Pernahkah kamu mendengar guyonan peyoratif semacam: “Jamet”, “Jawa Hama”, “Jawa Kuli”, sampai “Jawa Pemalas”? Ya, itu bukan cerita baru, khususnya olok-olok yang terakhir. Sejak zaman penjajahan, orang-orang Jawa memang sudah mendapat stereotipe sebagai bangsa yang malas.
Sialnya, label negatif itu bahkan melekat hingga sekarang.
Namun, buku The Myth of the Lazy Native membongkar stigma itu. Buku karya Syed Hussein Alatas ini menyebut bahwa pelabelan pemalas cuma pandangan bias penjajah yang kesal melihat pribumi tak mau dieksploitasi. Bagaimana ceritanya?
Melayu dan Jawa di mata Barat, pada awalnya
Sejak lima abad yang lalu, bangsa Barat telah merumuskan cara pandang mereka terhadap orang-orang di Asia Tenggara. Khususnya bangsa Melayu dan Jawa.
Kisah paling awal dicatat oleh Tom Pires, penjelajah asal Portugis yang mengunjungi Asia Tenggara awal abad ke-14 lalu. Menurut Pires, orang-orang Melayu adalah bangsa yang pencemburu.
“Karena para istri orang-orang penting tidak pernah terlihat di muka umum. Jika akan bepergian, mereka akan menggunakan kereta kuda tertutup dan dilakukan bersama-sama,” tulis Tom Pires dalam karya monumentalnya, Suma Oriental.
Setelah Tom Pires, penjelajah Portugis lain, Duarte Barbossa, juga punya deskripsinya. Baginya, orang-orang Melayu, terutama yang muslim, adalah masyarakat ramah, penyayang, dan lembut. Sementara orang Jawa dia gambarkan sebagai bangsa yang kuat, terampil, dan pandai membuat perahu serta senjata tradisional.
Pandangan Barbossa kurang lebih sama dengan Emanuel Godhino de Eredia dan John Francis Gemelli Careri yang datang berangsur-angsur seabad dan dua abad setelahnya. Intinya, mereka melihat orang-orang pribumi, terutama muslim sebagai karakter unik.
Di satu sisi, kelompok masyarakat mereka amat taat beragama. Namun, di sisi lain, mereka juga menormalisasi kebohongan, pencurian, bahkan kecurangan saat berdagang.
Jawa, bangsa yang mandiri
Tiga abad setelah Tom Pires, Sir Thomas Stamford Raffles memasuki Nusantara. Kala itu, dia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada 1811-1816.
Meski usia jabatannya cuma setengah dekade, boleh dibilang Raffles menjadi satu dari sekian banyak orang Barat yang sangat mengagumi Jawa. Banyak pepatah bahkan mengatakan, “setengah hati Raffles masih berada di Jawa ketika dia pergi.”
Maka tak heran, dia berhasil menyusun risalah penting History of Java. Karya ini menjadi buku babon bagi para sejarawan untuk memahami bangsa Jawa pada konteks masa kolonial. Meski kesimpulan-kesimpulan yang ditulis Raffles cukup bias dan eropasentris, setidaknya temuan-temuannya amat presisi dan “jujur”.
Yang paling menarik, adalah deskripsi Raffles tentang orang Jawa itu sendiri. Menurut Raffles, orang Jawa itu unik karena meski hidup sederhana, mereka bisa mandiri.
Misalnya, dari segi pakaian, dia melihat rakyat biasa memakai kain lusuh. “Laki-laki bertelanjang dada,” kata dia, “sementara perempuan menggunakan kain penutup dada.”
Rumah-rumah juga tampak sederhana. Berdinding kayu dan beratap ilalang. Uniknya, perabotan rumah hingga atap ilalang, mereka bikin sendiri. Bagi Raffles, orang-orang Jawa ini sangat kreatif–meski dalam beberapa penggalan tulisan, dia menegaskan orang Jawa itu “primitif”. Tak cuma kreatif, mereka juga ulet: bekerja di sawah, berangkat pagi dan pulang petang.
