Ironi Pleret, Sejarah Yogyakarta yang Terlupakan

Kini, sebuah ironi terasa, banyak cerita masih terkubur, di bawah pikuk Yogyakarta dengan segala cerita tentangnya.

Ironi Pleret, Sejarah Yogyakarta yang Terlupakan MOJOK.CO

Pleret terletak 12 km di selatan Malioboro. Dulu, orang mungkin akan mengingat Pleret dengan pasar loakan tempat anak muda berburu suku cadang sepeda motor modifikasi. Kini tentu saja tempat ini identik dengan sate klatak. Jauh sebelum itu semua, Pleret sebetulnya merupakan kota besar tempat di mana ibukota Kerajaan Mataram Islam berada. Sejarah Yogyakarta yang dilupakan. Sebuah ironi.

Pagi itu, Rabu (29/9) saya pacu motor saya dari Sleman barat ke Bantul. Sampai di Jalan Jejeran-Pleret, ke selatan menuju Dusun Kanggotan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di pertigaan perbatasan Dusun Kanggotan dan Kerto saya kembali berbelok ke kiri lalu berhenti di depan area berpagar teralis. Tiga buah gembok digantungkan di pintu tapi dalam kondisi tidak terkunci sehingga siapa pun bisa masuk.

Saya datang terakhir ke tempat ini sekitar empat bulan yang lalu. Kini saya lihat ada beberapa patok beserta galian baru. Sebuah WhatsApp Story saya buat, seorang kawan bertanya tempat apa itu. Bekas kraton Sultan Agung di Kecamatan Pleret, terang saya. “Hah, ada to?” balasnya penuh heran.

Situs Kerto dari luar pagar. Foto Syaeful Cahyadi.

Tempat ini mirip sebuah kebun kosong dikelilingi pagar. Di bagian dalamnya, terdapat beberapa galian yang memperlihatkan fondasi Kraton Kerto, ibukota Mataram Islam semasa Sultan Agung (1613-1645). Ada pula dua umpak batu besar. Namun, itu hanya bisa dilihat jika kita masuk ke dalam. Sebuah ironi sudah saya rasakan.

Satu-satunya keterangan bahwa tempat itu merupakan situs bersejarah adalah papan nama dari batu bertuliskan “Cagar Budaya Situs Kerto”. Beberapa sumber menuliskan area ini memiliki luas 2.000 meter persegi.

Sekitar 15 menit saya berkeliling di dalam area lalu keluar untuk bertemu warga sekitar. Saya bertemu dengan Sumardi (70) seorang warga Dusun Kerto yang tinggal tepat di sebelah Situs. Saya berbincang dengannya tepat di sebelah bekas ibukota Mataram Islam masa Sultan Agung, tempat sang raja besar Mataram mengkonsolidasikan kekuatan politiknya hingga ia bisa membawa Mataram menguasai wilayah lebih dari setengah Pulau Jawa, bahkan hingga memikili vasal di luar Jawa.

Sejarawan De Graaf dalam pengantar buku Awal Kebangkitan Mataram bahkan secara dramatis mengatakan bahwa Mataram baru muncul bersama nama Sultan Agung dan masa sebelumnya dianaktirikan bahkan dalam sejarah Yogyakarta, apalagi Jawa itu sendiri. Sebuah ironi.

Sumardi, warga sekitar Situs Kerto. Foto Syaeful Cahyadi.

Sumardi berkisah di masa ia kecil tempat yang kini dinamakan Situs Kerto adalah kebun dengan pepohonan besar. “Dahulu, tempatnya sepi dan bikin takut, Mas,” kisahnya. Saya lantas mengkhayal, jangan-jangan, tempat kami berbincang ini adalah lokasi penting di Kraton Kerto masa lalu.

Pria sepuh itu bercerita banyak hal. Mulai dari kejadian mistis setelah pemindahan umpak hasil penemuan di situs hingga pengalaman seorang warga menemui penampakan ular besar setelah pepohonan ditebangi kala Sumardi masih muda.

Darinya, saya juga menemukan kisah bahwa lokasi ini—walaupun merupakan bekas kraton—tidaklah mempunyai hubungan khusus dengan sejarah Dusun Kerto. Tidak ada acara khusus dan rutin dilakukan warga di bekas kraton ini. Sebuah ironi, mengingat pentingnya lokasi ini dalam sejarah Yogyakarta.

