Gara-gara Bule Kemalaman, Sosrowijayan Wetan di Jalan Pasar Kembang Jadi Kampung Turis

Sosrowijayan Wetan berawal dari bule yang kemalaman.

Gang dua di Kampung Sosrowijayan Wetan, sering disalahpahami sebagai tempat prostitusi Sarkem. Padahal, meski bersebelahan kampung ini dulunya lebih dikenal sebagai Kampung Turis atau Kampung Internasional. Julukan yang muncul gara-gara bule kemalaman.

***

“Mau nyari apa, Mas?” ujar seorang lelaki yang menunggu di gapura pintu masuk gang dua Jalan Pasar Kembang. Tepatnya di kampung Sosrowijayan Wetan, Kelurahan Sosromenduran.

Pertanyaan yang ia lontarkan, bagi orang awam, kerap memicu rasa penasaran. Sebenarnya, apa yang ada di dalam gang ini? Mengingat Pasar Kembang atau Sarkem memang kerap diasosiasikan dengan tempat prostitusi.

Namun, ternyata Kodir hanya memberikan jasa pengantaran ke hotel atau penginapan bagi para wisatawan. Bukan mencarikan sesuatu yang tidak-tidak. Kendati begitu, ia mengaku kalau kerap dikira jasa yang mencarikan hal-hal berbau hiburan malam.

“Padahal, di gang satu dan dua, hanya hanya ada hotel, losmen, dan tempat kuliner. Kalau mau nyari hiburan malam kan di gang tiga sana,” ujar lelaki yang mengaku bernama Kodir (53) saat saya ajak duduk berbincang di trotoar jalan, Kamis (21/7).

Kodir sudah sejak berusia remaja menjalankan pekerjaan ini. Sehari-hari, ia menunggu di pintu masuk gang. Jika berhasil mengantarkan wisatawan ke penginapan ia akan mendapatkan komisi. Untuk jumlah komisinya, ia tak mau memberi tahu.

“Rahasia kalau itu,” katanya, tertawa ringan.

Ia akan mencarikan hotel sesuai keinginan wisatawan. Mau menginap dengan fasilitas seperti apa dan punya bajet berapa. Ia bisa mengantarkan ke tempat yang paling pas sesuai kebutuhan pelanggan.

Di sisi selatan Jalan Pasar Kembang memang ada dua kampung yakni Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon. Setidaknya ada tiga gang utama untuk memasuki kedua kampung ini dari sisi utara. Sosrowijayan Wetan dikenal dengan Kampung Internasional dengan turisnya sedangkan Sosrowijayan Kulon dikenal hiburan malamnya.

Di media sosial, salah paham tentang gang dua pun marak berkembang. Sebuah akun Tiktok jalan-jalan pernah mengunggah video tentang kunjungan ke Jalan Pasar Kembang. Tempat yang dikunjungi merupakan sebuah angkringan di gang dua.

@dolan.aja Replying to @vivitrock ♬ original sound – 𝐌𝐚𝐬 𝐃𝐨𝐥𝐚𝐧

Jika dilacak secara historis, sebenarnya dua kampung ini punya akar kesejarahan yang sama. Dalam Toponim Kota Yogyakarta (2019) disebut bahwa pada masa lalu, penamaan kampung ini didasarkan pada seorang tokoh penting yang pernah tinggal di sini. Namanya Raden Sasrawijaya.

Raden Sasrawijaya dikenal sebagai sosok pengarang yang tersohor pada masa lampau. Ia juga dikenal dengan nama Raden Panji Natarata yang menulis karya Serat Syekh Siti Jenar. Raden Sasrawijaya disebut pernah tinggal di daerah bernama Ngijon, sebelum akhirnya menetap di kawasan yang kini menjadi Sosrowijayan. 

Kiprah yang dimilikinya membuat sang tokoh itu diabadikan sebagai nama kampung. Kampung yang kemudian dibagi menjadi dua area dengan masing-masing ciri khasnya. Ciri khas dan perbedaan yang kadang kurang disadari orang.

Menelusuri Sosrowijayan Wetan

Setelah menelusuri semua gang di Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon, saya menyadari ada banyak sekali perbedaan. Saat di sisi barat, suasana begitu remang dengan kerlap-kerlip lampu di depan rumah-rumah karaoke. Cahaya rembulan bak tidak memasuki sudut-sudut gangnya.

sosrowijayan wetan
Gapura masuk ke gang 2 Sarkem yang masuk wilalayah Sosrowijayan Wetan. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ketika malam, suasana di barat jauh lebih ramai. Lantaran kehidupan di sana lebih banyak bergeliat di malam hari. Para pekerja maupun pengunjung memadati sudut-sudut gang yang lembab dan remang.

