Kata @mafiawasit Mengapa Sepak Bola Indonesia Gitu-gitu Aja

Seleksi pemain salah satu SSB di Yogya. Foto oleh Puguh Yuswantoro.

Kalau ada akun media sosial yang membahas sepak bola Indonesia, dibenci sekaligus disayang, bisa jadi akun Twitter @mafiawasit adalah salah satunya. Mojok berbincang dengan akun yang kerap dilaporkan ke polisi dan mengalami ancaman karena ocehannya. 

***

Membahas sepak bola, apalagi sepak bola Indonesia, kadang butuh kopi bergalon-galon karena nggak bakal selesai hanya dalam satu dudukan saja. Meminjam kata-kata sakti Yamadipati Seno dalam bukunya Ahimsa: Surat Protes untuk Sepak Bola Indonesia; Hanya demi harga diri kosong, kita memilih menyakiti. Glorifikasi rival menjadi bumbu yang tak sedap.

Wes, uwes, kita sudahi pembahasan serius. Kita kembalikan sepak bola sebagaimana fitrahnya, yakni menyenangkan. Sama halnya dengan liputan sepak bola kali ini, semoga saya bisa membawakan secara menyenangkan. Harapannya sih begitu tapi,  entah gimik atau apa, akun bernama @MafiaWasit emang kelewat menyebalkan dalam tiap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lemparkan.

“Kalau mau nanya ya nanya, nggak usah kayak cewek kalau lagi ada maunya. Jingaaan,” kata @MafiaWasit menjawab permintaan wawancara saya melalui DM Twitter.

Dari mulai lahirnya @MafiaWasit, diserang basis massa, sampai dilaporkan ke polisi

“Lu punya Twitter sejak kapan, sih?” jawaban itu membuat saya kaget setengah modyar. Saya pikir, Mbah Wasit tersinggung dengan pertanyaan saya. Setelah saya muhasabah dan kontemplasi sejenak, ternyata memang begitulah gaya bahasanya. Sepertinya, saya harus membiasakan diri dengan jawaban atos akun yang juga akrab dengan panggilan Mbah Wasit.

Sebelumnya saya bertanya, apakah pernah Mbah Wasit dilaporkan ke polisi karena cuitannya yang cukup ofensif. Setelah jawaban yang bikin saya mak jegagik dari Mbah Wasit itu muncul di layar ponsel, jawaban lainnya pun mulai berdatangan. “Gua sering dilaporin ke polisi. DM apalagi lebih banyak,” kata Mbah Wasit.

Bahkan, ketika @MafiaWasit sekadar tes live di Instagram, dalam waktu sebentar saja banyak yang menyambangi tempat di mana ia live. Mbah Wasit dan ketersinggungan, sejatinya memang nggak bisa dilepaskan. Bahkan pernah pada 2017, dilansir dari Tempo, @MafiaWasit dianggap telah melecehkan klub Pusamania Borneo FC yang menjadi kebanggaan warga Samarinda, Kalimantan Timur, tersebut. Head Media Officer PBFC saat itu, Abe Hedly menilai @MafiaWasit melanggar aturan hukum, khususnya pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Akun @MafiaWasit memang dibuat ketika bara api sepak bola Indonesia sedang meletup-letup. Lebih jelasnya, akun ini dibuat pada 2014 di Studio Mata Najwa Metro TV saat bahas mafia bola. “Saat itu banyak SUporter atau pecinta bola yang belum tahu mengenai apa itu regulasi, Exco PSSI, tugasnya, dan lainnya,” jelas Mbah Wasit.

Lantas akun ini dibuat untuk berbagi informasi mengenai hal-hal yang kurang akrab di telinga suporter Indonesia, agar memahami kasus pengaturan skor yang marak saat itu dengan lebih baik. “Bahkan sampai sekarang nggak ada tujuan lain (dibuatnya akun @MafiaWasit, red),” katanya.

Suporter menyaksikan fun football yang digelar di sebuah lapangan di Wonosobo belum lama ini. Foto oleh Puguh Yuswantoro/Mojok.co

Mbah Wasit juga mengatakan bahwa dibuatnya akun ini berimbas positif, salah satunya adalah tingkat literasi suporter Indonesia dan terjadi diskusi yang berlangsung dua arah. “Mayan, lah. Dari orang yang nggak tahu, sekarang dah ngerti apa statuta, PSSI ada berapa, tugas dan tanggung jawabnya apa,” tutur Mbah Wasit.

