Hasrat Asmara Raja Mataram Islam yang Berakhir di Istana Kematian

Raja Mataram Islam, Amangkurat I membunuh Ki Dalang Panjang Mas dan merebut istrinya Ratu Malang, untuk dijadikan selir. Hasrat asmara yang harus dibayar mahal karena orang yang dicintai raja yang bertahta 1646-1677 ini berakhir di Istana Kematian.

Peristiwa Ratu Malang ini terjadi sebelum tragedi Rara Oyi, gadis yang diperebutkan Amangkurat 1 dengan putra mahkotanya sendiri, Adipati Anom. Kisah Rara Oyi bisa dibaca di sini, Makam Banyusumurup, Kisah Kelam yang Disembunyikan Mataram Islam.

***

Jika melintas saat suasana sepi dan cuaca cerah, ruas jalan ke arah Bantul—dari selatan Kota Yogyakarta—akan menyuguhkan pemandangan gugusan Pegunungan Sewu yang indah. Daerah itu telah melewati masa jutaan tahun dan jadi saksi perjalanan beberapa penguasa wangsa Mataram di tanah Jawa. Tujuan saya kali ini adalah Antakapura: Makam Ratu Malang dan Ki Dalang Panjang Mas. Dua sosok yang erat kaitannya dengan Raja Mataram Islam Amangkurat I.

Dari sebuah perempatan kecil di Jalan Pleret, Sabtu (27/11), saya berbelok ke timur. Setelah SMA 1 Pleret, kontur perbukitan dan ladang tebu memanjakan mata. Kemudian, di depan, gapura bertulis “Dusun Gunung Kelir” menyambut.

Seperti kebanyakan dusun lainnya, ada beberapa jalan masuk ke Gunung Kelir, saya masuk lewat jalan di selatan gapura, tidak melewati pintu utama. Seorang petani lantas berbasa-basi menanyai tujuan saat saya berhenti untuk mengambil gambar. “Dapat impen (mimpi) ya, Mas?” selorohnya.

Seperti namanya, terdapat beberapa bukit (jamak disebut gunung) di sekitar dusun ini. Salah satunya adalah Gunung Sentono. Jarum panjang belum ada di angka 8 saat saya berhenti di tepi bukit. Dua orang pemuda tampak bersiap bekerja. Seorang pria paruh baya menghampiri saya. Lagi-lagi ia mengatakan hal yang sama dengan petani tadi. “Kok sampai sini, Mas? Dapat impen ya?” ujarnya.

Dari hasil percakapan dengannya, saya dapat cerita soal penetapan wilayah ini sebagai bagian dari Cagar Budaya Plered-Kerto dan sudah mendapat SK gubernur sejak tahun 2019. “Rasanya, lebih dulu sana (Pleret) yang diperhatikan sepertinya, Mas,” ungkapnya.

Beberapa saat kemudian, muncul seorang pria dari atas bukit. Pak Jito atau M. J. Surakso Sarjito (47), juru kunci Makam Ratu Malang, makam kuno dari masa Amangkurat I. “Mari, kita ke rumah saja,” sahutnya saat saya meminta izin untuk berbincang.

Makam Ratu Malang dan Ki Dalang Panjang Mas yang di bangun era Mataram Islam
Pemandangan Menuju Makam Ratu Malang dan Ki Dalang Panjang Mas. Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co

Kisah Sang Sinden

Istilah permaisuri dan selir sejatinya dua hal berbeda. Kehidupan raja di masa lampau, jamaknya hanya punya satu permaisuri. Sementara, nama selir-selirnya jarang dikenal dan ditulis dalam catatan sejarah.

Hal berbeda berlaku bagi Amangkurat I, Raja Mataram Islam yang bertahta tahun 1646-1677. Amangkurat I disebut-sebut punya dua permaisuri. Pertama adalah Ratu Kulon, ibunda sang raja sekaligus istri Sultan Agung yang disebut sering memberi arahan atas jalannya pemerintahan dan kedua bernama Ratu Wetan.

Alih-alih mengisahkan dua sosok permaisuri tadi, catatan sejarah seringnya malah membahas dua sosok selir sang raja. Babad Tanah Jawi (W.L Olthof, 2017) bahkan membahas dua selir Amangkurat I dalam dua bab terpisah.

