Kedelai lokal kian terpinggirkan. Secara kualitas lebih bagus dibandingkan kedelai impor yang sebagian besar adalah kedelai transgenik atau GMO yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika. Di Indonesia ada pihak yang menginginkan impor kedelai semakin besar.
Dr Atris Suyanto Hadi memasukan tangannya ke karung-karung kedelai di depannya. Di tangannya ada bulir-bulir kedelai jenis Grobogan. “Siapa bilang kedelai impor lebih besar dari kedelai lokal, ini salah satunya. Lebih besar,” kata Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada saat dijumpai Mojok.co, di Gudang Sistem Resi Gudang, Bantu, Jumat (28/1/2021).
Atris meyakinkan saat ini, benih-benih kedelai lokal mampu menghasilkan kedelai yang lebih besar dari kedelai impor. Setiap 100 butir, berat kedelai impor antara 14-17 gram, sedang kedelai lokal bisa 17-18 gram. “Benih kedelai kita sekarang nggak kalah sama yang impor. Tiap daerah biasanya punya benih unggulan,” katanya.
Soal benih ini menjadi hal penting untuk mengangkat martabat kedelai lokal yang selama ini justru terpinggirkan. Asri (60) pembuat dan penjual tempe di pasar Bibis, Godean Sleman mengatakan ia membeli kedelai impor karena bentuknya besar-besar. Harganya juga relatif lebih murah. Mendapatkannya juga mudah, ia tinggal datang ke kios di pasar tempat ia jualan tempe.
Atris mengatakan, meski harga kedelai impor relatif murah, ada hal lain yang harus konsumen perhatikan ketika membeli tempe atau kedelai dari kedelai impor. “Sebagian besar kedelai impor yang beredar di Indonesia, terutama Amerika Serikat (AS) adalah hasil dari rekayasa genetika atau GMO,” katanya.
Atris yang secara khusus mendalami kedelai menceritakan, di AS ada dua jenis kedelai yang dibudidayakan. Pertama kedelai yang dibudidayakan dengan cara yang biasa. Kedua, jenis kedelai yang ditanam dengan rekayasa genetika atau transgenik. Jika kedelai pertama harganya setiap kilogram mencapai Rp 14.000 maka kedelai yang kedua harganya Rp 7.000. Dua kali lipat lebih murah.
Kedelai transgenik itu ditanam dalam skala yang sangat besar, secara genetika membuat gulma-gulma tidak bisa tumbuh di sekelilingnya. Tidak ada penyiangan atau perawatan seperti kedelai biasa.
Memang tahan terhadap hama, tapi mengubah ekosistem lingkungan serta genetika tanaman. “Memberikan dampak kesehatan dan lingkungan. Salah satu tujuannya AS membuat kedelai ini untuk memenuhi kecukupan pakan ternak,” kata Atris.
Baca Juga: Perajin Tempe Bermental Baja di Tengah Problem Produksi Pelik
Salah satu pasar terbesar kedelai transgenik Amerika adalah China yang mencapai 150 juta ton pertahun yang diperuntukan bagi industri peternakan babi disana. Di saat pandemi kebutuhan pakan ternak meningkat hampir dua kali lipat mencapai 280 iuta ton. “Salah satu alasan langkanya kedelai di Indonesia karena Amerika mengalihkan sebagian kuota impornya ke China,” kata Atris.
Yang cukup ironis menurut Atris adalah meski mengimpor kedelai dari Amerika, Indonesia juga melakukan ekspor kedelai lokal ke Amerika. Nilai ekspor kedelai lokal yang diekspor ke Amerika pada tahun 2019 sebesar 22 juta dollar Amerika, sedang nilai impor kedelai Amerika ke Indonesia mencapai 2,794 millar dollar Amerika. “Artinya kualitas kedelai lokal kita tidak kalah dengan AS sebenarnya,” kata Atris.
Indonesia sendiri sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Sepanjang semester I/2020, impor mencapai 1,27 ton atau senilai US $ 510,2 juta (sekitar Rp 7,52 triliun). Dari jumlah tersebut impor kedelai dari Amerika Serikat mencapai 1,14 juta ton.
Tahun 2019, produksi kedelai lokal di Indonesia mencapai sekitar 440 ribu ton. Di tahun 2020, jumlahnya menyusut. Diperkirakan hanya sekitar 280 ribu ton.