Cara mengedukasi ala Mbah Wasit, saya katakan cukup nyeleneh dan Mbah Wasit pun menyetujui. “Untuk mendapatkan perhatian, kadang guru harus bentak. Atau kita menyatu dengan apa yang diSUkai, sambil sesekali menyelipkan edukasi,” katanya.

Dari mulai cara menyampaikan yang cenderung memancing emosi, saya penasaran satu hal, “Kalau ada fanbase—bahkan hingga klub—ada yang tersinggung, pernah ada nggak ‘ikan kakap’ sepak bola Indonesia yang ikutan tersinggung?”

Dengan lugas, Mbah Wasit berkata, “Skip.”

Antara @MafiaWasit, sepak bola Indonesia, dan Italia

Akun yang enggan dibilang adminnya tua ini memang entah dari mana paham seluk-beluk sepak bola sampai ke kulit-kulitnya. Dari yang klasik semisal RANS Cilegon FC itu kepanjangan dari Raffi Ahmad Nagita Slavina Cilegon Football Club (sumpah, saya baru tahu kalau RANS itu singkatan dari nama kedua pasangan selebritas tersebut) sampai fakta yang bermuara kepada kesalahan-kesalahan federasi.

“Mbah Wasit, mbok ya jelasin sejak kapan suka sama sepakbola,” begitu DM saya. Hanya berselang tiga menit, entah karena gabut nggak ada kerjaan atau memang antusias menjawab, @MafiaWasit berkata bahwa ia suka sepak bola sejak zaman Baggio mentas di Piala Dunia Amerika Serikat tahun 1994.

“Walau saat itu nontonnya yang pagi-pagi karena anak-anak kan nggak boleh begadang!” begitu jawabnya, seakan mencoba memberi tahu saya bahwa umurnya ini sebenarnya masih muda. Saya pun hanya manthuk-manthuk, walau di balik DM Twitter tersebut, saya kemekelen ra mandek-mandek.

Kelucuan @MafiaWasit nyatanya nggak hanya sampai sana. Dengan menarik napas dalam, jemari yang terus beradu dengan ponsel, saya memberanikan diri untuk bertanya, “Lha kalau mulai suka sama sepak bola kita, kapan, Mbah?” begitu pertanyaan dari saya. Sangat sopan, kan?

Ndilalah, @MafiaWasit justru balik bertanya, singkat sekali. “Sepak bola kita?”

“Eh, maksudnya sepak bola saya. Sepak bola Indonesia.”

“Nah,” jawabnya. Kata @MafiaWasit, “Kalau bola Indonesia, pertama kenal sejak jaman berdirinya RANS CFC dan AHHA PS Pati,” jawabnya. Lanjutnya, ia kenal karena biar dapat giveaway klub milik dua YouTuber di Instagram mereka.

“Asuuuuuu,” jawab saya spontan di kolom DM kami. Duh, Gusti, mimpi apa saya dapat narasumber begini. Traumatis barangkali kata yang tepat. Lha piye, lha wong RANS CFC dan AHHA PS Pati itu baru terbentuk di tahun 2021, jhe. 

Namun tenang, setelah saya gocek kanan-kiri macak jadi Najwa Shihab, akhirnya ia keceplosan menjawab, “Baru ngerti sejak era RANS CFC, jadi nggak tahu tuh era jaya-jayanya Tugiyo dengan julukan Maradona-nya Purwodadi.”

Sedang Tugiyo adalah salah satu pahlawan PSIS menjadi juara Liga Indonesia 1999/2000. Tugiyo mecetak satu-satunya gol saat itu. Ia membawa PSIS menang 1-0 atas Persebaya di partai final di Stadion Klabat Manado, 9 April 1999. Dan @MafiaWasit tahu Maradona dari Purwodadi. Mungkin, saya memang harus menghargai bahwa @MafiaWasit nggak mau dianggap tua oleh lawan bicaranya.