“Sebenarnya ya sayang, Mas, andaikan ini digali lagi dan ditata sepertinya akan bikin dusun ini gayeng,” lanjutnya. Setengah jam berlalu dari perjumpaan dengan Sumardi, saya izin pamit. Ia melepas saya dengan keramahannya.

Ironi kota tua

Yogyakarta, sebagai kerajaan merdeka, berdiri pada 1755, setelah Mataram Islam dibagi jadi dua kerajaan merdeka sebagai konsekuensi Perjanjian Giyanti. Tidak cukup sampai di situ, kelak, dua kerajaan hasil pecahan itu kembali dipecah menjadi 4 kerajaan. Masa ini juga dianggap sebagai babak akhir Mataram Islam sebagai kerajaan besar di Jawa setelah masa Majapahit.

Jauh sebelum Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, tiga wilayah di administrasi provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadi tempat penting bagi perjalanan Mataram Islam. Tempat pertama adalah Kotagede (Kutagedhe jika menggunakan penamaan masa itu), Kerto, dan wilayah sekitar Pleret (masa itu disebut dengan Plered).

Tempat pertama adalah lokasi awal berdirinya Mataram Islam dengan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati sebagai raja pertama. Sementara, Kerto adalah ibukota Mataram di setelah dipindah dari Kotagede. Lalu, Plered adalah ibukota selanjutnya setelah pindah dari Kerto.

Tanda galian Situs Kerto. Foto Syaeful Cahyadi.

Hari ini, orang-orang boleh saja mengira tidak ada sesuatu spesial tentang Pleret. Namun, andai bisa kembali ke tahun 1620-1640, kita mungkin akan menemukan Pleret sebagai kota ramai dengan pagar di sekeliling ibukota. Kalau menengoknya di antara 1628 dan 1629, kita mungkin akan melihat apel pasukan Mataram Islam di alun-alun Kerto sebelum mereka diberangkatkan untuk menyerang ke Batavia atau pemandangan hilir mudik utusan dari berbagai kerajaan Nusantara untuk datang menemui raja Mataram Islam.

Mataram memasuki raja ketiga di masa Sultan Agung yang berkuasa sejak 1613. Di masa pemerintahannya, sang raja memutuskan pembangunan kraton baru di Kerto, tujuh km di selatan Kotagede. Setelah Sultan Agung mangkat pada 1645, posisi raja digantikan sang putra mahkota, Pangeran Aria Mataram yang naik tahta dengan gelar Amangkurat I atau Amangkurat Agung (bertahta hingga 1677).

Di masa Amangkurat Agung, ibukota Mataram Islam sedikit bergeser ke wilayah timur menuju daerah bernama Plered. Di tempat baru itu, Amangkurat Agung memerintahkan pembangunan istana baru secara lebih megah dan besar yang disebut Purarya. Tidak seperti Kraton Kerto dengan struktur kayu pada bangunannya, Kraton Plered sudah menggunakan struktur bata dan dikelilingi parit irigasi dari bendungan Sungai Opak di selatan istana. Pembangunan kraton baru itu melibatkan ratusan ribu orang dari berbagai vasal Mataram.

Saat wilayah lain di Alas Mentaok mungkin masih berupa hutan lebat atau tanah tak bertuan, daerah di Kecamatan Pleret ternyata sudah menjadi pusat ibukota Mataram Islam, kerajaan besar di Jawa masa itu. Rasanya, menyebut Pleret sebagai sebuah kota tua tidaklah berlebihan. Jauh lebih ke belakang lagi, nama plered sendiri sudah disebut, contohnya dalam buku Awal Kebangkitan Mataram karya De Graaf, sebagai nama sebuah pusaka di awal pendirian Mataram Islam, tombak Kyai Plered.

Sebuah ironi, situs-situs yang terlupakan di Yogyakarta

Persinggahan saya selanjutnya menuju ke Dusun Kauman, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar 1,5 km timur Situs Kerto. Saya memasuki sebuah area berpagar seluas 40 x 40 meter dengan banyak bekas galian beratap seng. Tempat ini adalah situs Masjid Agung Plered. Sebuah masjid kraton di masa Amangkurat Agung, penerus Sultan Agung.

