Suara Hati Mahasiswa UGM Asal Papua Ungkap Beratnya Kuliah di Jogja Meski Dianggap “Papua Kedua”

Ilustrasi mahasiswa UGM asal Papua (Ega Fansuri/Mojok.co)

Mahasiswa UGM dan sejumlah kampus lain di Jogja asal Papua alami tantangan berat. Mereka perlu kejar ketertinggalan pembelajaran di saat lingkungan terkadang mengucilkan.

***

Bagi mahasiswa asal Papua, Jogja adalah Papua Kedua. Komunitas mereka di wilayah ini cukup kuat. Namun, banyak kendala yang mereka alami selama menjalani studi di Kota Pelajar.

“Berat. Mungkin, setengah dari kami yang kuliah di sini akhirnya pulang ke kampung halaman sebelum lulus,” kata Gispa Ferdinanda Warijo, mahasiswa Hubungan Internasional (HI) UGM asal Kota Manokwari, Papua Barat.

Minggu (15/10/2023) malam, perempuan yang akrab disapa Gege itu datang ke Asrama Mansinam Manokwari yang terletak di Condongcatur, Sleman. Ia membawa satu kresek berisi pinang dan sirih untuk kawan-kawan yang hendak ia jumpai.

Di asrama ini, sebagian mahasiswa asal Manokwari yang berkuliah di Jogja tinggal. Selain itu, mereka yang tidak menetap di asrama juga kerap datang untuk bercengkerama.

Gege terbilang mahasiswa berprestasi asal Manokwari. Ia berhasil lolos ke UGM lewat seleksi SNMPTN pada 2019 silam. Kendati begitu, awal menjalani perkuliahan ia harus belajar ekstra keras agar bisa menyesuaikan dengan standar pendidikan di Jawa.

“Teman yang lain, terutama dari Jawa, masuk HI UGM itu sudah pada bisa menulis ilmiah. Bahasa Inggris sudah jago. Sa perlu banyak sekali penyesuaian, ikut les di luar perkuliahan demi bisa mengimbangi mereka,” kenang perempuan kelahiran 2002 ini.

Orang tua Gege, keduanya juga alumni UGM. Sejak awal SMA ia sudah punya ambisi agar bisa masuk di almamater mereka. Baginya, tidak ada jalan pintas selain bekerja keras.

Bahkan pegang komputer pun jarang

Selain Gege, saya juga berjumpa dengan mahasiswa UGM lain asal Manokwari yakni Alexander Minifos (22). Ada pula Aprians Keneson Warijo (22) yang berkuliah di STPMD APMD. Alex dan Apri merupakan mahasiswa peraih Beasiswa Afirmasi Papua.

mahasiswa UGM asal Papua.MOJOK.CO
Apri (kiri), Alex (tengah), dan Gege (kanan) sedang berkumpul di Asrama Manokwari (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Apri yang baru mulai berkuliah di Jogja 2023 ini cerita bahwa Jogja baginya adalah tempat dambaan banyak anak muda Papua. Cerita soal kualitas pendidikan di wilayah ini membuat banyak pelajar ingin menjadikannya tempat studi lanjut.

Namun, prosesnya tentu tidak mudah. Apri lahir dan besar di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya. Kondisi daerah asalnya, tidak semaju Kota Manokwari.

Selama duduk di bangku SMA, Apri mengaku nyaris tak pernah mejalani pembelajaran berbasis komputer. Ada mata pelajaran TIK, tapi pada praktiknya tak pernah berjalan semestinya. Sehingga, ia kesulitaan saat menjalani tes berbasis komputer program Beasiswa Afirmasi Papua.

“Sa lama sekali kerjakan tugas isi formulir itu. Suruh kasih email buat password saja saya bingung dulu. Berulang kali tanya,” katanya.

Beruntung, ia berhasil lolos. Pada gelombang pertama ia lolos namun di Makassar. Baru saat mencoba lagi di tes gelombang kedua, Apri bisa ke Jogja untuk belajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan STPMD APMD.

Saat kuliah pun masih banyak sekali penyesuaian yang harus ia jalani. Semakin banyak tuntutan untuk bersentuhan dengan perangkat komputer. Selain itu, pembelajaran dengan bahasa Inggris juga jadi kendala baginya.

“Bahasa Inggris di SMA kami itu masih dasar-dasar sekali. Mungkin beda dengan teman-teman dari Jawa yang sudah lebih jauh materinya,” paparnya.

Rasa tidak percaya diri di kelas

Kondisi semacam itu membuat para mahasiswa Papua di UGM dan sejumlah kampus lain di Jogja perlu banyak penyesuaian.

“Kalau ibarat, mahasiswa lain itu mulai dari nol, kami ini dari minus lima puluh,” kata Alex, mahasiswa UGM Jurusan Geografi.

Mahasiswa UGM ini mulanya tidak menjadikan Jurusan Geografi sebagai pilihannya. Ia menjelaskan, mekanisme Beasiswa Afirmasi memberikan tiga opsi tujuan studi. Pilihan pertama dan kedua merupakan pilihan mahasiswa.

“Sedangkan yang ketiga itu dipilihkan oleh Dikti. Ya sa ini masuk di Geografi yang sebenarnya saintek. Saya dulu IPS,” kata Alex.

Namun, mendapat beasiswa saja sudah merupakan berkat yang tidak terkira bagi Alex. Ia memantapkan diri untuk menjalani perkuliahan sebagai mahasiswa UGM. Di angkatannya, Alex merupakan satu-satunya mahasiswa asal tanah Papua.

