Kekejaman Senior PPDS Seperti Terus Dibiarkan, Memukuli dan Memaki Junior Calon Dokter Spesialis hingga Depresi

Ilustrasi kekerasan terhadap calon dokter spesialis PPDS (Ega/Mojok.co)

Kasus bullying dan kekerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) jadi sorotan publik. Seorang dokter yang sempat menempuh pendidikan spesialis di sebuah kampus ternama memberikan kesaksian mendapat makian hingga penganiayaan fisik dari seniornya.

***

Hingga kini, luka yang Jeremi* (30) rasakan belum benar-benar pulih. Memar yang pernah ia dapat di perut sudah hilang namun tekanan dari makian dan intimidasi verbal yang pernah dirasakannya masih terus membekas di kepala. Kondisi tersebut membuatnya sempat berkonsultasi ke psikiater selepas memutuskan mengubur mimpinya menjadi dokter spesialis.

Ia menceritakan bahwa kultur perundungan dan senioritas terhadap calon dokter spesialis di PPDS masih terus terjadi. Banyak junior hingga kenalan seprofesi yang menceritakan hal serupa kepadanya.

Lelaki ini mulai menempuh studi kedokteran di sebuah kampus ternama Indonesia  pada 2011 silam. Proses studi hingga menyandang gelar dokter pada 2018 baginya berjalan lancar. Tidak ada intimidasi atau kekerasan yang ia alami.

“Berjalan lancar sampai lulus co-ass pada 2018. Tepat waktu tanpa diskriminasi apalagi kekerasan fisik,” katanya kepada Mojok, Senin (22/1/2024).

Selepas menyandang delar dokter, ia sempat menjadi dokter internship hingga bertugas sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit luar Pulau Jawa selama hampir setahun. Ia kemudian melanjutkan PTT 1 tahun di Kalimantan sampai akhirnya lolos seleksi pendidikan dokter spesialis pada akhir 2019.

Di momen itulah, ia menyadari bahwa ada yang janggal. Ia dimasukkan ke sebuah grup WhatsApp lalu seniornya mengabari bahwa ia harus datang lebih dini pada akhir Desember. Padahal, program sedianya baru berjalan pada Januari 2020.

“Padahal saat itu masih banyak keperluan administrasi yang harus aku urus karena terikat tanggung jawab dengan RS,” katanya.

Setelah menjalani orientasi nonformal tersebut, beberapa pekan terpaksa bertugas meski belum mengantongi Surat Izin Praktik (SIP) lantaran baru pindah kembali ke Pulau Jawa. Meski berisiko, sebab tanpa SIP seorang dokter tidak dapat perlindungan hukum, Jeremi tetap menjalani perintah tersebut.

Kultur senioritas di PPDS yang menyiksa junior

Sebagai informasi, dokter yang sedang menempuh PPDS mendapat sebutan dokter residen. Sementara, konsulen adalah sebutan untuk dokter spesialis yang bertugas melakukan supervisi para residen. Proses menempuh pendidikan dokter spesialis bisa memakan waktu tiga sampai tujuh tahun.

Sejak menjadi residen, Jeremi mulai merasakan kultur senioritas yang memaksa para junior bekerja ekstra, demi memenuhi para kakak tingkatnya. Padahal para dokter residen sudah punya tanggung jawab tugas yang berat.

“Jadi biasanya selalu ada tugas penulisan ilmiah setiap minggu. Bahkan di masa Covid-19 bisa setiap hari. Ada pula jurnal yang harus kami tulis,” terangnya.

Namun, di sisi lain para junior, terutama yang dapat anggapan “pintar” di angkatannya akan mendapat tugas tambahan dari para senior. Merekalah yang mendapat beban tugas untuk mengerjakan tugas ilmiah para senior.

“Sistemnya sudah sulit bagi para junior untuk menghindari. Sebab, senior ini punya andil juga untuk menentukan nilai adik tingkatnya. Jadi nyawa kita mau naik kelas ada di tangan senior dan konsulen,” paparnya.

