Jualan Action Figure Memang Menggiurkan, Bisa untuk Investasi

Cerita dari kolekdol karakter horor.

Action figure koleksi Galih.

Action figure bukan sekadar mainan. Bagi penggemarnya, ia juga punya nilai ekonomi tinggi, bahkan dijadikan sebagai investasi. 

***

Awal tahun ini, saya terheran-heran, saat seorang teman dari Jakarta akan datang ke Yogyakarta karena akan membeli sebuah mainan. Bagi saya, untuk apa jauh-jauh datang dari Jakarta, menggunakan pesawat terbang hanya untuk membeli mainan. Pikir saya, apakah di Jakarta nggak ada penjual mainan yang ia cari?

Sampai di Yogya, Brian (25) menceritakan hobi yang baru ditekuni setahun belakangan ini setelah kerja di Jakarta. Ia mulai tertarik dengan mainan ini setelah melihat tiga action figure di meja kantor temannya. Tiga mainan itu total harganya Rp5 juta. 

Sejak itu, Brian mulai ketagihan. Ia mulai menyisihkan uangnya untuk membeli action figure dan memajang di lemari kaca. Awalnya ia membeli kisaran harga Rp1 juta. Kini Brian pun mulai mencari yang langka. Bahkan terakhir rela menukar uang Rp5 juta dengan koleksi Marvel Comics 80th Anniversary besutan Hasbro.

Saat ini ada 6 action figure tersusun rapi di lemari kaca di kamar Brian. “Masih belum banyak, inginnya nanti seperti workstation Agus Harimurti Yudhoyono atau apartemen Billy Davidson yang koleksinya bisa sampai ratusan juta rupiah,” ungkap Brian.

Di Yogya, Brian datang ke lima toko yang menjual mainan. Tiga toko di antaranya saya temani. Total belanjanya sekitar Rp6 juta. 

Stan Weston, penemu istilah action figure dari Amerika Serikat menjelaskan tentang makna dari action figure sebagai citra figur seperti manusia yang bisa dibuat beraksi atau diposekan sedang melakukan sebuah aksi. Max Watanabe, dari Jepang yang juga ahli pembuat action figure memiliki pengertian lain, yaitu sculpture/miniature/replica dari sebuah benda atau karakter yang menggunakan artikulasi pada bagian gerak atau pun tidak dan dibuat dengan sangat detail. Dua negara yang jadi kiblat action figure saat ini adalah Amerika Serikat dan Jepang. 

Sarjana hukum yang pilih fokus jualan mainan

Dari Brian, saya tahu bahwa di Yogya terdapat toko yang menjual action figure langka bernama Carpenter Boys.  Jumat (18/ 02/ 2022), saya datang ke toko itu setelah menyusuri deretan ruko di Jalan Karang Malang, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman. Sebelah utara Kopma Universitas Negeri Yogyakarta.

Pemiliknya bernama Galih Kuntoaji (30), seorang alumni Fakultas Hukum tahun 2009 Universitas Islam Indonesia. “Dulu sebelum kuliah, saya punya teman namanya Yohan Ruliansyah, dia anak Muntilan yang pertama kali mengenalkan action figure,” ungkap Galih. Kebetulan, Yohan masuk di fakultas yang sama. Alhasil, Galih mengaku nggak terlalu fokus kuliah dan memilih mencari action figure dari toko lokal di sekitar Yogya bersama temannya.

Saat awal membeli, tahun 2007, Galih merogoh kocek Rp25 ribu untuk sebuah action figure The Joker besutan Mattel. Selain mencari di toko, Galih akan mencari melalui Kaskus, forum action figure, dan Facebook. Ia berpatokan mengeluarkan uang untuk membeli dengan batas tertinggi Rp50 ribu.

Demi memuaskan hobinya, Galih rela menabung. Dari banyaknya yang beredar di pasaran, ia paling suka dengan genre horor yang dibuat oleh merek Amerika. “Sebenarnya kebiasaan saya jika mau koleksi action figure maka lihat film dulu, suka karakternya, baru beli dari beberapa brand untuk koleksi,” ungkapnya.

Sedangkan, pemilihan merek dari Amerika menurut Galih karena jarangnya produksi ulang, sehingga untuk mendapat action figure menjadi tantangan tersendiri. Misalnya saja action figure Kurt Cobain Nirvana besutan Neca pada tahun 2000-an, kini purna jualnya semakin tinggi karena stok terbatas. Hal itu tentu berbeda dengan merek Jepang yang dalam setahun bisa diproduksi ulang hingga tiga kali.