Dengan kembali menghela napas, saya melayangkan pertanyaan lagi, “Kenapa Baggio? Kenapa Liga Italia?”

Kali ini jawaban @MafiaWasit serius. “Karena komentator Liga Italia dari ’89-2002, kan, selalu mendidik, tuh.” Ia menambahkan bahwa komentator Liga Italia, dari era ke era, selalu membawa muatan ilmu bahwa mereka memperkenalkan istilah-istilah sepak bola dengan baik dan benar.

“Dari counter attack sampai bahasa-bahasa Italia (disampaikan dan mendapatkan pelajaran baru) ke pemirsa,” katanya. Bisa jadi, itu adalah sebuah satir kepada kualitas komentator di negeri ini yang mengutamakan gimmick istilah-istilah nir makna ketimbang edukasi kepada pemirsa. Ealah, urip pancen kakehan atraksi, bahkan sampai ke ranah komentator sepak bola dalam negeri.

Saya bertanya dengan mengikuti gaya @MafiaWasit, yakni nyelelek. Pertanyaan saya begini, “Sejarah perkembangan sepak bola Italia dan Indonesia itu sebelas dua belas, lah. Setuju?” Mak jegagik, jawaban @MafiaWasit membuat saya kebingungan. Ia bilang, setuju bahwa sejarah perkembangan sepak bola Indonesia dan Italia itu hampir sama.

“Saat gua ke Italia kemarin, bahkan sistem tradisionalnya juga hampir sama,” begitu jawabannya. @MafiaWasit melanjutkan bahwa pengelolaan kedua negara ini sama, yakni bergantung kepada owner atau politikus. “Bedanya, di sana (katakanlah) Asprov atau Askot (asosiasi provinsi atau kota, bagian dari federasi, red) benar-benar mengelola.”

Lebih jauh, Mbah Wasit menjelaskan bahwa sejenis Asprov atau Askot di Italia benar-benar mengelola kompetisi atau menjadi operator untuk kompetisi amatir, yaitu dari SSB. “Bahkan antar-perusahaan atau sekarang yang dikenal dengan fun football,” tambahnya.

Bahagia FC, klub sepakbola yang sebagian pemainnya mantan pesepakbola profesional di Yogya. Mereka kerap melakukan pertandingan fun football. Foto oleh Puguh Yuswantoro/Mojok.co.

“Setelah itu, Asprov tadi akan membentuk semacam Timnas (tim PON lah kalau di Indonesia, red),” kata Mbah Wasit, terus mengetik di kolom DM kami. Timnas tadi, seperti apa yang dijelaskan Mbah Wasit, nanti akan ikut ke festival atau turnamen resmi antarklub Italia pengelompokan usia, yakni 16, 17, 18 sampai 23 tahun.

“Bahkan banyak juga, tuh, turnamen yang diadakan Gereja, misalnya Karol Wojtyla Cup,” tambah Mbah Wasit. Menurut keterangan, turnamen ini, jumlah penontonnya, 50-80% adalah talent scout klub-klub tradisional Italia, atau bahkan Eropa. Mbah Wasit juga menyebutkan bahwa ada juga Viareggio Cup yang jumlah pesertanya lebih banyak, dibuka pula untuk klub non-Italia.

Di balik ponsel, sembari membaca bacotan Mbah Wasit yang cukup lantang di lini massa Twitter, saya bertanya apakah Asprov dan Askot di negara saya, Indonesia tentu saja, kurang dalam mengelola kompetisi dari usia paling muda?

Mbah Wasit menjawab, “Pernah ada emang Asprov bikin liga antar SSB?” 

Saya benar-benar putar otak mau jawab apa, hingga terpintas satu pertanyaan yang menurut saya yahud juga. “Apa ada hubungannya antara @MafiaWasit dengan mafia beneran, mbah?”

@MafiaWasit pun typing dengan kecepatan yang menyenangkan. Cukup lama. Sepertinya akan panjang. Ternyata, jawabannya begini, “Gua mau makan siang, Dhuhur sekalian Ashar, terus pulang. BYE.”

Duh, Gustiiii, paringono kompensasi.