Dengan segala keterbatasan, Alex berusaha menyesuaikan diri di lingkungan perkuliahan. Sesuatu yang tidak mudah. Saat bingung tentang materi perkuliahan saja, ada perasaan yang mengganjalnya untuk bertanya dengan lepas.

“Kalau kerja kelompok saya pasti berusaha melakukan dengan maksimal. Tapi saya merasa itu teman-teman seperti tidak mengharapkan saya ada di kelompoknya,” curhatnya.

Hal semacam itu, terkadang membuatnya ragu untuk bertanya. Padahal, ada kesenjangan pengetahuan yang ia rasakan.

“Kalau kita tanya itu ya mereka jawab di depan. Tapi setelah itu ya terasa seperti dibicarakan di belakang karena pertanyaan kami,” ungkapnya.

Kondisi semacam itu yang membuat Alex nyaris tidak berkegiatan lain di kampus selain menjalani pembelajaran di kelas. Ia memilih kembali bersama teman-teman asal Papua setelahnya. Asrama menjadi tempat nyaman dan aman baginya di tanah rantau.

Selama kuliah, Alex mengaku tidak terpikir untuk tinggal di kos. Selain menghemat biaya, cerita soal sulitnya mahasiswa papua untuk mencari kos di Jogja sudah jadi rahasia umum.

Gege misalnya, pernah punya pengalaman tidak diizinkan untuk memperpanjang kos dengan dalih akan ada perbaikan. Padahal, saat ia tanya ke penghuni kamar sebelah, ternyata alasannya hanya karena ia merupakan mahasiswa UGM asal Papua.

Baca halaman selanjutnya…

Pertanyaan yang membuat Papua terkesan bukan Indonesia

Pertanyaan yang membuat Papua terkesan bukan Indonesia

Selain tantangan tadi, terkadang mahasiswa asal Papua seperti Gege dan Alex merasa bingung, di tengah keterbukaan informasi seperti sekarang masih ada pertanyaan yang kadang menyakitkan buat mereka. Mereka kerap mendapat pertanyaan klise semacam “di Papua itu ada mal nggak ya?” atau “di sana itu udah ada mobil atau belum?”.

Gege merasa beruntung, sebab jurusan HI menurutnya berisi mahasiswa yang cukup terbuka dan punya pengetahuan luas terkait budaya. Namun, pertanyaan klise semacam itu kadang muncul dari teman jurusan lain atau bahkan orang yang ia temui di luar kuliah.

“Bahkan ada yang tanya ‘kalian di Papua itu uangnya pakai dolar ya?’,” kata Gege sambil geleng-geleng kepala.

“Jelas-jelas Papua merupakan bagian dari Indonesia. Mata uang apalagi kalau bukan rupiah,” sambungnya.

Pertanyaan semacam itu diulang-ulang hingga mereka merasa jenuh. Bahkan, ada pertanyaan soal apa bahasa yang mereka gunakan di Papua. Ini terkesan pertanyaan basa-basi yang polos namun seringkali membuat Gege, Alex, dan Apri merasa tak nyaman.

“Bicara bahasa, kami bahkan bisa jadi lebih fasih berbahasa Indonesia. Cuma ya memang cara bicara kami cepat,” sahut Alex.

Perjuangan panjang demi masa depan

Bisa menjadi mahasiswa UGM, bagi Gege dan Alex adalah kebahagiaan tak terkira. Namun, perjuangan mereka tidak mudah.

Mereka jauh dari kampung halaman dan tidak setiap tahun bisa pulang. Bahkan, harus menghadapi situasi krisis yang sulit terbayang bagi mahasiswa dari daerah lain.

Gege misalnya, baru beberapa bulan menjadi mahasiswa UGM, kasus rasialisme terhadap Papua pecah pada September 2019 silam. Kasus nasional yang bermula dari peristiwa di Surabaya itu membuatnya putus kontak dengan keluarga selama nyaris satu bulan. Sebab, koneksi internet dan jaringan seluler di Papua diputus.

“Manokwari saat itu jadi salah satu titik kerusuhan paling parah. Sa biasanya dikirim uang setiap tanggal 22 dan konflik pecah tanggal 20,” kenangnya.

Saat itu, semua bank di Manokwari tutup. Gege beruntung, ada senior mahasiswa UGM yang menampungnya di rumah kontrakan sehingga ia bisa bertahan meski uang saku sudah habis.

“Saat itu ada eksodus besar-besaran mahasiswa Papua pulang ke kampung halaman. Sebagian dari mereka nggak melanjutkan studi lagi. Seperti ada satu generasi yang terputus,” ujarnya.

Itu jadi salah satu momen berat yang tak pernah Gege lupakan. Demi menempuh pendidikan, ada harga dan perjuangan berat yang harus ia bayar.

Senada, Alex juga berujar bahwa mahasiswa Papua yang berhasil lulus studi di perantauan, berarti tekadnya untuk belajar begitu kuat. Kesenjangan membuat mereka harus belajar ekstra keras. Sistem dukungan dari lingkungan pun jauh dari kata ideal.

“Sa pikir harus melihat kendala ini sebagai tantangan. Harus memaksa diri agar bisa beradaptasi dan mengejar ketertinggalan. Gas terus,” pungkasnya.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kalau Orang Indonesia Omong Soal Papua, Mereka Omong Apa?

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version