Galih pun berpikir, jika dirinya hanya terus membeli, maka tabungannya yang diperoleh dari mengumpulkan uang saku semakin menipis. Pelan-pelan, ia yang semula kolektor pun beralih menjadi kolekdol (Red : koleksi sekaligus menjual). “Beberapa yang bosan mulai dijual. Kalau ada yang dobel juga salah satu dijual. Nanti yang masih suka di simpan. Karena, pada dasarnya action figure bisa dijadikan investasi,” ungkap ayah satu anak ini.

Dari puluhan ribu rupiah jadi puluhan juta rupiah

Galih, masih ingat, pertama kali menjual action figure, sekitar tahun 2011. Yang pertama dijual senilai Rp100 ribu. Uang yang telah berkali lipat dari modalnya itu kemudian dibelanjakan koleksi-koleksi lain. Alhasil, semakin lama, harga koleksinya semakin tinggi. Hal itu, juga tidak lepas dari harga dolar yang semakin bertambah setiap tahun.

mainan yang bisa jadi investasi
Carpenter Toys, usaha yang didirikan Galih untuk hobinya mengumpulkan action figure. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Pada tahun 2014, tokonya diberi nama Carpenter Toys. Ideologinya bahwa tukang kayu merupakan pekerja keras.  Menurutnya, lokasi toko offline tidak banyak berpengaruh. Sebagian besar pelanggannya didominasi orang luar kota yang memilih membeli melalui marketplace.

“Dari teman, saya bisa tahu mana action figure yang menguntungkan dan atau tidak menguntungkan untuk dibeli,” ungkap Galih.

Jual beli action figure memang mempunyai segmen khusus, tidak bisa menyasar ke semua orang. Begitu pun ketika menjual, Galih sering kali harus mencari kolektor yang tepat. Ia akan memastikan orang itu benar-benar suka dan memang mencari untuk dikoleksi, bukan dijual lagi. Selebihnya, ia dapat memberi harga kolektor atau sedikit lebih rendah dari pasaran.

Di Yogya, kolektor tema horor memang tidak banyak. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari, berkisar tujuh sampai sepuluh orang saja. Alhasil, pembelinya pun sedikit. Tidak hilang akal, Galih bekerja sama dengan kedai kopi dan beberapa selebgram untuk mengenalkan action figure, seperti Culturehead Coffee dan X Cafe.

Galih gencar mempromosikan melalui media sosial. “Sebenarnya kalau laku syukur, tapi nggak juga tetap senang,” ungkapnya tertawa. Pasalnya, semua action figure yang tertata di ruangan ini murni koleksi Galih, tidak ada yang sengaja dibeli untuk dijual kembali.

Misalnya saja, koleksi karakter Chucky. Maka, dari beberapa merek yang merilis, yaitu Neca dan Mcfarlane, seluruh karakternya akan dibeli oleh Galih.

Sejauh ini, barang termahal yang dijual Galih adalah action figure stetu atau berbentuk patung dapat tembus di angka Rp90 juta. Sedangkan paling murah berada di kisaran Rp150 ribu. 

Sebagai pekerjaan tetap, dalam sebulan Galih mampu menjual lima puluh action figure. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, pernah lebih dari itu karena ia bisa menjual action figure Godzilla sebanyak seratus biji. “Kalau untuk penghasilan di Yogya lumayan banget, lebih dari cukup,” ungkap Galih yang tidak mau disebutkan nominal pendapatan dari jualan action figure.

Alasan koleksi action figure langka

Dari seluruh koleksi dengan tema horor miliknya, ada dua yang paling disukai oleh Galih. Pertama adalah karakter Regan dalam film The Exorcist yang tayang pada tahun 1979. Ia bahkan mempunyai Regan dalam kotak eksklusif yang hanya dimiliki oleh beberapa orang saja di Indonesia. Sayang, akhirnya dijual beberapa bulan yang lalu pada kolektor asal Jakarta. “Ibarat kita sudah rawat sepuluh tahun, ada yang mau adopsi, harga cocok, sudah kenal orangnya, ya lepas saja,” ungkap Galih.

Kedua adalah The Pink besutan Sota. Hampir tidak ada di Indonesia, Galih merasa beruntung menemukan, setelah lama mencari di luar negeri. Bahkan, ia menjadi salah satu dari dua orang yang mempunyainya di Indonesia. “Kalau kita punya uang, belum tentu barangnya ada, jadi kalau dapat yang langka rasanya puas,” ungkap Galih.

Galih, pilih buka toko agar hobinya tersalurkan. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Selama ini, Galih memang dikenal sebagai kolektor sekaligus penjual action figure langka. Seperti yang ada di depan saya, Chucky besutan Dream Rush. Kotaknya berwarna kuning dengan boneka berwajah seram di dalamnya. Menurut Galih, langka dapat terjadi akibat produksi sudah lama, jarang ada di pasaran, sudah tidak diproduksi lagi, dan merek sudah tidak ada. Biasanya, jika sudah begitu harga akan melonjak tinggi tergantung penjual. Awalnya harga Rp2-3 juta bisa melonjak hingga Rp15 juta. 

