Dosen-dosen muda berjuang bukan hanya bagaimana mengajar dengan baik. Mereka juga harus berjuang hidup dengan gaji pas-pasan dan urusan adminstrasi yang ribetnya bikin mumet.
Belum dengan asumsi masyarakat yang memandang dosen sebagai pekerjaan yang mapan dan pendapatan berkecukupan. Mojok berbincang dengan dosen-dosen muda yang punya keinginan mulia memajukan pendidikan, tapi juga di sisi lain kelimpungan dengan urusan kampus di luar mengajar mahasiswa.
***
Jelang pertengahan April 2023 lalu, Siska* (30) berulang kali keluar masuk kampus sambil menenteng beberapa bundel berkas. Di ruang kerjanya, kertas-kertas berserak. Di tengah lelah ia terkadang duduk lesehan di lantai beralaskan tikar sederhana.
Masa itu jadi momen berat bagi kebanyakan dosen. Mereka harus menyiapkan berkas penting demi menuntaskan deadline Penilaian Angka Kredit (PAK). Berkas yang menentukan karier mereka sebagai pengajar perguruan tinggi.
“Setiap semester sudah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tapi kalau luput ngurus administrasi, semuanya bisa nggak dianggap,” katanya.
Beratnya beban administrasi sebagai dosen
Saat itu, saking ribetnya mengurus administrasi, ia sampai berulang kali mengubah jadwal perkuliahan dan bimbingan di kampus. Satu hari, ia pernah mengubah jadwal bimbingan skripsi sampai tiga kali.
Pada momen itu berulang kali, Siska mengucap maaf kepada para mahasiswanya. Sebab bagaimanapun, baginya mengajar adalah tugas paling utama.
“Mereka ini kan datang dari jauh untuk belajar. Bagaimanapun saya harus mencari jadwal pengganti kalau ada tabrakan agenda,” keluh dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta ini.
Ia merasa beban administrasi membuat para dosen kewalahan hingga menghambat produktivitas dosen dalam melakukan beragam tugas utama. Belum lagi, Ditjen Ristek Dikti terlalu banyak membuat aplikasi yang terkadang membuatnya bingung.
Perkara deadline 15 April mengisi PAK memang sempat mendapat penolakan banyak dosen. Petisi di change.org bertajuk “Mendikbud, Batalkan Deadline 15 April yang Mematikan Karir Dosen” diisi lebih dari 12 ribu kali.
“Beban administratif yang menimpa dosen Indonesia semakin tidak masuk akal. Jika dibiarkan, mutu dosen dan pendidikan tinggi akan terus merosot,” tercantum dalam pembukaan penjelasan petisi tersebut.
Sambat dosen terkait sistem administrasi bisa dibaca dalam kolom komentar di Instagram @ditjen.dikti
Siska yang masih tergolong dosen muda hanya melengkapi berkas dua tahun ke belakang. Beberapa dosen yang lebih senior bisa sampai mendata lebih dari lima tahun berkas untuk kelengkapan kredit.
“Ada beberapa dosen yang mengurus berkasnya lebih dari lima tahun. Bukan bundel lagi, tapi pakai boks besar,” paparnya.
Keberatan poin penilaian sikap oleh atasan
Mengurus administrasi juga butuh modal. Ada rekan Siska yang merogoh kocek lebih dari Rp1 juta hanya untuk pengurusan berkas. Semua ini bermula dari perubahan kebijakan angka kredit dosen sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.
Sebenarnya, kabar terkait kebijakan angka kredit sudah ia ketahui sejak akhir tahun lalu. Siska mengaku sudah menyicilnya sedikit demi sedikit. Namun, sosialisasi resmi dari kampus baru berjalan mendekati deadline pengumpulan berkas. Tak heran banyak di antara rekannya yang akhirnya kelimpungan berkejaran dengan waktu.
Selain perkara ribetnya mengurus administrasi, ia juga mengkritik salah satu poin pada kebijakan baru yang menekankan penilaian sikap oleh para atasan selain kinerja pribadi. Poin itu ia nilai sangat subjektif dan membahayakan karier dosen muda.
“Sebab begini, penilaian itu memengaruhi durasi kenaikan jabatan fungsional. Sesederhana sikap baik dengan sangat baik bisa membedakan nanti bisa naik jadi lektor berapa lama,” paparnya.
Momen pengisian PAK sekaligus ia manfaatkan untuk mengajukan kenaikan jabatan fungsional menjadi lektor. Sebelumnya, Siska sudah dua tahun berpangkat asisten ahli. Sebagai informasi, tingkatan jabatan fungsional dosen yakni asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
Dalam waktu dekat ia punya target untuk segera mendapat sertifikasi dosen demi menjaga dapurnya tetap mengepul. “Dosen itu gajinya nggak seberapa kalau belum sertifikasi,” keluhnya.