Banyaknya situs sejarah di Kecamatan Pleret menunjukkan betapa penting dan strategis wilayah ini pada masa Mataram Islam. Dua bekas kraton Mataram Islam saja hanya berjarak sekitar satu kilometer. Pertama adalah Situs Kerto. Kedua, Situs Kedhaton Pleret yang kini menjadi bagian dari Museum Sejarah Purbakala Pleret. Mudah menemukan berbagai peninggalan kraton Mataram Islam masa Amangkurat Agung di Kecamatan Pleret.

Situs Masjid Agung Plered di Dusun Kauman, Pleret. Foto Syaeful Cahyadi.

Ayu Oktafi (32) seorang edukator Museum Sejarah Purbakala Pleret, mengatakan bahwa berdasarkan peta dan penemuan struktur, keliling kedhaton (tempat tinggal utama raja) Kraton Plered diperkirakan mencapai angka 2.256 meter. Sementara luas Kraton Plered sendiri diperkirakan mencapai 34 hektar, luas yang fantastis. Sebagai perbandingan, luas Kraton Yogyakarta sekarang menurut situs resmi Dinas Pariwisata Yogyakarta adalah 14 hektar atau tidak sampai setengah dari luas Kraton Plered.

Situs Kraton Kerto, Situs Kedhaton Plered, Situs Masjid Agung Plered, bersama dengan Situs Makam Ratu Malang sebenarnya adalah bagian dari kawasan Cagar Budaya Kerto-Plered dan sudah ditetapkan sejak tahun 2019 oleh Gubernur DIY dengan SK No. 211/KEP/2019. Area ini meliputi wilayah seluas 482 hektar. Selain keempat tempat tadi, ada pula beberapa bekas benteng Kraton Plered yang masih bisa dilihat sampai hari ini, salah satunya adalah benteng kraton sebelah timur kedhaton Kraton Plered.

Museum sejarah purbakala Pleret, lokasi ini dulunya adalah bekas Kedhaton semasa Kraton Plered. Foto Syaeful Cahyadi.

Keberadaan museum tersebut juga bukan hanya sekadar menandai bahwa di tempat itu dulunya adalah Kraton Plered. Tempat itu juga digunakan untuk menyimpan hasil penemuan benda sejarah dari seluruh wilayah Bantul dari masa pra-sejarah, masa Hindu Buddha, masa Islam, dan masa kolonial. Di bagian depan museum, terdapat sumur gumuling yang diduga sudah ada sejak masa Kraton Plered. Hanya saja, sampai saat ini belum bisa dibuktikan kebenarannya.

Adanya SK Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan keberadaan Museum Sejarah Purbakala Pleret adalah dua bukti cukup kuat untuk mengatakan bahwa wilayah Kecamatan Pleret sekarang merupakan tempat penting pada masa lalu. Ironi yang terjadi, seturut keterangan Ayu Oktafi, animo kunjungan masyarakat masih rendah. “Masih kurang, Mas, walaupun sebenarnya banyak pengunjung dari luar kota kota,” terangnya.

Jalan panjang kehancuran

Sultan Agung boleh saja dikenal sebagai raja besar Mataram Islam di masanya. Pleret boleh saja menjadi tempat penting bagi kerajaan itu di masa Amangkurat Agung. Namun hari ini, semua itu tinggal satu-dua peninggalan di situs-situs sekitar Pleret. Beberapa mungkin belum ditemukan dan digali, sementara lainnya “hanya” berupa batu dan batu bata, sesuatu kurang dianggap menarik bagi mereka yang tidak benar-benar tertarik dengan sejarah. Namun, hal itu tentu saja bukan tanpa alasan. Ada rangkaian peristiwa masa lalu di dua tempat ini sehingga hanya tinggal tersisa sedikit saja.

Di senjakala kekuasannya pada 1677, Amangkurat Agung meninggalkan Kraton Plered karena adanya serangan dari Trunojoyo. Kraton yang telah ditinggalkan raja dan jajarannya itu lantas dijarah dan dirusak habis-habisan oleh pasukan pemberontak. Amangkurat I lantas meninggal saat masa pelariannya di daerah bernama Tegal Wangi, kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Setelah masa itu, ibukota Mataram Islam berpindah ke Kartasura, perpindahan ketiga kalinya terjadi dalam sejarah kerajaan tersebut.

Ironi galian di Situs Kerto yang tidak dilanjutkan. Foto Syaeful Cahyadi.