Saya duduk bersantai di Bedhot Resto tak lama setelah waktu salat isya. Di sudut-sudut kafe ini, beberapa rombongan turis sedang bercengkrama sembari minum bir. Ada yang berdua dan ada yang tampak seperti rombongan keluarga. 

Pramusaji di Bedhot Resto bercerita kalau sekarang para turis asing mulai berkunjung kembali ke kawasan itu. Meski belum kembali seperti kondisi semula. Pandemi membuat kehidupan di Sosrowijayan Wetan yang mengandalkan wisatawan terguncang parah.

Selain Bedhot, di sepanjang gang satu dan dua terdapat banyak destinasi kuliner lain. Saat saya kunjungi kebanyak masih sepi. Begitu pula losmen dan penginapan di sana, terlihat lengang. Para pengelolanya duduk di teras. Bersantai sambil ngopi, memainkan ponsel, hingga membaca koran.

Di gang yang hanya terpaut beberapa belas meter saja dari kawasan prostitusi, malam-malam anak-anak terlihat asyik bermain. Menaiki sepeda hingga berkerajaran di sepanjang gang. 

Ketika berjalan ke selatan, ada sebuah masjid bernama “Nurul Huda”. Satu-satunya masjid di kampung Sosrowijayan Wetan. Tempat beribadah yang lapang dan nyaman meski di tengah permukiman padat. Seorang lelaki terlihat sedang duduk bersila sambil membaca kitab suci saat saya melintas lewat di depan masjid.

Keesokan harinya, saya menjumpai Edi Subagyo (55) di halaman Kantor Kelurahan Sosromenduran. Ia merupakan Ketua RW di Sosrowijayan Wetan. Lelaki ini bercerita panjang lebar tentang sejarah kampungnya. Hingga bisa menjadi Kampung Turis.

Sejarah Kampung Internasional Sosrowijayan Wetan

Di Jogja, ada dua kawasan yang terkenal menjadi tempat berkumpulnya para turis asing. Prawirotaman dan Sosrowijayan Wetan. Kini Prawirotaman berkembang lebih pesat dan lebih ramai dikunjungi. Namun, pada masa lalu Sosrowijayan Wetan juga pernah ada di titik jayanya.

Saat masih anak-anak dahulu, di tahun 1970-an, Edi ingat para turis sudah banyak dijumpai di kampungnya. Kawasan ini memang terbilang strategis, diapit oleh dua tempat penting. Stasiun Tugu di sisi utara dan Malioboro di sisi timur dan selatannya. 

Letaknya yang strategis tadi membuat banyak turis mampir. Namun, cerita awal mampirnya para turis ini pun terbilang menarik.

“Dulu sering malam-malam ada turis. Kebanyakan backpacker. Mereka ngetok pintu di rumah warga sini. Banyak dari mereka yang datang kemalaman dan kehabisan penginapan. Kemudian berharap bisa menginap di rumah warga sini,” jelas Edi.

Suasana gang dua ketika malam hari. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Seringnya kejadian seperti itu membuat warga setempat kemudian lebih mempersiapkan diri. Rumah mereka kebanyakan tidak disiapkan untuk menerima tamu-tamu seperti ini. Kadang ada yang punya kamar kosong, tetapi tidak ada kamar mandi untuk tamu asing.

“Kami kan nggak punya punya kamar mandi di dalam kamar dalam nih. Kamar mandinya di luar. Berhubung mulai banyak ditinggali turis, kita bersihkan, kemudian membangun satu untuk turis satu untuk keluarga,” jelasnya.

Pola itu kemudian berkembang. Sosrowijayan Wetan mulai masuk ke dalam buku panduan para pelancong. Selain lokasinya yang strategis, penginapan di kawasan ini juga menawarkan harga murah. Tentu dua aspek itu membuat segmen backpacker kepincut.

Selain itu, penginapan di sini awalnya menawarkan kehangatan bak di rumah sendiri. Kedekatan antara pemilik rumah dan penyewa terjalin erat. Kata Edi bahkan dianggap seperti keluarga sendiri.