Bahkan, ada senior yang meminta junior mengerjakan thesis. Bagi Jeremi, hal ini kelewatan lantaran posisinya yang sangat sakral dan berkaitan dengan gelar akademik yang akan dokter spesialis dapat kelak.

kekerasan dokter spesialis di ppds.MOJOK.CO
Ilustrasi. Operasi jadi pengalaman penting bagi para calon dokter spesialis (Piron Guillaume/Unsplash)

Bukan hanya di penilaian kinerja, Jeremi mengatakan, jika ada senior yang tidak suka maka sulit bagi junior untuk mendapatkan kesempatan operasi pasien. Hal yang cukup krusial bagi dokter spesialis lantaran menyangkut pengalaman sebelum mengemban tanggung jawab yang lebih besar nantinya.

Pukulan senior PPDS

Suatu hari pada Agustus 2020, Jeremi sedang berada di bangsal rumah sakit saat dua orang dokter konsulen yang sedang melakukan kunjungan mendadak tampak mendekat dari kejauhan. Ia tahu, tindakan junior mendampingi konsulen tanpa kehadiran senior bisa berakibat fatal karena dianggap melangkahi.

“Saat itu kasusnya memang khusus karena pasien buta setelah dilakukan operasi sehingga konsulen visit mendadak,” ujarnya.

Jeremi mengaku mencoba menghindar dengan menaiki tangga ke lantai atas. Namun, salah satu konsulen ternyata sudah melihat keberadaannya lantas memanggil.

“Dokter (yang bukan konsulen prodi Jeremi) ini memang kenal sama aku. Dulu kan memang jadi pengajarku saat masih S1. Jadi ya mau bagaimana, aneh kalau dia memanggil nggak aku temui,” ujarnya.

Namun, ternyata situasi yang sudah berusaha Jeremi hindari berbuah petaka. Tak berselang lama, seorang senior mengetahui bahwa ia mendampingi saat konsulen melakukan kunjungan.

“Udah jago lo visit sama konsulen tanpa lapor kita?” kata Jeremi, menirukan teriakan seniornya.

Selepas itu, senior itu memukul perutnya dengan cukup keras. Kejadian itu terjadi pada waktu setelah magrib dan bukan di “ruang gelap” melainkan di bangsal. Istilah “ruang gelap” merujuk pada tempat-tempat tertutup yang tak terjamah publik di rumah sakit.

Beberapa senior calon dokter spesialis maupun teman seangkatannya menjadi saksi kejadian itu. “Salah satu senior yang baik kemudian melerai, dia mengingatkan bahwa tindakan memukul itu berbahaya,” katanya.

Selepas itu, saat pulang Jeremi menyadari bahwa ada memar yang tampak jelas di bagian perut bagian kanan sisi atas. Foto yang masih tersimpan itu ia tunjukkan kepada Mojok.

Penganiayaan berlanjut di malam “parade”

Kejadian serupa, bahkan lebih parah, terjadi sepekan kemudian. Sekitar jam 7 malam, para residen PPDS dipanggil ke sebuah ruang kosong di belakang bangsal. Jeremi datang agak akhir ketimbang beberapa residen lain.

Saat masuk, ia melihat beberapa rekannya sudah berbaris berdiri bersebelahan. Ia langsung bergabung dengan mereka yang sudah mendapat makian dari para senior.

“Kata-kata anjing, bangsat, keluar semua di momen itu,” katanya.

Bagi Jeremi, semuanya berjalan begitu cepat, senior tak henti-hentinya berteriak sehingga ia seperti tak punya ruang untuk menjawab. Sejenak kemudian, tumpukan kertas yang lumayan tebal melayang ke muka residen junior yang sedang berbaris.

“Setelah itu ditempeleng satu per satu,” ujarnya.

Jeremi kemudian diminta berdiri di tengah disaksikan semua residen lain. Kali ini spesial baginya sebab senior PPDS menganggapnya melakukan kesalahan fatal yang berkaitan dengan alat operasi.