Pegiat budaya dari Yayasan Warisan Mataram Pleret, Nurdi Antoro (55), mempunyai penjelasan menarik mengenai ironi kehancuran Kraton Plered. Menurutnya, ini adalah dampak dari penghapusan sejarah secara struktural oleh pemerintah kolonial Belanda. Bagi pria yang masih mempunyai garis keturunan dengan Sultan Agung itu, Sultan Agung adalah raja besar dengan jiwa nasionalis. Jika sejarah itu terpelihara, dikhawatirkan akan membahayakan kepentingan pemerintah kolonial. Maka, setelah kraton Mataram Islam berpindah lagi dari Plered ke Kartasura, riwayat dua bekas lokasi kraton di Pleret dan Kerto sebisa mungkin dihapuskan.

Masih seturut Nurdi, ironi penghancuran dan penghapusan sejarah secara sistematis juga terjadi di ranah cerita. Ia mencontohkan bagaimana sosok Amangkurat Agung digambarkan sebagai raja kejam dalam banyak versi cerita. “Padahal, kita tidak pernah tahu seperti apa beliau dan anggapan itu telah membuat kita lupa segala kehebatan Amangkurat Agung di bidang lain seperti dalam bidang budaya dan arsitektur,” ungkapnya.

Ironi penghancuran sejarah itu, masih menurut Nurdi, tidak berhenti begitu saja selepas Kraton ditinggalkan. Saat pecah Perang Jawa, benteng Kraton Plered sempat digunakan sebagai salah satu benteng pasukan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, benteng itu dibombardir habis-habisan oleh pasukan Belanda sekalipun telah ditinggalkan oleh pasukan Diponegoro yang sebelumnya menduduki area itu.

Situs Kerto dari luar tampak seperti kebun berpagar. Foto Syaeful Cahyadi.

Lalu menjelang tahun 1900-an, di Pleret berdiri pabrik gula Kedhaton Pleret dan bahan pembangunannya diambil dari bekas konstruksi Kraton Plered. Demi pembangunan itu, masyarakat sekitar juga diperintahkan membuat semen merah, semen dari tumbukan batu bata. Dan karena pemerintah Belanda berani membeli dengan harga tinggi, maka masyarakat berbondong-bondong membuat. “Dari mana mereka dapat bahan baku? Ya dari bekas Kraton Plered,” terang Nurdi. Pria itu kembali mengatakan, bahkan di masa pendudukan Jepang penjarahan sisa struktur bangunan Kraton Plered juga masih terus dilakukan.

Ironi Pleret

Masa Sultan Agung dan Amangkurat Agung sudah berlalu sejak ratusan tahun silam. Tempat mereka berkuasa hari ini tinggallah sisa-sisa, beberapa orang tahu, beberapa lainnya tidak. Bahkan, rekan saya yang penduduk Pleret pun tidak tahu jika di sebelah dusunnya terdapat dua bekas kraton.

Kini, Yogyakarta telah menjadi kerajaan merdeka setelah adanya perjanjian Giyanti dan Mataram Islam dibagi menjadi dua kerajaan. Saat ini, bekas kraton Mataram Islam di wilayah adminstratif Yogyakarta tersebar di 3 tempat yaitu Kotagede, Situs Kerto, dan Situs Kedhaton Plered.

Di sisi lain, sejarah tidak selalu soal peninggalan berupa benda. Plered dan Kerto boleh saja hancur secara fisik, tetapi dua tempat itu masih tetap meninggalkan banyak peninggalan dalam wujud lain. Beberapa peninggalan itu bahkan mempengaruhi kebudayaan Jawa kiwari dan masih bisa ditemukan di masyarakat Yogyakarta.

Jika masyarakat Jawa hari ini mengenal sistem penanggalan Jawa, maka itu adalah satu peninggalan dari Sultan Agung yang membangun Kraton Kerto. Sultan Agung memang raja besar Mataram dengan perhatian besar pada seni, budaya, dan keagamaan. Peninggalan lain dari Sultan Agung adalah sholawat jawi, salah satunya sholawat montro. Peninggalan penting lain dari masa Sultan Agung adalah pemakaman raja di Imogiri yang dibangun pada tahun 1632.

Di masa Amangkurat Agung, kebanyakan halaman sejarah memang menuliskannya sebagai raja kejam. Namun, raja satu ini tetap menaruh perhatian besar pada urusan agama. Bukti sederhananya, Kraton Plered memiliki masjid agung luas, 40 x 40 meter. Atau, tata letak kraton di masanya yang tidak biasa dengan parit mengelilingi istana. Sekilas, kita mungkin membayangkannya mirip dengan istana di film-film.

