120 Tahun Setelah Terowongan Mrawan Membelah Gunung Gumitir

Terowongan Mrawan di Banyuwangi Setelah 120 tahun. (Ilustrasi Ega Fansuri)

Menjadi proyek prestisius perusahaan Staatsspoorwegen (SS) semasa kolonial di tahun 1901. Pembangunan Terowongan Mrawan digadang-gadang menjadi solusi menyambungkan jalur kereta api Jember-Banyuwangi. Lalu setelah 120 tahun dibangun, beginilah kondisi terowongan ini.

***

Muhammad Akmal, Mahasiswa Universitas Sultan Agung Semarang terlihat antusias saat saya ajak untuk mengunjungi Terowongan Mrawan. Terowongan sepanjang 690 meter yang membelah perut Gunung Gumitir di batas Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Ia bergegas membereskan gawai dan komputer jinjingnya ke dalam tas untuk segera menuju ke lokasi terowongan ini setelah membereskan laporannya.

Akmal memang sudah dua minggu berada di Kabupaten Banyuwangi, kebetulan ia sedang menyelesaikan penelitiannya tentang perkebunan Kopi yang ada di Bumi Blambangan. Sehingga saat saya menemaninya ke beberapa perkebunan termasuk di Malangsari Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi saya menawarinya untuk melihat peninggalan kolonial kereta api yang masih berfungsi hingga kini.

Siang itu Rabu, 12 Oktober 2022 waktu digawai saya menunjukan pukul 12.34 WIB. Perjalanan saya dimulai dari Perkebunan Malangsari menuju ke Kota Kalibaru lalu melanjutkan ke arah Barat menuju ke Jember. Setelah melewati maskot Patung Gandrung Gumitir, tiga puluh menit kemudian saya tiba di perkampungan warga  yang masuk wilayah Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember.

“Ke Banyuwangi berkali-kali dengan kereta api, saya selalu penasaran bagaimana struktur terowongan ini,” kata Akmal antusias setelah kita berdua memarkir motor di halaman rumah warga.

Terowongan Mrawan yang hingga saat ini tetap digunakan di Jalur KA Jember Banyuwangi dari sisi depan. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

Fyi, lokasi Terowongan Mrawan ini memang tidak jauh dari Stasiun Mrawan,  untuk sampai di muka pintu terowongan kami harus berjalan kurang lebih 600 meter setelah memarkir kendaraan. Akmal langsung mengambil gawainya di saku tasnya dan mengabadikan berbagai gambar di jalur  menuju lokasi terowongan.

Jadi jalur penting

Setelah 10 menit berjalan akhirnya saya tiba di Pos Petugas Jaga Terowongan (PJTW) 152 A yang berada di lingkungan kerja PT KAI Daerah Operasional (Daops) IX Jember. Setelah mengenalkan diri saya dari Mojok.co dan hendak ingin menulis tentang Terowongan Marwan petugas jaga yang kebetulan di lokasi sangat antusias menjelaskan tentang seluk beluk terowongan ini.

Saya bertemu dengan Iwan Suryadi Penjaga PJTW 152 A yang sudah bertugas puluhan tahun di sana. Iwan mengaku jika terowongan ini menjadi titik krusial jalur kereta api penghubung antara Banyuwangi dan Jember. Oleh karenanya ia ditugaskan oleh perusahaan untuk menjaga keamanan di terowongan ini ketika kereta melintas.

“Aman di sini dari berbagai hal ya mas, mulai dari kondisi rel, saluran drainase hingga keamanan dari warga lokal yang melintas di sini,”  kata Iwan warga asli Silo Jember.

Menurut Iwan jalur terowongan ini dibangun pada kurun waktu 1901-1902, lalu dilakukan penyempurnaan bangunan tahun 1910 oleh Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda, Staatsspoorwegen (SS). Pun begitu sampai saat ini, Terowongan Mrawan dengan panjang 690 meter merupakan terowongan aktif terpanjang kedua di Indonesia, setelah Terowongan Sasaksaat yang ada di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat dengan panjang 949 meter.

Terowongan Mrawan usai dibangun. (Dok.heritage.kai.id)

Ia menerangkan meski Terowongan Mrawan sudah berusia ratusan tahun tetapi kondisinya tetap dalam keadaan baik. Hal ini terjadi lantaran dari pihak PT KAI selalu melakukan pengecekan secara berkala untuk memastikan bangunan peninggalan Belanda ini tetap terjaga sehingga dapat digunakan hingga kini.

Petugas selalu melaporkan setiap temuan yang ada di dalam terowongan. Entah ketika ada beberapa jalur drainase yang meluber hingga bagian tembok yang ada di dalam perut Gunung Gumitir itu terdapat rembesan air. Sekadar informasi, kondisi vegetasi di atas terowongan ini memang masih sangat alami sehingga mata air yang ada tetap terjaga.

Bahkan saat saya datang ke lokasi terowongan, tidak jauh dari pintu terowongan itu terlihat banyak pipa dan selang yang digunakan oleh warga sekitar untuk mengambil mata air dari atas bangunan itu yang sudah dibuatkan tandon air untuk tempat penampungannya. Bukti jika pembangunan dan proyek prestisius milik Belanda memang memikirkan aspek keberlanjutan lingkungan.