Untuk mendapatkan mainan kategori langka, Galih bahkan menyuruh beberapa orang temannya mencari di luar negeri. Itu pun sulit lantaran harus melakukan negosiasi dengan beberapa kolektor asing. Selain itu, meski langka bukan jaminan untuk laku di jual dengan harga tinggi.

Berbeda dengan yang reguler, seperti action figure Pacific Rim. Produk itu dapat ditemukan dengan mudah di pasaran karena produksi dan peminatnya yang banyak. Sehingga harga yang ditawarkan pun hanya Rp300 ribu.

Tidak harus selalu mahal

Setelah tahun 2016, peminat action figure mulai merambah ke semua kalangan, mulai dari anak usia sekolah menengah atas, mahasiswa, sampai para pekerja kantoran. Bahkan, publik figur seperti pejabat dan musisi juga banyak yang mengoleksi. “Kemarin, saya baru saja ketemu beberapa musisi, seperti personil Endank Soekamti, lalu personil Netral, membahas koleksi mainan mereka,” ungkap Galih.

Action figure tidak harus selalu mahal. Namun, ketika membeli lebih baik dipastikan keasliannya. Menurut Galih, jika hanya mengejar harga murah namun mendapat barang palsu, maka tidak bisa dijadikan investasi. “Bukan untung, malah buntung,” ungkap Galih tertawa. Perbedaan asli atau palsu dapat dilihat dari sablon tulisan dan stiker di kotak pembelian, detail, dan pewarnaan.

Setiap dua bulan sekali, Galih membersihkan koleksinya. Jika tidak dibersihkan, maka action figure yang berbahan dasar karet akan menjadi lengket. Hal ini tentu berbeda dengan yang berbahan dasar kain atau hot toys. Jika dicuci, kainnya malah akan berjamur. Untuk itu, perawatannya yang berbahan kain hanya diletakkan pada ruangan ber-AC yang bebas asap rokok. “Kalau palsu juga tidak boleh dicuci, nanti catnya mengelupas,” ungkap Galih.

Merambah clothing bertema action figure

Saya pun mulai melihat satu persatu action figure yang berada di lemari kaca. Pandangan mata kemudian jatuh pada karakter kuntilanak. Rupanya, itu adalah permintaan Galih pada seorang pembuat di Jakarta. Ia bahkan juga meminta dibuatkan karakter pocong. Sayangnya, di Indonesia, harga dari action figure lokal lebih cepat turun akibat kurangnya minat dari para kolektor.

Galih juga menjual kaos dengan gambar yang idenya dari action figure. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Di Yogya, komunitas action figure tidak aktif lagi semenjak diterjang pandemi Covid-19. Komunitas-komunitas itu sudah tidak pernah mengadakan kegiatan lagi.

Galih pun teringat pada tahun 2012, saat masih membuka usaha painting, repaint, dan repair action figure. “Kalau painting memperjelas karakter, repaint memperjelas warna menggunakan cat motor, dan repair memperbaiki, misal ada engsel yang rusak,” ungkap Galih. Namun, usaha yang bergerak di bidang jasa itu akhirnya tidak berlanjut setelah ia merasa sibuk pada usaha lainnya.

Sudah sejak 2014, Galih mencoba peruntungan pada clothing dengan desain yang diangkat dari action figure. Dibanderol Rp130 ribu, para pembeli sudah mendapatkan kotak yang berisi baju, gantungan kunci, dan stiker. Dalam sebulan, ia bisa menjual lebih dari seratus kotak.

Banyak pelajaran hidup yang diambil oleh Galih. Terlebih, ia diajarkan untuk menjadi sosok yang sabar. “Menghadapi konsumen itu sulit, tapi bagaimanapun juga konsumen adalah raja,” ungkapnya. Misal ketika ia harus sabar menghadapi komplain akibat ada bagian yang patah di action figure. Padahal, untuk pengiriman jarak jauh, ia sudah menyediakan SOP dengan pengemasan karton dan bubble wrap. Atau pun ketika ada pelanggan yang protes karena merasa salah ukuran. Padahal sebelumnya sudah dikirim size chart.

Di akhir perbincangan, Galih berharap ke depan kedua bisnisnya dapat berjalan bersama dengan lancar dan semakin mengenalkan serta mengedukasi action figure kepada lebih banyak orang. 

Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA  Tono, Penjaga Perumahan yang Keliling Tiap Malam Beri Makan Kucing Pasar di Kota Semarang dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version