Cerita dari Alumnus Sekolah Copet di Jogja dan Mitos Air Keran Polresta 

Di Jogja, pernah ada sekolah copet. Butuh waktu 4 bulan bagi calon copet untuk mempelajari ilmu dan teknik dalam dunia percopetan.

***

Bicara dunia percopetan Jogja, pasti penuh dengan kisah yang sering tak logis. Apalagi ketika sudah berurusan dengan klenik atau mistis. Namun, narasumber saya kali ini tidak setuju 100% dengan unsur klenik. Blio memandang bahwa dunia copet lebih dekat dengan keterampilan dan ilmu sulap. Meskipun memang ada satu dua hal yang cukup tidak masuk logika sains.

Beliau lebih nyaman dipanggil Yete (43). Saat saya tanyai mengapa memilih nama samaran itu, Mas Yete mengaku panggilan itu sudah disematkan padanya sejak masa sekolah. Ia mewanti-wanti saya untuk tidak menyebut nama aslinya. Bukan karena urusan keamanan semata, namun ada urusan hati yang harus Mas Yete jaga.

Perkara usia, saya sendiri kaget. Saya pikir pria di depan saya ini masih berusia 30-an. Ternyata selama ini saya punya kawan yang terhitung bapak-bapak. Toh memang seorang bapak, karena Mas Yete telah memiliki dua orang anak.

Pria ceking berambut mullet ini menceritakan awal mula dirinya masuk dalam dunia copet. Mas Yete terlahir di salah satu sudut Jogja yang boleh dibilang “sarang penyamun”. Banyak warga asli di lingkungan Mas Yete yang terjerumus di urusan kriminal. “Komplit mas! Ada maling, begal, residivis, sampai penipuan-penipuan gitu,” ujar Mas Yete sambil meliukkan tubuh sampai berbunyi.

Karena situasi lingkungan, sejak SMP Mas Yete sudah akrab dengan dunia copet. Apalagi paman Mas Yete juga termasuk veteran percopetan. Pada awalnya Mas Yete dulu sering membantu membuang dompet hasil copetan sang paman. Alasannya, Mas Yete tidak akan dicurigai orang saat membuang dompet di semak ataupun tepi jalan.

Alasannya memang cukup mulia. Paman Mas Yete dan pencopet lain memang tidak membutuhkan dompet dan kartu identitas di dalamnya. Yang mereka butuhkan hanyalah uang. Mereka berharap, dompet tersebut akan ditemukan orang dan akan dikembalikan ke pemiliknya. Mereka tidak mengembalikan sendiri dengan alasan masuk akal: datang mengembalikan dompet ke korban copet mereka sama saja bunuh diri.

Mengirimkan kembali dompet mereka via pos juga tidak menguntungkan dan masih menyimpan potensi bahaya. “Lha kadang alamat mereka juga luar Jogja, malah rugi aku,” ujar Mas Yete. Jadi membuang dompet dengan harapan mulia ini jadi pilihan terakhir.

Gagal masuk Akmil, masuk sekolah copet

Dari kegiatan membuang dompet ini, Mas Yete mulai diajari untuk mencopet. Tapi Mas Yete belum tertarik untuk jadi tukang copet. Perkara moral dan cita-cita ketika muda yang menjadi penghalang. Karena Mas Yete masih berharap untuk jadi ABRI alias TNI. Semata-mata agar mendapat uang pensiun.

Setelah gagal ikut tes akademi militer, Mas Yete mulai kebingungan dalam mencari nafkah. Di satu sisi, Mas Yete tidak ingin merepotkan orang tua. Namun, di sisi lain, Mas Yete tidak memiliki kemampuan khusus dan ijazah selain ijazah SMA. Sedangkan pengeluaran Mas Yete makin tinggi untuk memenuhi gaya hidup. Makin lama, Mas Yete memilih untuk mencari jalan mudah dengan mencopet.

Awalnya Mas Yete mengira menjadi copet adalah hal mudah. Namun sebelum nekat untuk mencopet, paman Mas Yete mencegah. Sang paman memaksa Mas Yete untuk “sekolah” copet dulu. “Yo lucu tho, jadi copet saja ada sekolahnya,” ujar Mas Yete sambil terkekeh sambil menyeruput kopi hitam panas.

Pendidikan copet ini tidak lagi dibimbing sang paman. Mas Yete akhirnya bergabung ke “asrama” tempat guru sang paman dulu belajar. Mas Yete benar-benar seperti di asrama, karena memang mondok di rumah sang guru. Seingat Mas Yete, ada belasan orang yang belajar dengan guru copet tersebut. Tapi hanya dua orang selain Mas Yete yang sampai mondok. 

“Padahal, jarak rumah guru saya dan rumah bapak nggak jauh. Tapi aku tetap disuruh mondok biar jago,” imbuh Mas Yete.