Meniti karier menjadi dosen dengan ekspektasi berat keluarga
Jalan karir Siska bermula sejak 2018. Kala itu, ia yang mulanya sudah bekerja memutuskan untuk mengikuti seleksi CPNS dosen. Setelah berhasil lolos, ia mulai resmi menjadi pengajar di PTN pada pertengahan 2019.
Sebagai dosen baru, jabatan fungsional Siska belum aktif. Jadwal mengajar juga belum ia miliki secara tetap. Sehingga gaji sebagai CPNS golongan IIIB pun belum ia terima secara penuh.
“Sekitar setahun setengah awal menjadi dosen itu gaji baru 80 persen. Itu berarti hanya sekitar 2,1 juta saat itu,” katanya.
Dengan gaji yang mepet UMK Sleman ditambah jatah uang makan sekitar Rp37 ribu per hari, ia harus bertahan di Jogja. Biaya menyewa kamar kos saja saat itu sekitar Rp800 ribu. Tak ada pilihan lain, ia menambal kebutuhan dengan tabungan dari pekerjaan sebelumnya.
Belum lagi, Siska merupakan sandwich generation yang turut menanggung kebutuhan orang tua dan adiknya. Pada masa itu, adiknya ada di masa perkuliahan yang juga membutuhkan biaya yang cukup banyak.
“Orang tua tahunya ya saya sudah secure nih jadi dosen. Nggak pernah cerita sama orang tua kalau gajinya ya ternyata sekecil ini di awal,” kenangnya.
Siska mengaku beruntung, suaminya mampu menopang sebagian kebutuhan yang tak bisa dipenuhi gajinya. Jika tidak, ia mengaku tak sanggup bertahan melewati dua tahun awal menjadi dosen.
Dosen kerap dianggap sebagai pekerjaan yang mapan dan terjamin. Namun, bagi mereka yang baru meniti karier di jalan ini, menurut Siska, perlu kesabaran ekstra. Ia juga sepakat bahwa dosen juga merupakan buruh yang harus menyuarakan hak-haknya.
“Buruh kan anak kandung kapitalisme, ya kami ini buruh kapitalisme pendidikan. Sayangnya semisal guru itu punya naungan PGRI, dosen ini nggak ada,” terangnya.
Dosen tidak punya waktu senggang
Menjadi dosen, membuat Siska sadar bahwa ia harus merelakan semua waktunya untuk memenuhi Tri Dharma Pendidikan yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Untuk poin pengajaran saja, para dosen kerap mendapat jatah jauh lebih banyak dari seharusnya.
Siska misalnya, yang kewajiban utamanya 9 SKS mendapat jatah dua kali lipat pada semester ini. Ia mengaku bahwa ada uang tambahan dari kelebihan jam mengajar. Namun, pembayaran ia terima setiap semester.
“Di sisi lain kita dapat ganjaran mengajar, tapi kan kita harus berbagi waktu dengan penelitian dan pengabdian masyarakat kita,” terangnya.
Waktu adalah sesuatu yang begitu berharga bagi dosen. Pada hari kerja energi Siska sudah tersita untuk mengajar dan membimbing skripsi mahasiswa. Urusan penelitian dan pengabdian harus ia alihkan di akhir pekan.
“Akhir pekan dan tengah malam itu waktu-waktu saya untuk berpikir jernih ke hal selain pengajaran,” terangnya sambil tertawa getir.
Belum lagi jika berhadapan dengan tugas-tugas penunjang terkait urusan birokratis kampus. Sebagai bagian dari institusi pendidikan, meski tidak menjabat struktural, dosen muda kerap mendapat tugas-tugas dari atasan seperti mengurus media sosial hingga urusan administrasi lainnya. Menurutnya, jika diukur, pada waktu tertentu urusan penunjang itu bisa lebih banyak ketimbang yang lain.
Kondisi ini membuat Siska mengaku terkendala untuk menghasilkan penelitian yang maksimal. Sebagai bagian dari instansi pendidikan tinggi, ia punya keinginan untuk menghasilkan karya yang penting dan bermanfaat.
Sejarawan yang banyak meneliti Indonesia, Peter Carey menyampaikan makalah yang menganalisa mengapa Indonesia tidak pernah memenangkan penghargaan nobel. Ia menilai penyebabnya adalah gaji dosen yang kecil, status PNS dosen yang justru tidak sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, hingga tidak adanya cuti panjang sehingga dosen bisa fokus penelitian. Selain itu, budaya peninjauan sejawat juga tidak optimal.
Rata-rata dosen muda gaji di bawah Rp3 juta
Dosen non-PNS di perguruan tinggi swasta memang tak terlibat keriuhan deadline PAK 15 April lalu. Namun, bukan berarti perjuangan mereka tak kalah berat.