Bukit Gunung Sentono dari Kejauhan. Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co

Salah satu dari dua orang selir yang terkenal adalah Retno Gumilang. Ia dikisahkan sebagai sinden asal Pati, anak seorang tumenggung bernama Mayang. Suaminya bernama Soponyono atau dikenal sebagai dalang Ki Dalang Panjang Mas. Seorang dalang sekaligus penyebar agama Islam terkemuka di Mataram waktu itu.

Kisah pertemuan Raja Mataram Islam, Amangkurat I dan Ratu Malang, seturut Babad Tanah Jawi, dimulai dari perintah raja untuk mencari selir baru. Bawahannya kemudian melaporkan bahwa ada seorang perempuan cantik namun telah bersuami. Sang raja tak melihat status tersebut sebagai halangan.

Ia tetap menikahi Ratu Malang dan memboyongnya ke istana. Belakangan, Ki Dalang Panjang Mas beserta anak buahnya dibunuh. Versi lain, termasuk menurut Jito, Amangkurat I jatuh hati sejak pertama melihat Retno Gumilang dalam sebuah pementasan wayang di istana Plered.

Romo Mangun dalam intepretasinya di novel Roro Mendut mengisahkan bahwa selepas pementasan tersebut, pasukan rahasia Mataram dikirim dengan dua misi yaitu membawa Retno ke istana dan membunuh sang suami.

“Ki Dalang diracun, tapi tidak mempan, lalu ditombak.” Ucap Pak Jito.

Apapun versinya, Ki Dalang Panjang Mas dihabisi dan Ratu Malang yang sedang hamil muda diboyong ke istana. Nama Ratu Malang sendiri disebut berasal dari kata malangi (menghalangi) cinta dan perhatian sang raja dari ke-40 selir lainnya. Bahkan dari sang permaisuri sekalipun.

Jalan naik menuju makam. Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co

Betapa cintanya sang raja terhadap perempuan ini bahkan membuatnya diberi gelar sebagai Ratu Wetan. Hal ini lantas menuai protes dari lingkungan istana sebab Retno Gumilang hanyalah selir dan Ratu Wetan adalah gelar bagi permaisuri.

Namun, cinta tidak bisa dipaksakan. Retno tetap tidak bisa menerima nasib. Kondisinya kian menyedihkan selama berada di istana. Perempuan itu belakangan memilih bunuh diri, membawa serta sang janin untuk menyusul suaminya. Versi lainnya, dalam Babad Tanah Jawi, mantan sinden tersebut sakit muntaber lalu meninggal dunia.

Momen tersebut juga menjadi akhir hidup beberapa selir lain karena dituduh mengguna-guna Ratu Malang. Akibatnya, beberapa selir dikenai hukuman mati dengan cara dikurung dalam ruangan pengap oleh Amangkurat I.

Cinta sang raja tidak berhenti begitu saja selepas kematian si selir kesayangan. Ia menolak Ratu Malang dimakamkan. Di Antakapura, yang berarti istana kematian, Amangkurat I menunggui dan bahkan tidur di samping jasad selir kesayangannya. Versi lain dalam Roro Mendut, bahkan mengatakan jika sang raja masih sempat meniduri jenazah selirnya. Para abdi dalem dan bawahan harus bekerja keras demi membujuk sang raja untuk mau pulang ke istana.

Berbagai catatan mengatakan bahwa alasan pemilihan tempat ini sebagai makam adalah letaknya lebih dekat dengan Kraton Plered dibandingkan ke Pajimatan. Sehingga, raja bisa memandang makam sang selir kesayangan dari istana. Pak Jito sebagai juru kunci juga mengiyakan alasan hal tersebut. Secara topografis, Dusun Gunung Kelir berada tepat di sebelah timur Dusun Kedaton yang dulunya adalah tempat tinggal raja.

Amangkurat I sejatinya ingin menjadikan Antakapura atau Istana Kematian sebagai pemakaman khusus untuknya dan sang selir tercinta. Niat ini rasanya aneh karena telah ada makam suami tercinta Ratu Malang. Belakangan, keinginannya gagal karena Amangkurat I meninggal di daerah bernama Tegalarum saat melakukan pelarian akibat serangan aliansi Trunojoyo-Karaeng Galesong ke ibukota Mataram Islam di Plered. Kini, Antakapura telah menjadi makam bunder, makam yang tidak lagi digunakan setelah dimakamkannya Ratu Malang.

