Jeritan Petani di Sedayu yang Anak-anaknya Nggak Mau Mengolah Sawah di Jogja

Jeritan Petani di Sedayu yang Anak-anaknya Nggak Mau Mengolah Sawah di Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi Jeritan Petani di Sedayu yang Anak-anaknya Nggak Mau Mengolah Sawah di Jogja (Ega Fansuri/Mojok.co)

Petani di Yogyakarta banyak yang angkat tangan. Mereka tidak lagi mengolah sawah dan menyerahkan kepada petani penggarap. Anak-anak mereka juga tak mau lagi ke sawah. Jogja kini surplus beras, tapi ancaman 2039 juga kian dekat.

***

Jogja yang lagi panas-panasnya tidak berlaku bagi sosok Saiman (67). Ia jadi satu-satunya orang yang saya lihat di tengah sawah tengah mencangkul di persawahan Dusun Puluhan, Argomulyo, Sedayu, Bantul, pekan lalu. 

Daripada jadi petani, anak muda banyak yang pilih jadi laden tukang

Hari masih pagi, sekitar pukul 09.00, tapi panas sudah menyengat kulit. Areal sawah ini tidak jauh dari Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto. Sekitar 1 kilometer jaraknya. Di tengah bulak sawah yang terik, khusyuk mengolah sawahnya.

Setelah menyapa, dan baru obrolan kecil, Pak Saiman menyampaikan banyak uneg-unegnya. Terutama tentang keprihatinannya dengan tidak adanya anak muda yang terjun ke pertanian. 

“Anak-anak muda itu ogah-ogahan terjun ke pertanian. Ini tanah yang saya garap sebenarnya milik orang Sidomulyo, Godean, Sleman. Tapi diserahkan ke siapa saja yang menggarap sawahnya,” kata Saiman warga RT 09 Puluhan, Argomulyo, Sedayu, Bantul. Ia sebenarnya bukan petani penggarap, karena ia juga memiliki sawah sendiri. Bahkan ia punya beberapa lahan persawahan.

Saiman (67) petani dari Argomulyo, Sedayu Bantul. Seperti petani yang lain, ia mengeluh anak-anaknya tidak ada yang mau terjun di dunia pertanian. (Agung P/Mojok.co)

Namun, jiwanya sebagai petani sejati meronta-ronta melihat lahan yang terbengkalai. “Di kawasan ini, ada sekitar 6,5 hektare tanah milik orang di Sleman yang diserahkan ke petani penggarap,” kata Saiman. 

Pemilik lahan menurut Saiman sudah angkat tangan untuk menggarap sendiri. Sementara anak-anak mereka tidak mau menggarap. “Nah oleh orang-orang yang punya ini, menawarkan, ‘mangga siapa yang mau menggarap tanah’,” ujarnya.

Anak sendiri pun enggan menggolah sawah warisan 

Tawaran itu disambut oleh beberapa petani di kawasan itu. Saiman menceritakan, lokasi persawahan di Puluhan, Sedayu berbatasan langsung dengan Sidomulyo, Kecamatan Godean. 

Saiman mengatakan, di tempatnya sistem menggarap sawah yang disepakati antara pemilik lahan dan petani penggarap berbeda-beda. Ada maro, yaitu bagi hasil masing-masing setengah dari hasil sawah yang digarap. Pemilik sawah memberi bantuan subsidi berupa biaya traktor, upah tanam, dan pupuk. Kemudian mertelu, di mana penerima sawah menerima hasil bersihnya saja, sedang kebutuhan pengolahan sawah dari pihak petani penggarap.

“Kalau sawah kan kebanyakan tanah warisan dari orang tuanya, Mas. Jadi biasanya mereka tidak akan menjual, karena untuk warisan ke anak cucunya,” kata Saiman. Namun, ironisnya anak muda sekarang nggak mau terjun ke dunia pertanian. 