“Sebenarnya kemarin sempat ada instruksi untuk ikut mempersiapkan. Kami sudah mulai mengurus berkasnya, eh tapi tiba-tiba ada kabar itu hanya untuk dosen PTN,” ungkap Jaya* (34) seorang dosen sebuah PTS di Purwokerto.
Sejak 2015, selepas menamatkan S2, Jaya mulai aktif menjadi dosen. Namun, sebelum itu ia juga sudah terlibat di kampus sebagai asisten pengajar lantaran sambil menamatkan studi magisternya.
Pada masa itu, lantaran belum memiliki jabatan fungsional Jaya belum mendapatkan gaji penuh. Saat masih menjadi asisten pengajar ia hanya mendapatkan 60 persen dari gaji pokok. Setelah itu, ia baru mengantongi 80 persen gaji sampai naik jabatan fungsional sebagai asisten ahli di 2017.
“Pas awal itu sepertinya nggak sampai UMK Purwokerto,” kenangnya tertawa.
Kondisi serupa sebenarnya terjadi pada banyak dosen di Indonesia. Riset dari The Conversation menunjukkan 42,9 persen dosen mengantongi pendapatan tetap di bawah Rp3 juta per bulan. Nominal ini berada di bawah rata-rata UMP di Indonesia yang berkisar di angka Rp2.919.632 pada 2023 ini.
Gaji lebih kecil dari guru
Nominal pendapatan yang terbatas di masa awal bekerja membuat Jaya harus menekan pengeluaran. Gajinya bahkan tak bisa bertahan sampai akhir bulan. Beruntung, saat itu biaya S2 menjadi tanggungan dari yayasan sehingga gaji bisa fokus untuk bertahan hidup.
Asumsi seperti di atas banyak disematkan pada dosen-dosen.
Selepas mendapat jabatan fungsional, gajinya sudah penuh. Beberapa tahun berselang ia juga mendapat sertifikasi dosen. Suatu hal yang sudah ia harapkan sejak lama.
“Kalau tanpa sertifikasi, gaji saya lebih kecil dari istri yang guru SD swasta. Selisihnya lumayan jauh,” kata Jaya yang sudah mengantongi jabatan fungsional lektor sejak tahun lalu ini.
Namun, di sisi lain Jaya merasa beruntung, yayasan yang menaungi universitasnya memiliki perhatian yang baik bagi masa tua para dosen. Terdapat beberapa skema pensiunan bagi pengajar yang bukan golongan PNS.
Pada masa awal, ia menyiasati pendapatan yang terbatas dengan mengajukan sejumlah penelitian. Dulu, menurutnya masih ada alokasi honorarium dari dana penelitian. Biasanya ia mendapat dana hibah penelitian dari kampus maupun Dikti. Namun, beberapa tahun belakangan kebijakan baru telah melarang adanya honorarium bagi peneliti.
Ia menilai profesi ini memang penuh tantangan. Beban melaksanakan Tri Dharma Perguruan tinggi sudah menyita waktu. Belum lagi, jika memiliki jabatan struktural di kampus.
“Kalau ada jabatan struktural, wes tambah mumet pokoknya,” kelakarnya.
Bekal menjadi dosen
Jaya mengaku tahun-tahun awal menjadi pengajar adalah masa berat. Perlu kesabaran untuk melaluinya supaya bisa mencapai titik pendapatan bisa mencukupi untuk kebutuhan keluarga.
“Ya sedikit tapi bisa bayar beberapa cicilan lah,” katanya.
Ia berpesan bagi para calon dosen agar tidak menaruh ekspektasi tinggi terhadap pemasukan di masa awal bekerja. Selain itu, mereka juga perlu bersiap dengan ekspektasi tinggi orang di sekitar tentang profesi ini.
Jaya bercerita kalau sejak menjadi dosen, masyarakat sekitar rumahnya menganggap dirinya orang yang mampu secara materi. Anggapan serba bisa juga tersemat pada dirinya. Pada pemilihan RT misalnya, secara aklamasi ia didapuk menjadi ketua.
“Di desa ya anggapan itu masih tersemat ke dosen. Jadi tantangan tersendiri buat saya,” katanya.
Senada, Siska juga mengatakan bahwa dosen muda perlu berkompromi idealisme soal pemasukan. Namun, idealisme terkait pengajaran, penelitian, dan pengabdian harus dijaga.
Selain itu, tanpa kesenangan dalam bekerja, dosen muda rentan berhenti di tengah jalan. Tanpa mencintai dunia penelitian dan kepenulisan maka tugas-tugas dosen terasa begitu melelahkan.
“Kebetulan saya suka mengajar dan menulis. Itu passion saya, sehingga beratnya jadi dosen ya sedikit teringankan,” pungkasnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Curahan Hati Dosen yang Ngajar tapi Nyambi Buka Usaha
Cek berita dan artikel lainnya di Google News.