Sejak selesai dibangun pada 1668, Pak Jito mengatakan bahwa makam ini belum pernah sekalipun dipugar atau direnovasi. Di atas Gunung Sentono, pagar bata berusia 353 tahun lebih itu melindungi 31 nisan dan menyatukan kelompok wayang pimpinan dalang Ki Dalang Panjang Mas. Ukiran wayang di bagian depan pagar seakan menjadi pengingat, dulunya mereka hidup dari wayang sebelum akhirnya meregang nyawa di bawah rezim Amangkurat I.

Pesan Merawat Makam Ki Dalang Panjang Mas

“Saya katakan tidak ada. Sama sekali!” seru Pak Jito saat ditanya soal perhatian pihak terkait mengenai makam Ratu Malang.

“Soalnya sama sekali tidak ada fasilitas yang dibangun!”

Ia juga mengatakan tidak pernah mengajukan bantuan untuk perawatan. Uang operasional rutin bagi makam pun juga tidak ada. Agaknya, sikapnya berasal dari pengalaman panjang dan rasa kecewa.

“Cuma minta pestisida buat menyemprot rumput liar saja tidak diberi kok mau minta fasilitas mahal,” imbuhnya.

M. J Surakso Sarjito (Jito), juru kunci makam berfoto di dekat makam Ratu Malang (dengan payung di sampingnya). Foto oleh Syaeful Cahyadi.

M.J Surakso Sarjito adalah generasi kelima dari keluarga istrinya yang menjadi juru kunci makam Ratu Malang. Sejak tahun 2000, ia mewarisi status tersebut dari mertuanya. Sebagaimana penjaga makam kuno lain, ia juga seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta.

Namanya sepertinya diambil dari nama pemberian kraton, Surakso Sarjito, dengan gelar M.J. (Mas Jajar). Walaupun ia mengaku jika Jito adalah nama asli. Sehari-hari, ia tidak tampak seperti abdi dalem umumnya. Saat mengantar peziarah, ia biasa mengenakan celana panjang, kaos oblong, dan tas kecil untuk menaruh kunci pintu makam.

“Ribet mas kalau harus pakai jarik dan surjan, kan kerjaan saya naik-turun tangga.”

Sebagai abdi dalem dan juru kunci, ia mendapatkan gaji satu juta rupiah per bulan dari pemerintah. Sementara dari kraton, ia mendapat gaji – yang disebutnya berkah – sepuluh ribu per hari. Namun, itu baru berlaku sejak adanya dana keistimewaan. Dulunya, nominal yang ia terima adalah 1.200 rupiah per hari.

Baginya, menjadi abdi dalem dan juru kunci bukan semata karena menjadi penerus sang mertua. Ia menuturkan, suatu hari di tahun 2000 ia ditemui langsung oleh sosok Ki Dalang Panjang Mas yang memintanya merawat makamnya. Sosok tersebut juga memberikan dua perintah lain yakni mengantarkan siapapun yang datang dan jangan pernah meminta bayaran sepeser pun pada peziarah.

Makam Ki Dalang Panjang Mas, menyendiri di bawah pohon besar. Foto oleh Syaeful Cahyadi.

Kini, Pak Jito seperti tidak mengenal jam kerja. Ia sudah biasa mengantar peziarah kapanpun mereka datang. Sangat sering ia mengantar peziarah pada malam hari bahkan di tengah hujan sekalipun. Mantan pemborong furnishing ini juga mengaku kini memfokuskan hidupnya untuk makam Ratu Malang. Dulunya, ia sempat meneruskan pekerjaannya sebagai pemborong sembari mengurus makam. Tanpa disangka, pilihannya membuat Ki Dalang Panjang Mas marah. Sosok Ki Dalang datang lagi.

“Apa kamu masih kurang lelah mengurus makamku sehingga masih harus bekerja? Kalau memang iya, besok aku buat kamu lebih lelah lagi!” Jito menirukan perkataan sosok yang menemuinya pukul 03.00 dinihari tersebut.