Warga setempat menawarkan untuk mengantarkan ke destinasi yang ingin dituju di Jogja. Memberi ruang untuk ikut berkegiatan dan berbaur dengan masyarakat. Mereka yang tinggal kebanyakan tak hanya semalam. 

Hal itu, turut membuat pertukaran budaya di sini berkembang pesat. Ada sejumlah warga yang menikah dengan bule dari luar negeri. Sebagian akhirnya dibawa ke negara asalnya. Namun, ada juga yang akhirnya kembali ke sini. 

“Saking dekatnya dengan keluarga, ada turis juga yang menikah sama orang sini. Terus diajak ke sana. Ada Mas Anton, Jack, lalu ada Mas Gendon yang sekarang masih di luar negeri ikut istrinya,” ujarnya. 

Dari yang semula tidak begitu terkonsep. Rumah-rumah di sini kemudian memugar diri menjadi homestay dan penginapan yang lebih layak. Sebagian besar mengkhususkan diri hanya untuk wisatawan asing.

“Kebanyak homestay dulu ya untuk turis saja. Ada misalnya Homestay Dewi kemudian Losmen Angga yang benar-benar untuk turis saja. Kalau bukan turis asing nggak diterima,” jelasnya.

Lambat laun, Sosrowijayan Wetan dengan segala geliat turis asingnya membuatnya punya julukan Kampung Internasional. Julukan yang melekat hingga sekarang meski kondisi turis semakin sepi di sini.

Masa kejayaan kampung ini berkisar di tahun 1980-an hingga 1990-an. Tahun-tahun itu banyak sekali kunjungan wisatawan asing. Edi menggambarkan kalau dulu di sini, yang hilir mudik dan memadati gang bukan penduduk lokal melainkan para wisatawan mancanegara. Terutama saat liburan musim panas sekitar Juli hingga Agustus.

Tak hanya bisnis penginapan yang berkembang pesat. Usaha jasa tour dan travel juga banyak dilakoni warga setempat. Edi misalnya, ia juga mengelola penginapan sekaligus usaha jasa perjalanan di kawasan ini.

Perkembangan ini turut membuat tanah dan bangunan di Sosrowijayan jadi incaran. Banyak investor dari luar yang masuk. Membeli rumah warga dengan harga miliaran rupiah untuk dibangun hotel besar. Jika sebelumnya hanya rumah-rumah warga biasa, kini di dalam gang juga banyak ditemui penginapan bertingkat.

“Kalau masih satu tingkat itu biasanya masih milik warga lokal. Tapi jika tinggi dua atau tiga lantai, itu sudah dibeli dan dikembangkan orang luar,” paparnya.

“Kalau di Papua itu kan emasnya jadi incaran. Nah di sini tanahnya itu yang jadi emas. Mau rumah kecil dijual miliaran pun ada yang beli,” lanjutnya dengan tawa.

Namun, pasang perlahan menjadi surut. Kejayaan Sosrowijayan Wetan dengan pelancong asingnya mulai menurun drastis saat terjadi krisis moneter tahun 1997. Secara umum, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia banyak berkurang pada masa-masa itu.

a Jalan Sosrowijayan di sisi selatan Pasar Kembang. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Sejak tahun 2000-an, akhirnya kawasan ini mulai terbuka akan potensi wisatawan domestik. Selain berkurangnya turis asing, ada sejumlah potensi lain yang membuatnya lebih mengejar aspek yang sebelumnya kurang diminati ini.

“Sejak ada kebijakan lima hari kerja dari pemerintah, wisatawan domestik juga lebih ramai. Mungkin karena durasi libur yang bertambah jadi bisa ke Jogja,” ujarnya.

Selain itu, kendala lain yang dialami juga soal luas kawasan. Sosrowijayan Wetan sejak dahulu sudah padat penduduk dan berada di pusat kota. Sehingga tak banyak ruang untuk pengembangan area. Sedangkan di destinasi turis asing lain yakni Prawirotaman, cenderung luas dan potensial untuk dikembangkan.

Saat ini menurut perhitungan Edi ada sekitar 50 penginapan di kawasan Sosrowijayan Wetan. Meski saat berkeliling dan mengamati terlihat sepi, namun penginapan-penginapan ini masih terus bertahan. 

Dinamika dan upaya melepaskan citra Kampung Internasional dari Sarkem

Pandemi membuat para warga di sini belajar banyak. Berusaha mengembangkan sisi-sisi lain dari kampungnya. Mengingat, sebagian besar dari mereka hidup dari geliat pariwisata.