Perihal mimpi anak-anak jadi pemain sepak bola profesional

@MafiaWasit membuat saya kemekelen berkali-kali. Ditemani langit Yogya yang kian menjuntai penuh dengan air, seakan siap menjatuhkan air-air tersebut kapan saja, saya makin-makin dibuat kepuyuh sama Mbah Wasit. Pembahasan kami memang ngalor-ngidul, namun menyenangkan. “Kenapa, sih, mbah, tiap ngetik ‘SU’, ‘MU’, dan ‘SUD’, selalu pakai capslock?”

Dengan tanpa tedeng aling-aling, blio menjawab, “Typo dan autocorrect.” Yang bikin saya ngakak, ketika Mbah Wasit membangun persona ‘masih muda’, justru ia terjebak dalam gagap teknologi bernama auto-correct. Duh, sedih memang. Tapi sedih saya nggak hanya berhenti sampai sana. Setidaknya sampai pada sebuah pembahasan yang membuat saya nyeri sampai ke tulang-tulang seperti lagu Mas Pamungkas, To the Bone.

Banyak fakta yang saya dapatkan dari @MafiaWasit, mengenai kondisi sepak bola Indonesia saat ini. Terutama perihal mimpi anak-anak muda yang menguap menjadi angan-angan semata.

Saya bertanya, “Kenapa sepak bola kita gini-gini aja?”

“Kita?” kata Mbah Wasit. Astagfirullaaaah. Saya hanya nyebut dan lantas merevisi kata ‘kita’ menjadi ‘saya’. 

Mbah Wasit menjawab bahwa FIFA dan AFC telah memberikan regulasi yang tujuannya untuk upgrade sepak bola Asia sejak 2008 dengan istilah Club Licensing Regulation atau CLR. “Federasi lu nggak pernah tuh menjalankannya CLR dengan benar,” kata Mbah Wasit.

Ditarik dalam lini massa yang sama di sepak bola Asia Tenggara, FAT atau Football Asosiation Thailand, pada 2009 menjalankan CLR dengan tegas. Salah satunya adalah semua tim profesional di Negeri Gajah Putih harus terdaftar sebagai perseoran terbatas. Akibat kebijakan tersebut, banyak tim yang melakukan rebranding atau pindah markas. Misalnya, The Provincial Electricity Authority (PEA), kesebelasan yang kemudian jadi raksasa sepakbola Thailand dengan nama Buriram United. Ada juga Bangkok University FC yang lantas bertransformasi jadi Bangkok United.

“Ini kan sama dengan sekolah yang meluluskan MUrid yang salah jawab ujian. Ketika keteMU MUrid dari sekolah lain yang aturan sekolahnya lebih tegas, akan kelihatan peak-nya,” kata Mbah Wasit. 

Ia kembali melanjutkan, “Ambil contoh, berapa klub yang saat ini di Liga 1 mempunyai pelatih kepala lisensi Pro AFC? Padahal itu syarat wajib.”

Bali United, ketika melawat di kompetisi AFC nggak bisa menggunakan pelatihnya. Sedang di Liga 1 bisa. Masalah stadion pun sama, banyak klub yang tidak bisa memakai stadionnya karena nggak lolos standardisasi AFC, sedang di Liga 1 mereka bisa memakai dengan bebas. “Padahal, kan, harusnya regulasinya sama (antara AFC dan Liga 1, red),” terang Mbah Wasit.

Entah pembahasan kami menjadi berbahaya atau nggak, ketika saya mencoba membelokan kepada pertanyaan mengapa klub Indonesia gagal bersinar di AFC Cup, Mbah Wasit malah mengarahkan ke hal yang lebih berbahaya. “Gagal bersinar? Kok, gagal? Bahkan untuk ikut AFC Cup aja kalau verifikasi klub nggak diakalin, nggak bakal boleh ikut.”