Setelah pertemuan tersebut, terbukti dalam sehari, ia bisa mengantar 15 peziarah lebih dan mengharuskannya naik turun bukit. Akhirnya, permohonan maaf ia haturkan, pekerjaannya pun ia tinggalkan. Walaupun demikian, untuk hal tertentu. Ia berkisah, suatu waktu ia harus ke luar kota selama 3 hari dan ia meminta izin terlebih dahulu. Anehnya, selama 3 hari ia pergi, tidak ada peziarah yang datang sama sekali.

“Mereka sudah dicegah oleh simbah (Ki Dalang) supaya tidak kecewa jika sampai datang, Mas,” terangnya.

Dalam berbagai kesempatan, sang juru kunci seperti tidak ingin berkisah panjang soal alasan para peziarah datang ke makam ini. Baginya, itu adalah rahasia si peziarah. Namun, ia tidak menampik jika ada satu dua peziarah datang demi memuluskan rencana pencalonan diri untuk jabatan tertentu.

“Mereka menjanjikan sesuatu tidak andaikan jadi, Pak?”

“Ya menjanjikan, tapi tidak ada buktinya. Wong cuma omongan orang mau njago,” selorohnya sambil tertawa.

Kerusakan di beberapa sisi pagar makam. Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co

Sisi lain Makam Antakapura juga agaknya masih dipengaruhi latar belakang kedua tokoh yang dimakamkan di sana. Sangat sering penari dan dalang, pun dengan mahasiswa jurusan tari dan pedalangan,  datang untuk ziarah. Sepertinya, citra Ki Dalang Panjang Mas sebagai dalang kondang di Mataram Islam belum hilang hingga hari ini.

Beberapa peziarah lain punya alasan datang tidak masuk akal. Mereka merasa didatangi sosok Ki Dalang Panjang lewat mimpi dan diperintahkan mencari makamnya di Gunung Kelir. Pak Jito sendiri membenarkan hal ini dan banyak yang mengalaminya. Ia ingat, seorang warga Lampung bahkan menyempatkan ke Jogja demi datang ke Antakapura.

Menurutnya, orang yang didatangi lewat mimpi biasanya punya garis keturunan dengan sang dalang. Momen didatangi sang dalang lewat mimpi adalah sebuah perintah supaya si orang tadi tahu lalu mendatangi makam leluhurnya. Penjelasan ini seperti membenarkan pertanyaan dua orang yang saya temui dalam perjalanan perihal impen(mimpi) saat saya ingin ke makam.

***

Jam menunjukkan pukul 08.30 saat kami beranjak naik ke area makam. Tampak tidak ada pengunjung lain pagi itu selain saya. “Awal tahun depan, saya ada rencana membangun fasilitas di sini,” terang Jito sambil mengacungi sebelah belakang parkiran. “Sudah ada yang siap mendanai. Orang Jakarta. Kemarin sudah saya beri tahu perhitungan biayanya.”

Hampir semua fasilitas di makam ini, mulai dari tangga, pintu masuk, hingga pendopo, memang dibangun dari sumbangan peziarah. Sebelum 2019, jalan naik ke makam adalah jalan tanah setapak licin.

Menurut sang juru kunci, satu-satunya fasilitas dari pemerintah adalah papan informasi di depan makam. Keinginan Jito sebagai abdi dalem sekaligus juru kunci pun tidak terlalu muluk. Ia hanya ingin ada MCK, bangsal, dan ruangan khusus untuknya.

“Jadi kalau ada peziarah tidak perlu mencari ke rumah,” imbuhnya. Ia juga berharap pemerintah membangun kerangka besi supaya struktur pagar makam tidak roboh termakan zaman.

Pemandangan dari sisi samping makam, tampak kerusakan pagar yang parah. Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co

Sembari meniti anak tangga, ia banyak berkisah, termasuk soal pembangunan fasilitas yang harus meminta izin dulu kepada Ki Dalang Panjang Mas. Menyoal rencana pembangunan tadi, ia mengaku sudah diberi izin oleh sang dalang sejak pertemuan mereka beberapa waktu lalu. Ia juga berkisah, tidak ada lampu penerangan di sekitar makam karena memang hal tersebut dilarang oleh Ki Panjang Mas.