“Banyak anak-anak cucu sekarang itu mencari yang praktis, contoh jadi laden (tukang). Mereka kerja seminggu nompo duit. Pokoknya yang uangnya cepat,” kata Saiman. 

Saiman bisa memahami desakan kebutuhan ekonomi membuat banyak orang yang butuh uang cepat. Namun, sebenarnya kalau mereka mau berpikir, sebelum berangkat kerja bisa untuk menggarap sawah dulu. 

“Habis subuhan sampai jam 8 untuk nyangkul itu sudah dapat banyak, setelah itu bisa berangkat kerja,” kata Saiman.

Namun, harapan itu ternyata juga tidak bisa ia terapkan pada anak-anaknya. Saiman punya setidaknya punya dua tanah warisan dari orang tua dan mertua. Ia serahkan tanah-tanah itu ke anak-anaknya untuk digarap. “Saya nggak minta hasilnya, yang penting mereka menggarap sawah itu,” katanya.

Baca halaman selanjutnya…

Hampir semua petani di Jogja punya keluhan yang sama tentang anak mereka

Hampir semua petani di Jogja punya keluhan yang sama tentang anak mereka

Saiman bahkan mengatakan ke anak-anaknya, kalau mengalami kendala dari sisi pengairan, pemupukan, atau kendala lain, ia yang akan turun tangan membiayai. “Itu mereka nggak mau, Mas. Tanahnya dikembalikan, ‘digarap bapak saja’,” kata Saiman geleng kepala. 

Saiman paham, bekerja jadi petani itu memang tidak langsung bisa menerima uang. Selain itu, masalah dalam sistem pertanian di Indonesia begitu banyak. 

Ia menegaskan, bukan hanya anak-anaknya saja yang menolak untuk menggarap tanah warisan. Sebagian besar petani yang ia kenal di Jogja juga mengalami hal yang sama. “Saya tahu karena saya aktif di kelompok tani sudah puluhan tahun,” kata Saiman. 

Bagi yang tidak kuat mengolah sawah, maka biasanya akan dijual. Belum tentu juga selanjutnya menjadi tanah pertanian, bisa jadi beralih menjadi permukiman atau hal yang lainnya. “Mereka yang kemarin dapat uang dari lahan yang kena tol kan banyak yang bingung, mau beli tanah, tapi tanahnya mahal,” kata Saiman.

Padahal belum tentu hasil sawah yang diolah bisa menjamin penghidupan seluruh keluarganya. Kecuali jika tanah itu luas.

Saiman dengan latar belakang sawah yang mengering. Biasanya jika irigasi lancar ada air. Namun, tahun ini Selokan Mataram ditutup. Di saat petani lain membiarkan saja lahan pertaniannya nganggur, ia mananam palawija. (Agung P/Mojok.co)

Masalah-masalah yang dihadapi petani

Saiman mengatakan masalah yang petani hadapi selain regenerasi adalah persoalan-persoalan teknis ketika menggarap lahan. “Misalnya saja sekarang ini, harusnya Selokan Mataram kan jangan dikeringkan dulu, karena belum hujan. Nah karena tidak ada pengairan, petani jadi dapat masalah karena nggak ada airi,” kata Saiman. 

Saiman sendiri tidak menyerah dengan kondisi tersebut. Ia menanami lahan garapannya di wilayah Sedayu dengan palawija yang tidak membutuhkan banyak air. “Ini sedang saya tanami lembayung, tiap pagi bisa panen, tambah-tambah uang belanja,” katanya.

Masalah lain yang jadi keluhan petani adalah soal pupuk. Saat ini untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, petani harus membawa kartu tani. Ternyata tidak sesederhana itu persoalannya. Untuk mendapatkan kartu itu, syarat administratifnya ribet. 

“Kalau masa kartunya habis, petani harus ngurus ke BRI. Nah, BRI tidak mudah mengeluarkan kartu itu karena harus mengisi data. Sementara kalau membeli pupuk non-subsidi, mahal banget,” kata Saiman. 