Mbah Wasit mencontohkan satu syarat saja, yakni pembinaan pemain usia muda. Memang untuk mengikuti AFC Cup (kasta kedua Liga Champions Asia), klub harus profesional. Dan profesional di sini, menurut AFC Club Licensing Regulations, salah satunya harus memiliki akademi dan tim usia muda. Dalam Article 16 AFC Club Licensing Regulations 2021 Edition menyebutkan;

  1. At least two youth teams of different age groups within the age range of 15 to 21;
  2. At least one youth team within the age range of 10 to 14;
  3. At least one under 10 team; and
  4. Each youth team, except the under 10s, must take part in official competitions or programmes played at national, regional or local level and recognised by the AFC Member Association.
Dua anak berebut bola saat mengikuti seleksi Mataram Utama Football Academy keelompok umur 10/11. Foto oleh Puguh Yuswantoro/Mojok.co

Mbah Wasit kembali menjelaskan, “Ingat, untuk Liga 1 U-19 kemarin pun banyak klub yang mengganti SSB dengan nama klub mereka.”

Saya bertanya, apakah federasi hanya diam? 

“Federasi lu itu males ribut kalau untuk penegakan regulasi, tetapi kalau rebutan jabatan di kongres….” Ya, intinya itulah jawaban Mbah Wasit.

Ada satu hal sejatinya yang akan mengalami kerugian luar biasa, yakni Indonesia akan kehilangan talenta emas sejak usia muda. Dari mulai Asprov hingga Askot yang nggak mawas kepada kompetisi sejak usia muda, juga regulasi yang main trabas hingga babak bundas, talenta emas muda Indonesia akan karam karena ulah para pendahulunya.

“Kenapa di kompetisi MUda menangan, lalu makin tua makin hilang? Lu mah tau jawabannya,” kata Mbah Wasit. Ia mengatakan bahwa bakat alam negara ini banyak sekali. Kesalahan terjadi bahkan pada titik paling nadir. Kata Mbah Wasit, “Sayangnya kebanyakan SSB dilatih oleh pelatih yang nggak punya background kepelatihan.”

Pelatih SSB, kebanyakan dilatih oleh mantan pemain liga. SSB di negara ini, kata Mbah Wasit, di tiap kelurahan itu ada, tetapi nggak ada kurikulum standar apalagi sport science yang diterapkan. Harusnya, SSB itu di bawah klub profesional. “Semisal SSB Persiba Bantul gitu. Sehingga seSUai CLR AFC diwajibkan punya kurikulum, kepala pelatih SSB pun minimal lisensi A AFC,” terang Mbah Wasit.

Menurut Mbah Wasit, saat ini SSB hanya dilatih bagaimana caranya menang dengan segala cara. Padahal, dalam aturan FIFA, dalam kompetisi usia muda itu bukan digodog perihal kalah menang saja. “Dilatih cara berpikir, pola makan, bahkan public speaking,” kata @MafiaWasit.

Lucunya, kadang yang menjadi pelatih SSB itu bukan pelatihnya lagi. Namun, ibu-ibu si anak itu yang berada di pinggir lapangan. “Bahkan ibu-ibu itu bisa menentukan mana pemain yang tampil,” kata Mbah Wasit dan memang apa yang ia katakan related dengan beberapa kultur SSB di daerah rumah saya.

Mbah Wasit bercerita ketika melawat ke Eropa, lantas tim yang ia bawa menang 4-0 saat kontra salah satu SSB besar di Eropa. “Seusai pertandingan, kita diketawain sama talent scout klub Eropa,” kisahnya. Katanya, mereka ditertawakan lantaran seusai pertandingan, pemain nggak ada yang mau diwawancara, nggak ganti jersey dan langsung masuk ke bus, lantas setelah di hotel nggak ganti baju malah langsung makan.

“Kira-kira, di grafik usia berapa pemain kita mengalami penurunan?” tanya saya.

Mbah Wasit menjawab lama, typing terus-terusan ada, nggak hilang-hilang. Sampai ada pesan panjang, amat menohok. Begini katanya, “Maaf aja, kebanyakan pemain bola kita rata-rata pendidikannya SMP dan SMA. Usia belasan, mereka kaget dapat penghasilan yang SUdah 5-10 kali UMR Jogja.”

Ditambah lingkungan yang membuat pemain muda ini kesulitan mengelola uang dan mental. Akibatnya mereka terjebak dalam zona nyaman, seakan nggak ada lagi tantangan ke depan. “Akhirnya si pemain di usia 30-an, fisik dan otak nggak berkembang, sedang tabungannya juga nggak ada,” tutupnya.

BACA JUGA Kedai Kopi di Permukiman Suburban dan Lagu The Killers dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version