Orang Jawa dicap pemalas gara-gara nggak mau dieksploitasi penjajah
Sejak dicetuskannya sistem tanam paksa alias cultuurstelsel pada 1830, pandangan terhadap orang Jawa berubah 180 derajat. Orang Jawa, yang awalnya disebut ulet–meski dengan sikap primitifnya–justru berbalik mendapat stigma pemalas.
Syed Hussein Alatas dalam The Myth of the Lazy Native (terj. Mitos Pribumi Malas) menjelaskan asal-usul stigma malas tersebut. Berdasarkan temuannya, Alatas berkesimpulan kalau label “malas”, sebenarnya adalah cara menjustifikasi penjajahan serta mengabaikan perlawanan terhadap rezim kolonial Hindia Belanda.
Memasuki abad ke-18, kerja-kerja yang diakui pemerintah kolonial hanyalah yang punya orientasi industri. Misalnya, dalam konteks Jawa, para petani dipaksa menanam komoditas yang cuma diinginkan oleh pemerintah kolonial. Imbasnya, sistem kerja masyarakat pribumi menjadi kurang dinamis.
Padahal, Alatas berpandangan seandainya petani-petani Jawa ini dibiarkan bekerja secara dinamis, mereka tetap bisa mandiri–seperti sempat disinggung Raffles. Pun, paksaan menanam komoditas tertentu yang sama sekali baru dan asing bagi petani, amat menyulitkan mereka.
Alhasil, ketika hasil tak sesuai yang diharapkan, orang-orang Jawa ini langsung mendapat label pemalas. Bahkan, segala bentuk perlawanan atas sistem yang tak adil itu juga bakal dijuluki indolent alias “malas”.
“Yang membuat bangsa Melayu diberi julukan sebagai pemalas adalah penolakan mereka untuk dijadikan alat dalam sistem produksi kapitalisme kolonial,” tulis Alatas.
Kalau orang Jawa itu pemalas, pasti sudah punah
Alatas berpandangan, kolonialisme butuh sumber daya manusia murah, yang tenaganya bisa dihisap untuk keuntungan besar. Dan, dalam konteks kolonialisme di Hindia Belanda, orang-orang Jawa adalah SDM murah tersebut.
Alhasil, segala bentuk resistensi tak terhindarkan, sebab demi melanggengkan kolonialisme itu pasti diikuti dengan represi. Baik itu kekerasan terhadap petani, pengambilalihan lahan secara paksa, bahkan penculikan dan perbudakan.
Sialnya, ketika orang Jawa, para pribumi ini memberikan perlawanan, mereka langsung dicap sebagai pemalas; dianggap nggak mau kerja atau nggak mau nurut.
Hal ini tentu menjadi ironi, sebab jika orientasi label pemalas memiliki singgungan dengan kelas-kelas nirproduktif, kata Alatas, bukankah orang-orang kulit putih saat itu lebih tidak produktif dan parasitik? Mereka hidup dalam kemewahan, dimanjakan para babu dan budak, dan tak pernah bekerja–hanya mengandalkan keuntungan dari hasil menjajah. Namun, dengan enaknya mereka menyebut orang-orang yang dijajah sebagai pemalas.
Logika sederhana yang dilempar Alatas adalah, seandainya pribumi benar-benar pemalas, pasti mereka sudah punah. Nyatanya, mereka masih eksis hingga sekarang.
Sialnya, kemerdekaan tak cukup kuat untuk menanggalkan label pemalas dari orang-orang Jawa itu. Sampai akhirnya, hari ini, ketika terjadi masalah struktural seperti kemiskinan atau pengangguran, diskursus pemalas (ngggak mau kerja, atau nggak mau cari kerja) selalu dilempar kepada masyarakat yang sebenarnya adalah korban. Persis seperti apa yang dilakukan penjajah.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Kuli Jawa Sudah Terkenal Sejak Masa Kolonial, Gantikan Eksistensi Pekerja Cina
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News