Selokan atau kanal Van Der Wijck di Kabupaten Sleman menjadi saksi bagaimana Yogyakarta kemudian dikenal karena masakannya yang identik memiliki rasa manis. Saluran irigasi ini dibangun saat sistem tanam paksa diberlakukan pada masa kolonial Belanda.
***
Pagi belum sempurna kala Annisatul Dina Pramudita (27) meninggalkan rumah. Ia telah menitipkan sang anak di rumah orang tuanya, tak lupa ia siapkan pula sarapan untuk suaminya yang sedang masuk malam. Sebagai kepala dukuh, sudah 2 minggu ini ia disibukkan dengan persiapan acara Festival Van Der Wijck yang berlangsung di dusunnya, Tangisan, Banyurejo, Tempel, Sleman.
Satu kilometer dari kediamannya, di tepi selokan Van Der Wijck, puluhan orang bersiap menikmati kemeriahan festival. Panitia sibuk menyiapkan acara, para penjual sibuk menata dagangan, dan satu dua pesepeda berhenti dan melihat-lihat keramaian hari itu, Sabtu, 19 Maret 2022. Sementara acara pertama berupa jalan sehat telah dimulai.
Sungai di atas jalan
Bagi yang pernah melintas di sekitar Sleman arah barat, terutama di perbatasan Kecamatan Minggir dan Kecamatan Tempel, tidak asing dengan bangunan bernama Buk Renteng. Dalam bahasa Jawa, buk berarti jembatan dan renteng artinya rangkaian.
Dari kejauhan, Buk Renteng akan mirip seperti sebuah benteng dengan lubang terowongan di bawahnya. Di waktu tertentu, pengguna jalan di dekatnya bisa melihat saat ketinggian air mencapai atas dan seperti hendak meluap. Beberapa waktu lalu, tempat ini sempat viral di media sosial lantaran ada sebuah mobil yang hanyut dan mengakibatkan kanal meluap.
Bagi penikmat film atau buku, nama kanal ini mungkin akan mengingatkan dengan nama film adaptasi novel karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Berkaitan dengan nama ini, beberapa sumber di internet mengatakan bahwa Van Der Wijck adalah nama seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari tahun 1893 hingga 1899 dengan nama lengkap Carel Herman Aart van der Wijck.
Bangunan ini berada di Dusun Tangisan, Banyurejo, Tempel, Sleman. Secara fisik, Buk Renteng mirip dengan sungai di atas jalan. Bangunan ini merupakan bagian dari kanal atau selokan Van Der Wijck, salah satu dari 3 selokan di Yogyakarta selain Selokan Mataram dan Selokan Kalibawang.
Berbeda dengan Selokan Mataram yang dibangun di masa pendudukan Jepang, Kanal Van Der Wijck memiliki usia lebih tua. Saluran irigasi ini mulai dibangun pada 1 Agustus 1909 dan raja berkuasa saat itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Jika selokan Mataram dibangun demi mencegah penggunaan tenaga rakyat untuk kerja rodi, Van Der Wijck dibangun untuk mendukung program penanaman tebu di akhir abad ke-19 oleh Belanda.
Di masa itu, menurut PIC festival, Wahyudi Djaja (50) dari Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), daerah Sleman barat di masa itu adalah salah satu sentra perkebunan tebu. Maka selokan ini dibangun untuk mencukupi kebutuhan air perkebunan tersebut.
Dirunut lebih jauh lagi, keberadaan komoditas tebu di Jawa sudah ada sejak pemberlakukan cultuuralstelsel atau tanam paksa oleh VOC. Ini ada hubungannya mengapa masakan di Yogyakarta dan Jawa Tengah identik dengan rasa manis.
Menurut Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito seperti dikutip dalam Kompas.com, cita rasa manis pada berbagai masakan di Yogyakarta dan Jawa Tengah tidak lepas dari masa kolonial yang banyak membuat banyak perkebunan tebu untuk memenuhi pasar luar negeri. Hasil gula yang melimpah, membuat masyarakat memanfaatkannya untuk bumbu masakan sehingga masakan di Yogya dan Jawa Tengah memiliki cita rasa manis.
Sementara menurut data di situs Kemdikbud, usaha pabrik gula di masa itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta milik orang Belanda. Di masa kejayaan industri gula, terdapat 19 pabrik gula di Yogyakarta. Keberadaannya pun tersebar di daerah Sleman dan Bantul sekarang. Sebutlah seperti PG Gondang Lipuro, PG Kedaton Plered, atau PG Tanjung Tirto.
Di daerah Sleman barat, ada nama PG Cebongan, PG Klaci, dan PG Sendangpitu. Nama terakhir ini berada di Dusun Padon, Minggir, sekitar 3 kilometer dari Buk Renteng dan hanya terletak 100 meter dari kanal Van Der Wijck.
Sama seperti 2 selokan lain, hulu kanal Van Der Wijck berada di tepi Sungai Progo daerah Magelang, Jawa Tengah. Alirannya merentang mulai dari Kapanewon Tempel, Minggir, Moyudan, hingga di Sedayu, dan kini menjadi salah satu sumber irigasi petani di daerah Sleman barat yang sering disebut sebagai lumbung padinya Sleman.
Konsep wisata baru
Jam 8 belum juga tiba saat belasan pria bersiap di sebuah rumah. Mereka saling bantu menggunakan kostum bregada dan mengenakan riasan lain. Di rumah berbeda, belasan wanita juga menunjukkan kesibukan serupa. Di area festival, pengunjung mulai ramai. Entah sekadar membeli jajanan, menunggu kirab mulai, atau berburu konten digital.