Sekitar 4 bulan Mas Yete mondok di rumah guru copet. Setiap hari, Mas Yete belajar berbagai kemampuan yang diperlukan Mas Yete. Sayang sekali, ia tidak berkenan jika saya tuliskan semua pelajaran yang diterima. “Nanti jadi dosa jariyahku mas, ojo yo,” desak Mas Yete dengan raut muka serius.

Tapi ada satu pelajaran yang menarik dan bisa saya tulis. Mas Yete dilatih untuk mengambil bola biliar di dalam gelas belimbing yang penuh air. Syaratnya adalah air tidak boleh tumpah saat bola diambil. Syarat kedua adalah bola biliar tersebut harus diambil dengan jari telunjuk, tengah, dan manis.

Latihan itu untuk melatih kesabaran dan kehati-hatian seorang pencopet. Namun, satu latihan ini tidak cukup untuk mengasah kemampuan untuk mencopet. Ada banyak hal dari kelihaian tangan dan kepekaan mata agar seseorang bisa menjadi tukang copet yang andal. “Seperti belajar sulap, tangan harus lincah dan waswes,” imbuh Mas Yete.

Pickpocket jadi salah satu keahlian dalam dunia sulap

Selain digojlok dengan latihan keterampilan ini, Mas Yete juga diajari ilmu kanuragan. Ia harus puasa di waktu tertentu, bermeditasi, sampai bertapa di dalam sungai. Alasannya agar nanti saat beraksi, Mas Yete bisa seperti hembusan angin saja. Meskipun tidak percaya, tapi mau tidak mau harus Mas Yete lakukan.

Setelah masuk bulan ketiga, Mas Yete dan “siswa” lain ditantang untuk mencopet oleh Sang Guru. Targetnya, mereka harus mendapat 5 dompet lengkap dengan KTP. Dan 5 KTP tersebut harus berbeda kota. Mereka hanya diberi waktu 2 minggu atau mendapat hukuman. Namun, tidak ada yang gagal untuk tantangan dari Sang Guru, termasuk Mas Yete.

Tugas pertama, 5 dompet dalam 2 minggu

Setelah lulus pendidikan, Mas Yete pulang ke rumah. Mas Yete baru tahu bahwa sang paman telah meninggal karena overdosis minuman keras. Mas Yete makin terkejut setelah tahu sang paman membohongi orang tua Mas Yete. Sang Paman mengaku bahwa Mas Yete sedang mengambil kursus otomotif. Orang tua Mas Yete juga memberikan sejumlah uang yang akhirnya digunakan untuk membayar SPP sekolah copet Mas Yete.

Saat saya meminta agar Mas Yete memperagakan aksi mencopet yang ia pelajari di sekolah copet, ia hanya tertawa. Namun, saya baru sadar bahwa dompet saya telah berada di atas meja. Mas Yete mengiyakan jika yang meletakkan adalah dirinya. Ketika saya ingin Mas Yete mengulangi untuk visualisasi, Mas Yete menolak mentah-mentah. Saya baru sadar, ada tato khas di tangan Mas Yete. Sekali tato itu tertangkap kamera, akan mudah untuk menebak siapa si pencopet itu.

Tahun 2000-an menjadi awal tahun Mas Yete menjadi pencopet. Awalnya, Mas Yete mencopet di pasar dekat rumahnya. Namun, karena takut ketahuan tetangga, Mas Yete pindah lokasi ke area Pasar Beringharjo dan Malioboro. Di sana, sekitar 5 orang pencopet yang pernah sekolah bersama Mas Yete juga beroperasi.

Meskipun lebih banyak copet yang beroperasi di Malioboro, Mas Yete tetap meraup untung yang lumayan. Pada tahun 2000-an itu, minimal Mas Yete mendapat 50 ribu rupiah tiap beraksi. Mas Yete tidak menjadi pencopet full time, karena ada sebuah sistem yang mirip shifting dalam pekerjaan. Mas Yete enggan menjelaskan lebih lanjut, karena menurutnya sistem ini masih berjalan dan masih jadi rahasia para pencopet.

Mas Yete juga mencoba peruntungan dengan mencopet di tempat wisata kenamaan. Dari Candi Prambanan sampai Parangtritis pernah Mas Yete datangi. Ia makin semangat mencopet semenjak sang ayah meninggal dan ibunya mulai sakit-sakitan. Dengan semangat membara ini, Mas Yete minimal mengantongi uang 3 juta per bulan.

Mas Yete bersyukur karena tidak pernah tertangkap oleh aparat. Namun, beberapa kali Mas Yete hampir dikeroyok warga karena hampir ketahuan. Mas Yete juga pernah diludahi korban copet beberapa kali. Saya pernah mengetahui mitos bahwa meludahi wajah pencopet punya efek buruk bagi pencopet.