Bagi Nurdi Antoro, Sultan Agung juga meninggalkan banyak hal dan beberapa di antaranya masih mudah ditemukan. Ia mencontohkan adanya ingkung ayam yang dikenal berasal dari daerah Pajangan, padahal sejatinya adalah makanan raja masa Sultan Agung. Atau, dodol garut, bekal makanan pasukan Mataram saat penyerangan ke Batavia. Contoh lain menurut Nurdi adalah adanya nama desa Pleret di Purwakarta sebagai tempat pemukiman para prajurit Mataram setelah memilih tidak pulang dari penyerangan ke Batavia.

Adanya bekas Kraton Plered di wilayah Kecamatan Pleret juga meninggalkan banyak peninggalan toponim khas di wilayah itu. Beberapa nama tempat mempunyai arti dan hubungan dengan peristiwa sejarah di masa lalu. Seperti contoh adanya nama Kalurahan Segoroyoso, dulunya merupakan sebutan bendungan Sungai Opak di sebelah selatan kraton. Ada pula nama Dusun Kauman, tempat dibangunnya Masjid Agung Kraton Plered. Sementara, dusun tempat beradanya Museum Purbakala Plered disebut sebagai Dusun Kedhaton, berarti tempat tinggal utama bagi raja.

 

Galian di sudut selatan Situs Kerto. Foto Syaeful Cahyadi.

Ayu Oktafi mengatakan, sejatinya keberadaan Museum Sejarah Purbakala Pleret adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Peninggalan-peninggalan di atas tentu saja belum semua, masih banyak peninggalan tak benda lain, berupa cerita rakyat yang masih eksis hingga hari ini.

Penjelasan Ayu Oktafi di atas rasanya bukanlah sebuah kata-kata normatif semata. Dari nama-nama tempat di sekitar Pleret saja, mudah menduga bahwa tempat itu bukanlah tanpa cerita. Bagaimana mungkin contohnya, sebuah dusun dinamai Kauman, jika dahulu tempat itu tidak digunakan sebagai tempat tinggal para pemuka agama.

Dan tempat-tempat itu, ironisnya, tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Sebuah tempat dengan sejarah panjang dan meninggalkan banyak pondasi kebudayaan bagi masyarakat hari ini namun terlupakan dari hingar bingar kota budaya sekaligus kota wisata.

Saya lantas mengakhiri perjalanan hari itu dengan rute pulang berbeda melewati Jalan Parangtritis, Pojok Beteng, lalu melintasi alun-alun utara Kraton Yogyakarta yang kini telah dipasangi pagar senilai 2,3 miliar. Berbelok ke arah utara, saya melintasi nol kilometer Yogyakarta yang hobi direnovasi itu.

“Sebagai orang Jawa, kita itu diajarkan untuk bisa mikul duwur mendhem jero, peninggalan baik leluhur kita lestarikan dan yang buruk kita tutupi,” tiba-tiba saya teringat perkataan Nurdi Antoro. Dan saya pun tiba-tiba teringat, Yogyakarta punya Dana Keistimewaan dengan nominal luar biasa setiap tahunnya. Pikiran liar berkelana, membayangkan Pleret diberi lebih banyak sentuhan dan perhatian supaya sejarah panjang di sana tidak hilang begitu saja. Sebuah ironi dari Yogyakarta yang katanya punya cerita.

Toh, Mataram Islam rasanya adalah bagian tidak langsung dari perjalanan sejarah panjang kota ini. Saya masih membayangkan, aneka situs di Pleret akan bisa lebih menarik di masa mendatang, demi menjaga dan mempertahankan sejarah panjang sekaligus aneka pelajaran berharga dari sana.

Mikul duwur mendhem jero, ah, Pleret di masa lalu pernah sedemikian berarti sangat duwur, tinggi, penting, ramai. Pusat kekuasaan, politik, dan kebudayaan ratusan tahun silam. Lalu kini, mungkin saja banyak cerita di sana masih harus ter-pendhem jero, terkubur dalam ironi, di bawah hiruk pikuk Yogyakarta dengan segala cerita tentangnya.

BACA JUGA Alasan Musisi Jalanan Tetap Menyanyi di Perempatan Jalanan Walau Suara Tak Didengarkan dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version