di utara. Sekarang pun ya masih bisa dinikmati walaupun dari pinggirnya saja,” ujarnya saat saya jumpai Rabu (20/9/2023).

Alun-alun Utara pernah jadi tempat yang begitu hidup

Andi berujar, meski saat ini sudah tertutupi pagar, kawasan sekitar Alun-alun Utara masih jadi tempat yang menyenangkan untuk bercengkerama karena keberadaan warung di sekitarnya. Ia sepakat dengan keputusan untuk memagari demi menjaga kelestarian budaya.

Kendati begitu, ada banyak warga yang juga mengaku kehilangan ruang penuh kebahagiaan di masa lampau. Beberapa waktu sebelumnya saya sempat berbincang dengan Kartilah (58), warga asal Sidokarto, Godean, Sleman punya banyak kenangan di lokasi tersebut.

alun-alun utara mojok.co
Pagar sisi utara Alun-alun Utara (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ia masih ingat betul dulu saat masa remaja ia rela jalan dari rumahnya ke Alun-alun Utara yang jaraknya sekitar 10 km untuk mendatangi perayaan tahunan tersebut. Sebelum terpagari, lokasi itu pernah menjadi tempat acara tahunan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS).

“Jalan ramai-ramai sama teman di desa. Setiap tahun itu hal yang tidak boleh terlewatkan pokoknya, Mas,” ujarnya.

Saat beranjak dewasa, Kartilah akhirnya mencari nafkah dengan berdagang di sekitar kawasan tersebut. Ia mulai berjualan makanan sejak tahun 1995 dan masih berlanjut hingga sekarang. Sebagai pedagang, ia senang karena bisa melihat sekaligus mendapat manfaat puluhan edisi Sekaten. Hingga akhirnya perayaan itu benar-benar hilang.

“Setelah hilang, benar-benar berbeda. Apalagi sekarang dipagari, dagangan jadi sepi,” curhatnya.

Baca halaman selanjutnya: kenangan masa kecil yang sulit terlupa

Kenangan masa kecil yang sulit terlupa

Toni Setiawan (49), warga yang sempat saya temui di sudut Alun-alun Utara juga mengutarakan hal serupa. Ia mengenang jauh ke era 80-an saat masih anak-anak dan banyak beraktivitas di sekitar Keraton Yogyakarta saat akhir pekan.

Di masa itu, area yang di tengahnya berdiri kokoh dua beringin besar yang bernama Kiai Dewadaru dan Kiau Janadaru  ini penuh dengan orang-orang bercengkerama. Banyak keluarga yang mengajak anaknya untuk menghabiskan waktu dengan hiburan sederhana. Menggelar tikar dan membeli jajan dari pedagang asongan.

“Dulu banyak bener yang menggelar tikar. Penjualnya macem-macem di dalam. Kalau malam, sukanya beli ronde diminum sambil duduk-duduk di atas rumput,” ujarnya.

Selanjutnya, saya berbincang juga dengan Ahimsa Wardah (24), perempuan asli Kadipaten Kulon, Jogja yang punya banyak kenangan di dua tempat tersebut. Rumahnya sama dekatnya dengan Alun-alun Utara maupun Alun-alun Selatan.

Namun, ia lebih punya banyak ingatan tentang kawasan yang kini sudah tertutup pagar. Dulu, sejak SD dan SMP, sekolahnya selalu menggelar kegiatan olahraga di tempat tersebut.

“Mungkin karena sekolah di sekitar Keraton itu lahannya kecil nggak punya lapangan jadi olahraganya di Altar,” kenangnya tertawa.

Di tempat itu ia juga biasa bersepeda saat hendak berangkat sekolah. Melintasi jalan yang membelah tanah lapang alun-alun sembari menikmati semilir angin.

“Ini mungkin agak lebai. Tapi aku dulu bersepeda sambil nyanyi dan membayangkan seakan lagi shooting video klip musik,” kelakarnya.

Di atas hamparan rumput yang menguning, saat bulan Ramadan, anak-anak dari kampung sekitar juga kerap bermain petasan selepas subuh. Bukan hanya anak laki-laki, perempuan kecil seperti Ahimsa belasan tahun lalu juga ikut merasakan kesenangan.

“Rasanya seperti baru kemarin. Sekarang sudah nggak bisa lagi,” ujarnya.

Tentang bercengkerama bersama keluarga di Alun-Alun Selatan

Pengalaman berjalan kaki dan membelah tanah lapang Alun-Alun utara untuk membeli susu murni pada pagi hari di sisi timurnya juga jadi hal yang sudah tidak bisa ia rasakan lagi. Sekarang, ia harus berputar, mengelilingi trotoar pinggir jalan raya.

Kini di tanah itu juga tak lagi tertutupi rumput menguning. Melainkan hamparan pasir. Wujud yang konon merupakan bentuk awal tempat tersebut.

Suasana Alun-alun Selatan Jogja di siang hari (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Alun-alun Utara dulu identik dengan keramaian bahkan hajatan besar. Sekaten, konser, bahkan sekadar sekumpulan anak kecil yang bermain petasan. Sekarang keramaian itu pindah ke selatan meski buat sebagian orang, lokasinya yang lebih kecil dan terkelilingi benteng membuat suasana lebih intim dan hangat.

Ahimsa berujar, Alun-alun Selatan cenderung mengisi memori soal kehangatan bersama keluarga. Pagi hari di akhir pekan berkunjung dengan tujuan memakan opor di salah satu lapak pedagang.

“Di sana lokasinya lebih kecil. Suasananya adem, intim, dan bersahabat aja tempatnya gitu,” kenangnya.

Selain itu, ada beberapa fasilitas olahraga yang tersedia di pinggiran Alun-alun Selatan. Hal itu membuat banyak orang memanfaatkannya saat pagi dan sore hari. Saat ini Alun-Alun Selatan jadi tempat pilihan untuk lari pagi hingga joging.

“Dulu fasilitasnya masih bagus. Nggak tahu sekarang, mungkin sudah rusak. Tapi paling enak joging di selatan karena putarannya lebih pendek,” ujarnya tertawa.

Mungkin saat ini frekuensi Ahimsa menikmati dua lokasi itu sudah tak sesering dulu. Namun, baginya Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan tetaplah menjadi tempat kenangan bersemai. Barangkali, sebagian hanya bisa dikenang tanpa diulang karena adanya sejumlah perubahan.

Penulis : Hammam Izzuddin

Editor   : Agung Purwandono

BACA JUGA Nestapa Tukang Becak di Sumbu Filosofi Jogja, Bertahan Hidup Tanpa Penumpang Berhari-hari

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version