Persoalan lain, misalnya soal karakter petani sekarang yang ingin lahannya produktif terus untuk bertanam padi. Padahal sesuai anjuran, pola musim bertanam yang baik, harusnya padi-padi-palawija. “Sekarang hampir semua petani selalu, padi-pantun-pantun (pantun merupakan bahasa Jawa kromo artinya padi),” ujar Saiman.

Yang terjadi, tanah menjadi tidak subur lagi. Bahkan menurut Saiman dari penelitian UGM yang ia dengar, kondisi tanah pertanian di Jogja unsur haranya sedikit banget. Kondisi lahan yang kurang dari sisi kesuburan membuat petani makin banyak menggunakan pupuk kimia. 

“Kalau saya, sampai kapan pun akan bertani, hasilnya mungkin tidak bisa jadi pegangan, tapi bisa untuk hidup ayem. Saya pun nggak akan jual sawah tanah warisan, selama saya masih kuat, akan saya olah sendiri. Nggak tahu nantinya,” kata Saiman.

Surplus beras tapi harganya naik terus

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Sugeng Purwanto, menyampaikan, stok beras di pertengahan hingga akhir 2023 di DIY masih aman. Bahkan surplus. 

Dari data per 11 September 2023, ketersediaan beras di DIY mencapai 11.135,98 ton, sedangkan kebutuhan per minggu 5.907,33 ton.

“Artinya, neraca mingguan surplus 5.228,65 ton,” katanya Rabu, 13 September 2023. Saat itu, ia juga mengatakan belum mendapat laporan dari kabupaten terkait tanaman padi yang rusak akibat musim kemarau. 

Namun, hari ini 13 Oktober 2023, pedagang-pedagang beras di Pasar Beringharjo menjerit karena harga beras yang terus naik. Penyebabnya karena DIY masuk musim paceklik karena kemarau panjang yang membuat panenan padi berkurang. 

Kondisi ini makin menggambarkan ancaman krisis pangan di DIY. Selain karena musim kemarau panjang, susutnya lahan persawahan di DIY kemungkinan besar ikut menyumbang sedikitnya panenan.

Tanda-tanda krisis pangan di DIY makin dekat

Mengutip Kompas.com, tahun 2013, Biwara Yuswantana yang saat itu menjabat Kepala Bidang Perekonomian Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi DIY menyatakan, DIY terancam krisis pangan di 2039. 

Hal tersebut Biwara sampaikan 10 tahun lalu dalam sarasehan “Membangun Yogyakarta yang Berkecukupan, Sejahtera, Mandiri, Lestari”, (18/4/2013). Saat itu, ancaman krisis pangan 2039 didasarkan pada pertambahan penduduk dan permukiman.

Dengan adanya pembangunan jalan tol dan pariwisata yang kian masif, lahan pertanian semakin cepat berkurang. 

Harian Jogja edisi cetak pada 25 September 2017 bahkan mengangkat liputan khusus, dengan judul headline halaman pertama, 2025, DIY Krisis Pangan

Ancaman krisis pangan pada 2039 bisa makin cepat melihat kondisi alih fungsi lahan pertanian dan persawahan di DIY. Hal ini karena setiap tahun rata-rata 250 hektare lahan persawahan di Yogyakarta beralih fungsi. Padahal luas lahan sawah di DIY sekitar 76 ribu hektare. 

Hal itu disampaikan Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY, Bambang Dwi Wicaksono, seperti dikutip dari Kumparan.com, 2 Februari 2023. 

Berkurangnya lahan sawah ini menurutnya karena alih fungsi lahan menjadi permukiman penduduk, jalan, dan tempat usaha seperti restoran dan kafe. 

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Jalan Kaliurang: Ketika Petani Tua Enggan Menukar Tanah Warisan dengan Uang Receh 3,5 Miliar

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version