Edi punya harapan agar ke depan okupansi wisatawan bisa lebih tinggi. Sekaligus bisa lebih lama tinggal di kawasan ini. Untuk mewujudkannya, ia dan para warga berusaha untuk terus melakukan inovasi.

Mulai dari membuat pernak-pernik souvenir yang bisa menopang kebutuhan ekonomi. Hingga menggerakkan acara-acara yang dapat menarik minat para pengunjung ke kawasan ini. Ia punya prinsip kalau wisatawan itu ingin membelanjakan uangnya. Tinggal bagaimana menciptakan sesuatu yang menarik perhatian mereka.

“Kita juga buat paket wisata. Ada banyak cerita tentang kampung ini yang menarik untuk disampaikan. Jadi wisatawan tidak hanya menginap di sini, tapi berkegiatan dan memutarkan uangnya,” ujarnya.

Misalnya saja, ada tempat bersejarah yang dikenal dengan nama Panti Semedi di salah satu sudut kampung ini. Bangunan cagar budaya yang kini dikelola oleh romo dan pastor ini konon jadi tempat tinggal putri keraton yang menikah dengan suami berlatar belakang orang biasa.

“Jadi abdi dalem tumenggung. Bukan abdi dalem biasa. Konon ceritanya begitu. Nah kisah-kisah seperti ini yang juga ingin kita tawarkan,” paparnya.

Masjid Nurul Huda di Sosrowijayan Wetan. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Hal lain yang ingin dibangun adalah citra bahwa Sosrowijayan Wetan bukan tempat prostitusi. Kesalahpahaman ini yang kerap ditemui di kalangan masyarakat dan wisatawan. Prostitusi yang dikenal dengan Sarkem itu terpusat di Sosrowijayan Kulon saja.

Di waktu yang berbeda, saya juga menghubungi Ipung Purwandari. Perempuan yang kini menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta ini menjadi pendahulu Edi sebagai Ketua RW 2 Sosrowijayan Wetan. Saat masih menjadi Ketua RW hingga sekarang menduduki kursi legislatif, ia mengaku berupaya untuk mengubah wajah kampungnya.

Menurutnya, sebagai wilayah yang berpangku pada aspek pariwisata, Sosrowijayan Wetan memang perlu terus berupaya mempercantik diri. Saat mengurusi kampung dahulu, penataan kampung menjadi hal yang berupaya ia benahi.

“Utamanya ingin area itu jadi bersih. Tiang ekonomi di sana itu kan pariwisata, jadi harus bersih,” tegasnya.

Selain penataan dan kebersihan, demi menciptakan kampung yang kondusif, dahulu ia juga menerapkan jam tutup pagar penghubung RW 2 dan RW 3 saat malam hingga dini hari. Ini membantu mencegah hal-hal yang mengganggu kondusifitas saat malam.

“Tidak memungkiri bahwa apa yang terjadi di barat (prostitusi) sering berdampak ke sisi timur. Dinamikanya memang ruwet. Ada yang mabuk di sana kemudian saat pulang ke timur. Jadi saat malam kami tutup portal. Baru dibuka saat subuh,” jelasnya.

Selain itu, upaya memperbaiki citra juga melalui agenda seperti Festival Pasar Kembang yang sudah digelar beberapa tahun belakangan. Festival ini diharap bisa memberikan gambaran bahwa di kawasan ini banyak sekali potensi. Aspek sejarah hingga seni dan budaya yang bisa ditonjolkan.

Ipung menjelaskan bahwa saat ini, geliat wisata di tengah kota juga mengalami tantangan lain. Hal itu datang dari pembangunan jalan tol yang mengitari Jogja.

“Apalagi ada jalan tol. Orang bisa langsung ke bandara, langsung ke Borobudur, tanpa mampir, ini berpengaruh juga,” ujarnya.

Sebagai kampung yang hidup dari dan berkembang dari wisata, Sosrowijayan Wetan terus berbenah. Menggali potensi yang mereka miliki. Juga memperbaiki citranya. Biar orang tidak salah paham lagi.

Reportase tentang “Gara-gara Bule Kemalaman, Sosrowijayan Wetan di Jalan Sarkem Jadi Kampung Turis” menutup liputan Jogja Bawah Tanah yang mengusung tema Sarkem. 

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JBT sebelumnya:

 

Exit mobile version