“Aku punya penjelasan yang klir tapi rasanya seperti mengalami kecelakaan motor, cepat, ada makian dan kekerasan fisik, dipukul, didorong, ditampar, mulutku sudah nggak bisa bicara apa-apa,” tuturnya.

Kejadian itu sempat membuat seorang senior yang menurut Jeremi tidak terlibat melakukan pelaporan kepada konsulen. Namun, ketika dikonfirmasi Jeremi mengaku tidak memberikan nama pelakunya.

“Kalau mengaku saat itu, senior mungkin bisa langsung dipanggil dan dikeluarkan. Tindakannya sudah terlalu masif, di sisi lain, mereka juga sudah senior menjelang lulus, aku bimbang saat itu dan akhirnya memutuskan tidak melapor,” katanya.

Mereka yang gagal mendapat cap lemah

Pascakejadian tersebut, Jeremi mendapat anjuran dari senior untuk berkonsultasi ke dokter kejiwaan. Namun, menurutnya hal itu menjadi justifikasi bahwa orang sepertinya “lemah” dan tidak mampu menempuh pendidikan dokter spesialis.

Semua biaya untuk menjalani konsultasi psikologi juga tidak mendapat bantuan. Jeremi yang saat itu mengaku keuangannya terbatas pun keberatan.

“Aku benar-benar ingat momen itu karena uang di rekeningku tinggal Rp400 ribu sementara biaya konsultasi spesialis jiwa saja Rp250 ribu,” kenangnya.

Sempat bertahan hingga semester empat, Jeremi akhirnya memutuskan mundur dari PPDS pada 2022 silam. Dalam surat pengunduran dirinya, terlampir alasan bahwa proses pendidikan tidak sesuai dengan nuraninya.

“Tapi setelah itu aku dikesankan sebagai orang yang malas dan lemah. Penderitaanku saat itu seperti sia-sia. Mimpi jadi dokter spesialis seperti percuma. Itu cita-cita besarku sejak masuk di kedokteran,” ungkapnya.

Persoalan kekerasan calon dokter spesialis jadi sorotan Menkes

Pada Juli 2023 lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin angkat suara soal kasus bullying di lingkungan PPDS. Ia mengakui bahwa hal ini sudah jadi praktik puluhan tahun dan mengakar kuat.

“Kita menemukan bahwa praktik perundungan ini baik untuk dokter umum, internship, maupun pendidikan dokter spesialis, itu sudah terjadi puluhan tahun,” kata Budi Gunadi dalam konferensi pers, Kamis (20/7/2023) silam.

Menurut Menkes, dalih pada praktik penindasan ini biasanya untuk pembentukan karakter dokter muda. Namun, baginya tradisi ini jelas salah dan harus ada perubahan.

“Saya setuju, dokter-dokter itu harus dibentuk, tapi dibentuknya bukan hanya dengan kekerasan untuk bisa mencapai ketangguhan dari yang bersangkutan. Tapi harus dibentuk rasa empati, sayang kepada pasien, cara komunikasi, ini menurut saya penting,” ujarnya.

Menkes juga pernah memaparkan bahwa pimpinan rumah sakit kerap tidak mengakui bahwa terjadi praktik tersebut. Sehingga, ia menilai tradisi ini berjalan secara sistematis.

Sejauh ini, Kemenkes telah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 1512 Tahun 2023 terkait hal tersebut. Kemenkes juga memfasilitasi sarana pelaporan atau hotline jika calon dokter spesialis atau dokter residen menerima perundungan dari dokter senior.

Setidaknya ada dua saluran pelaporan yakni melalui laman https://perundungan.kemkes.go.id/ dan melalui nomor telepon 081299799777. Data pelapor akan dijamin kerahasiaannya.

)* bukan nama sebenarnya.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Bercita-cita Jadi Dokter Spesialis Tapi Malah Depresi Saat Jadi Residen

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version