Menurut mitos tersebut, meludahi wajah pencopet menyebabkan si pencopet akan tertimpa sial. Maka setelah diludahi, biasanya si pencopet akan kabur sambil meninggalkan dompet curiannya. Mas Yete membenarkan mitos ini. Memang urusan meludahi menjadi hukum tidak tertulis para pencopet. 

Namun, perkara kena sial, Mas Yete kurang sepakat. “Kalau sudah diludahi, kemungkinan orang sekitar akan tersadar dan bisa menghakimi si pencopet. Makanya kami akan langsung lari,” terang Mas Yete sambil kembali meliukkan tubuh sampai berbunyi.

Kawasan Malioboro dulu jadi tempat kerja Mas Yete menjadi pencopet. (Ilustrasi Foto Eko Susanto/Mojok.co)

Mas Yete memang menolak berbagai mitos tentang dunia copet. Menurutnya, copet adalah ilmu keterampilan yang perlu diasah. Puasa dan latihan fisik hanya membantu pencopet menjadi lebih gesit. Namun, sisanya hanyalah perkara ketangkasan tangan mengambil dompet.

Mitos air keran Polrestabes Jogja

Tapi ada satu mitos yang dipercaya Mas Yete. Menurutnya, para pencopet yang dihakimi massa akan merengek untuk dibawa ke Polrestabes Jogja. Apalagi jika tertangkap di area Malioboro. Alasannya cukup mencengangkan: air keran di Polrestabes Jogja bisa menyembuhkan luka dan lebam pasca-dihakimi massa.

“Bukan menyembuhkan secara langsung, tapi membuat badan tidak sakit,” tekan Mas Yete. Biasanya, para pencopet malang ini akan diguyur air keran ketika sampai di Polrestabes. Setelah diguyur, rasa nyeri dan bengkak berangsur-angsur reda. Namun, tidak dengan luka dan lebam biru. Luka dan lebam tetap terlihat, namun sakit sudah tidak terasa. Tapi Mas Yete belum pernah membuktikan langsung. Karena memang tidak pernah tertangkap.

Tapi tahun 2007 menjadi akhir dari perjalanan Mas Yete sebagai pencopet. Tahun tersebut Mas Yete menikahi kekasihnya. Alasannya cukup klasik, “Gara-gara hamil mas.” Semenjak menikah, Mas Yete mulai mempertimbangkan perkara mencopet ini.

Istri dan keluarga inti Mas Yete tidak pernah tahu perihal copet ini. Bahkan sampai detik ini, sang istri dan kedua anaknya tetap tidak tahu sisi gelap ini. Mas Yete khawatir jika tetap mencopet, nanti keluarganya akan mengetahui. Mas Yete bertekad untuk menjauhi dunia copet setelah menikah. Bahkan mewanti-wanti tetangga dan temannya agar tidak membocorkan sisi gelap Mas Yete.

Mas Yete mengalami tekanan besar. Selain moril, urusan ekonomi juga menghantui. Apalagi selama 7 tahun Mas Yete hidup dari mencopet. Untuk mencari pekerjaan yang layak juga makin sulit. Sempat terbesit untuk kembali mencopet. Terutama semenjak sang ibu mulai membutuhkan biaya besar untuk berobat.

“Tapi aku wegah mas. Mending aku jual ginjal saja,” kenang Mas Yete dengan muram. Beruntung, istri Mas Yete sukses mengembangkan bisnis katering kecil-kecilan. Mas Yete juga mendapat pekerjaan yang cukup layak secara ekonomi. Namun, sang ibu telah berpulang ketika Mas Yete mulai hidup mapan.

Meninggalnya sang ibu dan kehamilan anak kedua benar-benar mengubah jalan hidup Mas Yete. Hari ini, Mas Yete bekerja sebagai sopir dengan gaji yang layak menurut ukuran Jogja. Sang istri juga membuka toko kelontong untuk menambah penghasilan.

“Aku mau cerita ke kamu biar hatiku plong. Biar makin mantap tekadku untuk jauh dari dunia kriminal. Sekarang hidupku sudah nggenah. Istri dan anak-anakku sudah tercukupi meskipun pas-pasan. Pokoknya, ini terakhir aku membahas perkara itu,” tekan Mas Yete sekaligus mengakhiri obrolan kami.

Waktu makin malam, dan Mas Yete sudah mulai kepikiran anak terkecilnya. Akhirnya kami bersepakat meninggalkan titik temu ini. Ketika beranjak, saya langsung panik memegang bagian pantat. Tentu memastikan dompet saya telah tersimpan dengan aman. Setelah yakin aman, saya melirik Mas Yete.

“Asu!” Umpat Mas Yete sambil terkekeh. Memahami tatapan curiga saya kepada si mantan pencopet ini.

 

Reporter: Dimas Prabu Yudianto

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Tempe dan Puli yang Berjodoh Empat Generasi di Warung Mbak Puji  dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version