Ancaman vandalisme

Iwan menambahkan fungsi dari adanya PJTW yang ada di Terowongan Mrawan juga untuk mengedukasi pengunjung yang datang agar tidak masuk ke dalam terowongan. Meski diakui di dalam terowongan terdapat lubang khusus untuk titik aman ketika kereta melintas. Namun, tetap saja jalur tersebut merupakan lokasi berbahaya.

“Jadi saat ada pengunjung yang datang ke sini selalu kami arahkan untuk berada di zona aman termasuk hanya di sekitaran pos penjagaan saja,” terangnya.

Lebih lanjut Iwan menjelaskan bahwa memang banyak antusiasme warga yang ingin melihat dan menyaksikan salah satu peninggalan Belanda ini. Namun, lantaran lokasi ini merupakan jalur kereta aktif, tetap saja semua itu harus disertai dengan edukasi. Toh walaupun sudah di jaga kadang masih ada saja oknum pengunjung yang masuk ke terowongan  melalui sisi Kalibaru di Kabupaten Banyuwangi.

Sebab diakuinya hingga saat ini keberadaan PJTW hanya tersedia di sisi barat yang ada di Kecamatan Silo Kabupaten Jember saja. Sehingga saat ada yang masuk dari sisi timur kadang luput dari pengawasan petugas meskipun patroli selalu dilakukan setiap saat. Nahas, tidak sedikit oknum-oknum ini yang justru berulah dengan melakukan vandalisme di bangunan dalam terowongan.

Ruangan khusus di dalam Terowongan Mrawan yang digunakan untuk tempat aman petugas saat KA melintas. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

Tentu aksi tersebut sangat ia sayangkan lantaran bangunan yang memiliki sejarah panjang malah justru disalahi dengan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Di sela-sela obrolan panjang tetiba Ari Andrian petuga PJTW pengganti Iwan datang dari dalam mulut Terowongan.

Ia pun langsung mengulurkan tangan kepada Iwan, Saya dan Akmal hingga akhirnya melanjutkan perbincangan. Petugas di Pos PJWT memang diatur secara bergantian selama 24 jam dengan masing-masing waktu penjagaan 8 jam. Ari yang kebetulan tinggal di Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi  kadang memilih akses melalui sisi timur.  Ia menaruh kendaraanya di rumah koleganya yang ada di Kalibaru.

Alasan Ari sangat simple lantaran jika harus melalui jalur jalan raya tentu akan memutar. Jadi ia lebih memilih berjalan kaki dari sisi timur terowongan yang notabene tidak jauh dari tempat tinggalnya di Kecamatan Kalibaru.

Selain itu cara tersebut dilakukan juga untuk memudahkan pemeriksaan terowongan lantaran setiap petugas yang berjaga harus selalu mengecek kondisi di dalam terowongan setiap sebelum dan sesudah kereta api melintas di terowongan itu. “Lumayan mas, sekali dayung dua pulau dilewati,” ucapnya sambil terkekeh.

Peran Mbah Diun

Ari yang baru tiga tahun menjadi penjaga di Pos PJWT mengaku takjub dengan terowongan yang ada di batas Banyuwangi-Jember itu. Ia sudah tahu adanya terowongan ini sejak ia kecil. Bahkan dari cerita orang tuanya, para pekerja di terowongan ini merupakan warga yang tinggal Kampung Mediunan di Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore.

“Saya punya teman di kampung ini rerata mbah-mbah mereka pernah ikut pembangunan Terowongan Mrawan ini, Mas,” kenang Ari.

Stasiun Mrawan yang berada di barat Terowongan Mrawan tidak jauh dari Pos Penjagaan PJWT. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

Jika dilihat di buku milik milik Arif Firmansyah dan M Iqbal Ferdian yang berjudul Sepetak Eropa di Tanah Jawa. Tanah di Kampung Madiunan awalnya merupakan hadiah dari Belanda untuk mandor proyek yang dikenal sebagai Mbah Diun yang bernama asli Madrakah atau Madikoh.

Beliau berasal dari Desa Gebang Girisuko, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul,  Yogyakarta. Ia menjadi abdi dalem dengan tugas membawa payung Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah Keraton Yogyakarta pada 1877-1920. Tapi, pada akhir 1890-an, dia pindah ke Madiun lalu bergaul dengan pegawai Staatsspoorwegen masa itu.

Nah, ketika Belanda membangun Terowongan Mrawan dan membelah Gunung Gumitir, banyak kejadian aneh yang tidak biasa. Warga sekitar berkeyakinan jika lokasi tersebut memang dikenal wingit. Hingga pegawai Staats Spoorwegen kewalahan guna menetapkan titik bukit yang harus dijadikan terowongan.

Mbah Diun yang dipercaya linuwih secara spiritual menjadi salah satu yang dipercaya menjadi mandor proyek. Atas jasanya, ia kemudian diberi hadiah wilayah Kampung Mediunan yang ada hingga sekarang. Sebab setelah ada beliau proses pembangunan berjalan dengan lancar hingga akhirnya bisa selesai dan digunakan. 

Saya sangat menikmati setiap sudut terowongan ini meski setelah 120 tahun dibangun. Bahkan menurut saya, konstruksi lengkung penutup terowongan yang ada di sisi barat dan timur jembatan membuatnya semakin menawan. Bikin betah setiap wisatawan berkunjung ke Terowongan Mrawan.

Penulis: Fareh Hariyanto
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Komunitas Pecinta Kereta Api, Tak Sekadar Romantisisasi

 

Exit mobile version