Saat ini tantangan yang dihadapi dalam tata niaga kedelai di Indonesia adalah animo petani untuk menanam kedelai. Harga jualnya tidak sebanding dengan biaya produksi. Tidak semenarik harga komoditi pertanian lain yang mereka tanam.
Di Indonesia, rata-rata petani menanam kedelai secara bergantian di lahan yang sama dengan komoditi lain seperti jagung dan padi. “Jika tidak menjanjikan, maka petani akan beralih ke komoditi yang lain, tidak lagi menanam kedelai,” ujar Atris.
Tata niaga kedelai di Indonesia masih kacau karena menurut Atris, ada pihak-pihak yang lebih senang memperbanyak impor kedelai daripada budidaya kedelai lokal di Indonesia.
Hal ini bisa dilihat setiap panen raya kedelai lokal, harga kedelai impor kemudian turun drastis. Kondisi tersebut memang sudah sesuai dengan mekanisme pasar, ada barang ada harga. Namun, dengan kondisi yang berulang seperti itu terus, maka petani kedelai di Indonesia enggan menanam kedelai karena tidak ada nilai ekonominya.
“Kemudian apa yang terjadi? Impor semakin besar, orang-orang yang melakukan impor kedelai semakin diuntungkan. Petani tidak lagi akan menanam kedelai, perajin tahu dan tempe akan terus menggunakan kedelai impor yang transgenik”, kata Atris.
Hari-hari biasa harga kedelai impor antara Rp 7.200 – 7.400 per kg, saat musim panen raya kedelai lokal, justru turun ke angka Rp 6.500. Kondisi tersebut membuat kedelai lokal dihargai lebih murah dari angka tersebut. Di Januari 2021, harga kedelai impor di kisaran Rp 9.700 per kilogram.
Jika kondisi tersebut tetap bertahan hingga musim panen kedelai lokal yng diperkirakan sekitar bulan Juni maka petani bisa diuntungkan. “Musim tanam kedelai lokal sudah ada yang mulai Februari ini, jika kondisi ini tetap bertahan, petani kedelai lokal diuntungkan,” katanya.
Baca Juga : Turunkan Harga Tempe Tahu atau Rezim Ini Tumbang!
Atris memperkirakan, kalaupun nanti kedelai impor datang, harganya dari sana sudah tinggi, sehingga harapannya tidak kurang dari harga pokok acuan dari pemerintah yang sebesar Rp 8.500. “Kecuali kalau panenan kedelai di Amerika melimpah, dan bisa memenuhi permintaan seperti China dan Indonesia, tapi saya optimis musim panen kedelai tahun ini petani di Indonesia akan diuntungkan dari sisi harga,” kata Atris.
Slamet Raharjo (51) petani sekaligus pengepul Kedelai, di Burikan, Tawas Klaten mengatakan hal yang selalu menjadi persoalan bagi petani kedelai selama ini adalah pascapanen. “Harga kedelai lokal itu pasti anjlok. Sekarang semakin sedikit petani yang mau menanam kedelai, mereka memilih menanam kacang ijo atau jagung, yang harganya lebih stabil,” kata Slamet.
Kondisi tersebut ironis karena pemerintah selalu mengharapkan petani menanam kedelai agar bisa mandiri kedelai, tidak bergantung impor. Nyatanya setiap musim panen kedelai, kejadian tersebut berulang. “Petani tidak dapat subsidi nggak papa, tapi harganya jangan dipermainkan,” katanya.
Sebagai petani sekaligus pengepul, Slamet merasakan tiap tahun, petani yang menanam kedelai semakin turun. Besar harapannya harga kedelai akan naik seiring kelangkaan kedelai impor. Saat ini sendiri petani belum memasuki tanam kedelai, baru di bulan Mei-Juni mereka menanam.
“Ada informasi, petani akan dapat bantuan benih kedelai, kemudian aka dibeli oleh Kopti sekilonya Rp 8.500 asal kadar airnya sesuai kriteria. Harga segitu petani tidak rugi. Tapi jangan sampai seperti yang sudah-sudah, harga kedelai lokal jatuh,” paparnya. (*)
Baca juga liputan tentang kedelai :Tempe Tak Cuma dari Kedelai
[Sassy_Social_Share]