“Semua itu harus bilang dulu, Mas. Saya tidak berani kalau tiba-tiba buat sesuatu.”

Jelang tiba di makam, ia bercerita bahwa tidak ada utusan rutin dari kraton ke tempat ini. Sosok paling penting dari kraton yang pernah datang adalah adik dari raja Yogyakarta, itupun setelah tangga ke makam diperbaiki. Pun, walaupun ini adalah makam kuno, tidak ada acara khusus oleh warga dusun di Antakapura. Pak Jito bahkan mengatakan, tidak semua warga dusunnya paham cerita sejarah di bukit yang luasnya 8 hektar ini. Tempat yang sudah eksis di masa Mataram Islam.

Masuk area makam, suasana sangat tenang merebak, terutama berkat naungan pepohonan besar di sekitarnya. Betapa sangat tenang, bahkan tiada terdengar suara burung liar yang biasanya jamak terdengar di perbukitan.

Nisan Ratu Malang terletak di tengah, diapit para abdinya. Sementara makam dalang Panjang Mas terletak menyendiri di bawah sebuah pohon besar dengan kain putih di batangnya. “Itu permintaan dari simbah langsung,” terang Pak Jito saat saya tanyai kenapa ada kain di pohon. Total, ada sekitar 3 pohon yang diberi kain putih di batangnya.

“Mari naik, ke sendang,” ajaknya.

Di bagian atas makam, masih ada satu tempat berpagar. Di dalamnya terdapat persegi bekas galian berisi air. Sebuah pohon tumbuh di sampingnya dengan peralatan sesaji dan sebuah gayung tergantung. Sendang Moyo, demikian namanya.

Versi umum mengatakan jika di sinilah rencana awal Ratu Malang dimakamkan. Namun, saat tanah digali, air keluar tiada henti dan membuat makam sang sinden dijadikan dalam satu area dengan suami tercintanya.

Sendang Moyo. Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co

Namun, Pak Jito punya versi lain. Menurut keterangannya, di sekitar sendang terdapat sosok bernama Kiai Kelir Rejo, leluhur Dusun Gunung Kelir. Kiai tersebut, katanya, adalah pelarian dari Majapahit yang moksa di Gunung Sentono. Sehingga, ketika digali dan hendak dijadikan makam, air keluar dari galian. Tanda penolakan.

“Saya ketemu, saya tanya sendiri. Jenggotnya panjang sampai menyentuh tanah. Beliau ada di sana,” Pak Jito berkisah dengan santai. Jarinya menunjuk pohon dengan kain putih di belakang sendang.

Proses alam ratusan tahun membuat pagar makam dan sendang tampak rusak parah. Beberapa bagiannya bahkan sudah miring. Namun, kesan bersih dan terawat sangat kuat terasa di sana. Itu semua berkat Pak Jito dan istrinya yang rutin menyapu setiap pagi. Baru-baru ini, katanya, Pak Jito dan para tetangganya baru saja memindahkan batu besar yang disebut sebagai bekas kotak wayang milik dalang Panjang Mas.

Saya lantas membayangkan bagaimana tempat ini di tahun 1668 silam. Tentang rasa kehilangan sang dalang atas nyawa dan istri tercinta, tentang cinta Amangkurat I yang tiada bisa diganggu gugat, tentang sejarah tersembunyi di atas sebuah bukit sebelah timur Kecamatan Pleret, tentang Pak Jito yang mengaku bisa bertemu 3 sosok yang dimakamkan di sana.

Saya kemudian berpisah dengan Pak Jito. Dan ketika keluar dari dusun, saya masih melihat petani yang tadi bertanya soal mimpi. Saya yakin, pria tersebut pasti mengira saya adalah keturunan sang dalang.

Tiba-tiba saya mengkhayal, andai Ki Dalang Panjang Mas mau mendatangi mimpi banyak anak muda. Semata supaya tahu sejarah kota ini tidak hanya terbentang di poros Tugu-Maliboro-Kraton, tapi juga di tempat lain. Termasuk di Gunung Kelir, tempat seorang raja mendapatkan cinta sekaligus merayakan kehilangannya atas cinta, di istana kematian bernama Antakapura.

BACA JUGA  Makam Banyusumurup, Kisah Kelam yang Disembunyikan Mataram Islam dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version