Menurut salah satu konseptor acara, Heru Mataya (50), konsep Festival Van Der Wijck 2022 adalah menggabungkan berbagai panorama alam yang ada di sekitar lokasi. Ia percaya bahwa sebuah festival bisa dilakukan di manapun, termasuk di selokan atau kanal. Selain itu, acara ini juga berniat memperkenalkan nilai kesejarahan di balik keberadaan kanal Van Der Wijck.
“Bisa dikatakan ini adalah konsep baru dan kami ingin mengedukasi masyarakat bahwa di masa sekarang festival bisa diadakan di mana saja,” ujarnya.
Rangkaian acara festival ini sudah dimulai sejak Jumat malam (18/03) dengan acara umbul donga dan pagelaran salawat pitutur. Lalu di hari Sabtu, ada acara jalan santai, kirab budaya, pasar pagi Buk Renteng, pertunjukan seni berupa jatilan dan badui, pameran fotografi bertajuk “Smile of Tangisan”, serta sarasehan. Satu minggu sebelumnya, ada pula acara pengecatan Buk Renteng.
PIC acara, Wahyudi Djaja, menambahkan bahwa acara ini diadakan untuk meningkatkan geliat wisata di daerah Sleman Barat. Ini karena, kata pria itu, ada pergeseran wisata di Sleman dari arah timur ke barat akibat adanya bandara di Temon, Kulonprogo.
Ia menuturkan bahwa konsep wisata yang ingin diangkat adalah wisata pertanian karena salah satu kekhasan di wilayah ini adalah di dunia pertanian. Maka, Festival Van Der Wijck pun menggunakan konsep itu. Ia mencontohkan konsep pasar yang disebut “dedauni” karena menjual aneka makanan berbungkus dedaunan. Tentu saja berbagai makanan dengan cita rasa manis tersaji di acara ini.
“Ini acara pertama dengan konsep wisata berbasis komunitas. Ke depannya akan diadakan secara rutin dan kami berharap acara ini bisa meningkatkan pemahaman warga terhadap potensi di daerah mereka,” terangnya lewat telepon. Untuk itulah, para pengisi acara di Festival Van Der Wijck diambil dari kesenian lokal di sekitar Tangisan. Salawat Pitutur, kesenian Badui, dan jatilan adalah beberapa contohnya. Bukan tanpa alasan pula acara diadakan pada tanggal 19 Maret sebab menurut Djaja tanggal ini dipilih sebagai peringatan jumenengan Sri Sultan HB IX.
***
Jam menunjukkan pukul 9 pagi saat rombongan bregada bergerak menuju ke arah barat, melintasi tepian kanal. Seorang pria yang memeragakan pemimpin pasukan bergerak pelan sembari menyebarkan kembang. Suara gamelan bertalun bersamaan dengan gemericik dari pintu air. Di belakang rombongan, anak-anak kecil dengan antusias membuntut, membuat para panitia harus mengingatkannya sesekali.
Di dekat panggung utama rombongan bregada tadi berhenti. 3 penari di atas gethek bambu mulai memainkan tubuh mereka demi berkisah soal pentingnya air dan tanaman bagi kehidupan manusia. Kata-kata berbahasa Jawa dibacakan oleh si pemimpin bregada. Matahari kian tinggi, tempo pembacaan mantra-mantra tadi kian meninggi bersamaan dengan aneka bunga ditaburkan ke aliran selokan.
Dari sisi lain kanal, ratusan pengunjung memadati acara. Salah satu pengunjung berkata bahwa ia penasaran karena ini adalah pertama kalinya ada acara macam ini di Buk Renteng. Kebetulan pula acara diadakan pada hari Sabtu sehingga ia bisa ikut menyaksikannya.
Bagi para pengisi stand pasar Buk Renteng, mereka berharap bahwa acara ini bisa membangkitkan lagi perekonomian yang selama ini terdampak pandemi. Jumino (66), seorang perajin wayang asal Senoboyo, Tempel, mengungkapkan bahwa selama pandemi ini usahanya sangat menurun. Ia senang-senang saja diajak untuk mengisi acara ini.
“Ya sambil cari kegiatan, buat hiburan daripada ngelangut,” cetusnya santai sambil mewarnai wayang di lapaknya.
Setelah aneka acara seremonial berisi sambutan para pejabat, gunungan dalam kirab tadi dibagi-bagikan. Beberapa bocah menceburkan diri ke aliran selokan dan berharap mendapatkan buah-buahan dari gunungan. Dari seberang selokan, beberapa ibu paruh baya berkeluh kesah karena tidak bisa mendapatkan buah dan sayur di gunungan.
“Pak, terongnya dilempar ke sini!” teriak seorang ibu.
“Wahhh ora tekan… Meneh… Meneh…” sahut seorang ibu lain saat melihat sayuran yang dilempar jatuh ke selokan.
Dihubungi secara terpisah, Annisatul Dina Pramudita selaku kepala dukuh Tangisan berharap bahwa selepas acara ini, keberadaan kanal Van Der Wijck bisa dioptimalkan oleh warga. Ia juga berharap bahwa warga bisa melakukan kegiatan wisata selepas festival sehingga meningkatkan potensi ekonomi. Sebagai acara pertama kalinya, ia pun mengakui bahwa ia dan warganya belum bisa optimal dalam teknis acara.
“Capek, tapi ya seneng,” terangnya.
Acara hari itu masih panjang. Sebagian pengunjung mulai bubar karena hari mulai panas. Satu-dua pedagang mulai berkemas karena dagangan sudah habis. Sementara beberapa orang memilih meninggalkan acara terlebih dahulu sebelum nanti kembali lagi untuk melihat kesenian jatilan dan badui.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono