Aktivitas perniagan yang berdasarkan hari pasaran Jawa: kliwon, legi, pahing, pon, dan wage perlahan mulai menghilang. Padahal konsep ini sejatinya adalah sebuah cara pemerataan aktivitas ekonomi di suatu pasar.
***
Jarum jam baru beranjak sebentar dari angka 6. Seorang pria paruh baya melajukan motornya pelan-pelan. Posisi berkendaranya tampak tidak nyaman. Ia terlalu mepet ke depan karena ada kandang unggas di belakangnya.
Kandang dari bambu itu telah diubah sedemikian rupa sehingga bisa pas berada di jok sepeda motor. Dari dekat, benda itu mirip sebuah krombong alias keranjang kayu namun dengan dimensi lebih tinggi. Di sela-sela bambu, ayam-ayam muncul dengan tatapan kosong, mungkin mereka sadar sebentar lagi akan berganti pemilik atau berakhir di penggorengan
Perjalanannya berhenti di halaman Stadion Tentara Genie Pelajar (TGP) di tepi Jalan Seyegan-Godean, Klaci, Margoluwih, Seyegan, Sleman. Sebuah pagar bambu dengan tinggi sekitar setengah meter ia rakit sedemikian rupa membentuk segitiga. Diletakkannya benda itu di belakang sepeda motor. 5 ekor itik ia keluarkan dari kandang dan ditaruh di dalam pagar portable itu.
“Kok baru datang, Mul?” tanya seseorang dari arah belakang. “Kesiangan eh, Kang,” sahutnya.
Mulyono (43) namanya. Sudah 20 tahun ia berjualan dari pasar ke pasar kala tiba hari pasaran. Orang Jawa memiliki siklus pasaran yang disebut pancawara yang terdiri dari kliwon, legi, pahing, pon, dan wage. Siklus ini bisa bersifat harian dan mingguan.
Dan pagi ini Mulyono mengadu untung di klitikan (pasar barang bekas dan serba ada) yang jamak disebut pon-ponan. Tidak sampai 10 menit, pria itu didatangi seorang nenek tua yang membawa ayam di gendongan jariknya. “Mas, nek dere semene payu piro?”
Beberapa meter dari tempat itu, puluhan orang dengan kandang serupa menjejali jalanan samping stadion. Mereka dikerubungi para pembeli. Aktivitas tawar-menawar terjadi. Beberapa pembeli jongkok mengitari kandang sembari mengamati aneka unggas dagangan. Sesekali mereka mengeluarkan dan mengeceknya langsung.
Relokasi tempat dan penyesuaian baru
Sudah 2 tahun ini halaman stadion TGP menjadi area klitikan ketika tiba hari pon, hari pasaran untuk Pasar Godean yang letaknya 1 kilometer ke selatan dari lokasi stadion TGP. Di sini para pedagang klitikan dan unggas menggelar dagangannya. Pusparupa barang dagangan tersedia mulai dari ayam, itik, buku bekas, suku cadang sepeda motor bekas, hingga sepeda. Ada pula yang menjual barang baru seperti baju dan sandal.
Dulunya, hari pon adalah surga sekaligus neraka bagi Pasar Godean. Surga bagi para pedagang klitikan dan ternak karena mereka bisa berjualan di pasar tumpah. Dulunya, mereka akan memenuhi area sekitar Pasar Godean hingga jauh ke sisi timur dekat Lapangan Ahmad Zaeni dan Jalan Pramuka di selatan SMK 1 Godean. Tetapi, itu juga mencipta neraka bagi para pengguna jalan karena menimbulkan kemacetan, apalagi Jalan Godean adalah ruas jalan utama untuk menuju ke Kota Yogyakarta.
2019 silam, para pedagang klitikan direlokasi ke 2 tempat yaitu Pasar Kowen dan halaman Stadion TGP. Maka, seperti pemandangan pagi ini, Jumat (7/01), puluhan pedagang akan berdatangan ketika hari pon tiba. Penggunaan tempat telah diatur dengan coretan dari cat sempot berwarna putih. Untuk berjualan di sana, para pedagang harus membayar retribusi 2000 rupiah per hari ke pengelola BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa.
Matahari mulai tinggi. Jalanan mulai ramai. Begitupun pasar klitikan ini. Para pedagang terus berdatangan baik dengan motor ataupun mobil. Karung dan krombong berisi barang dagangan dibongkar. Terpal digelar sebagai alas berjualan. Satu dua orang melintas. Beberapa menyempatkan bertanya, beberapa lainnya hanya sekadar cuci mata. Ketika panas mulai terasa, beberapa pedagang memasang terpal untuk berteduh. Ujung talinya diikatkan di pohon sekitarnya, sedapatnya. Pedagang minuman di bagian depan ikut kebanjiran pembeli karena datangnya hari pasaran.
Saya berhenti di dekat seorang pria yang sedang menata dagangan berupa aneka barang elektronik. Speaker, amplifier, hingga tape recorder ia keluarkan dari krombong di motor. Ia memperkenalkan diri sebagai Jono (52) ketika saya minta izin untuk mengambil foto. Sama seperti Mulyono, ia juga sudah puluhan tahun berdagang di klitikan semacam ini, bahkan hingga ke Bantul dan Imogiri.
Dagangan selesai ditata. Jono beranjak ke dekat seorang penjual handphone bekas. Sembari melihat dagangannya dari kejauhan, Jono berujar bahwa klitikan di halaman stadion ini sejatinya tidaklah strategis. Ia mengenang ketika pon-ponan Pasar Godean masih berada di tepi Jalan Pramuka, sekitar 500 meter dari tempat ini. Kala itu, ia punya banyak pelanggan tetap dan penghasilannya lumayan. Baginya, pindah ke sini semacam memulai awal baru. Rekan-rekan di sampingnya pun turut mengiyakan.
Jono mengenang, masa-masa awal setelah pindah sangatlah sepi. Apalagi, saat itu, pengelola tempat sempat mengharuskan para pembeli untuk parkir. “Yang namanya klitikan itu bergantung pada lalu lintas jalan di sekitarnya,” terang Jono. “Sementara tempat baru ini tidak benar-benar di tepi jalan,” sambungnya. Hal serupa turut dikisahkan Mulyono. Ia pun pernah mengalami masa-masa semacam itu di ketika baru saja pindah.
Namun, masa-masa sulit perlahan telah berlalu. Perniagaan sudah mulai muncul di halaman stadion ini. Mulyono misalnya, ia rata-rata bisa membawa pulang uang 100 ribu dalam sekali berdagang, tidak sampai setengah hari. Sementara Jono mengatakan ‘tidak pasti’ ketika saya bertanya tentang penghasilannya.
Menjadi pedangang klitikan, bagi keduanya, adalah soal pertaruhan. Mereka sama-sama pernah meraup untung besar dalam sekali berjualan tetapi juga sering mengalami seharian tanpa satupun pembeli. Bagi Jono maupun Mulyono, itu adalah hal biasa. Jono misalnya, ia pernah mendapat barang dagangan yang merupakan barang elektronik langka dan dibeli seorang kolektor 10 kali lipat dari harga kulakan. Sedangkan Mulyono pernah rugi ketika unggas dagangannya terkena virus.
Selain berpindah dari pasar ke pasar, keduanya juga punya usaha lain untuk menambah penghasilan. Jono sejak beberapa tahun terakhir aktif berjualan di situs jual beli daring. Sementara Mulyono sejak dulu sudah membuka jasa pemotongan ayam di rumahnya. “Kalau mengandalkan jualan, tidak hidup, Mas,” seloroh Jono.
Menyoal keengganan untuk pindah ke Pasar Kowen, Mulyono mengatakan bahwa jarak tempat itu terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Menurut pengakuannya, kebanyakan pedagang unggas yang bertahan di halaman Stadion TGP berasal dari Sleman daerah utara. Sementara bagi Jono, alasan banyaknya pedagang serupa di Pasar Kowen menjadi alasan dirinya tetap memilih berjualan di sini.
Berpindah ke area Jalan Pramuka, saya melihat sekitar 10 pedagang di area sepanjang 100 meter. Tempat ini sepertinya kini dilarang untuk berjualan. Di waktu-waktu sebelumnya, 2 kali saya melihat Satpol PP memberikan himbauan ke para pedagang yang tetap bertahan. Saya mencoba meminta izin untuk wawancara ke seorang pedagang dan alhasil berbuah penolakan.
Saya bergeser ke Pasar Kowen, 4 kilometer di tenggara Stadion TGP, tepatnya di dusun Rewulu, Sidokarto, Godean. Tempat ini adalah lokasi pemindahan para pedagang klitikan dan unggas dari Pasar Godean pada 2019 silam. Dari luar, lokasi ini terlihat sepi namun ketika masuk ternyata tempat ini ramai.
Tempat ini jauh lebih besar dan lengkap dibandingkan klitikan di halaman Stadion TGP. Di sini, para pedagang disediakan kios permanen. Hewan dagangan pun jauh lebih lengkap. Tidak hanya unggas, ada pula kambing dan burung kicauan di Pasar Kowen. Suasana di sini mengingatkan saya dengan Pasar Klitikan Kuncen di masa-masa awal relokasi.
Sebuah cara, sebuah cerita
Dalam kebudayaan Jawa, hari pasaran dimaknai dengan berbagai cara. Ia bisa bermakna hari weton, misalnya, dalam konteks hari kelahiran seseorang. Dalam hal hari meninggalnya seseorang, dikenal istilah hari geblag. Sementara dalam konteks aktivitas perniagaan, hari pasaran adalah hari ketika sebuah pasar buka sepenuhnya.
Untuk pasaran legi, ada pasar Kotagede dan Sentul. Di tepi Jalan Magelang, ada Pasar Sleman yang punya pasaran pahing. Pasar Cebongan di Mlati, misalnya, punya pasaran kliwon. Hal serupa juga berlaku untuk pasar-pasar kecil seperti Pasar Balangan di Minggir dengan pasaran wage dan Pasar Ngino di Seyegan dengan pasaran legi.
Konsep ini sejatinya tidak hanya ada di budaya Jawa semata. Di Jakarta misalnya, sampai sekarang bisa ditemukan nama Pasar Rebo, Pasar Minggu, atau Pasar Kamis. Di Sumatera Barat, ada istilah Pekan Ahad dan Pekan Rabu.
Menurut peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM sekaligus inisiator Sekolah Pasar Warga, Istianto Ari Wibowo, hari pasaran adalah konsep tentang pemerataan aktivitas ekonomi di suatu pasar. Di masa lalu, suatu pasar hanya akan ramai ketika tiba hari pasarannya masing-masing.
Ia menambahkan, ini berkaitan dengan masih sedikitnya penduduk di sekitar pasar pada masa lalu. Apalagi, menurutnya, tidak setiap hari warga berbelanja ke pasar. Ketika hari pasaran tiba—dan banyak warga datang—berbagai macam pedagang akan ada di sana. Mulai dari pedagang ternak, baju, bahkan hingga pandai besi.
Sistem ini juga memungkinan para pedagang yang berasal dari luar wilayah pasar untuk bergiliran berdagang. Maka ketika pasar buka setiap hari seperti sekarang, ada potensi yang hilang karena pedagang tidak bisa berjualan di tempat lain. Mungkin, hal ini masih bisa berlaku bagi pedagang seperti Jono dan Mulyono yang mengkhususkan diri berjualan di klitikan.
Konsep ini kemudian berubah seiring berjalannya waktu dan meningkatnya penduduk di wilayah sekitar pasar. Istianto juga menambahkan adanya peran kebijakan pemerintah berupa program revitalisasi pasar sehingga mendorong pasar bisa buka setiap hari tanpa harus menunggu hari pasaran. Walaupun demikian, menurutnya masih banyak pasar di pedesaan Kulonprogo yang hanya ramai ketika tiba hari pasaran.
Menyoal pemindahan pedagang klitikan seperti yang terjadi di Godean, Istianto menggarisbawahi pentingnya mengingat sejarah suatu pasar. Sebab, menurutnya, pasar punya karakteristik masing-masing berdasarkan barang komoditas yang di jual. “Jangan sampai pemindahan pedagang mengubah karakter itu dan membuat warga kesulitan berbelanja,” imbuhnya.
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat pedesaan, hari pasaran juga menjadi waktu ketika warga bisa mendapatkan hiburan. Tidak jarang ada orang sengaja meluangkan waktu demi datang ke pon-ponan Pasar Godean. Tujuannya tidak selalu untuk membeli barang tetapi bisa juga demi sebuah aktivitas rekreasi ala rakyat kecil dengan sekadar melihat-lihat aneka barang dagangan. Dulu, saya pun sering menemukan tetangga saya sengaja datang ke pon-ponan Godean untuk mereparasi sabit atau cangkul di pandai besi.
Beberapa warga lain akan menunggu momen ini untuk menjual aneka barang kepada penjual di klitikan. Ketika saya berangkat tadi, di perempatan Seyegan, 2 kilometer di utara Stadion TGP, saya melihat beberapa perempuan tua menerima orang yang akan membeli ayam. Di lapak samping dagangan Jono, beberapa saat lalu, ada seorang pria menjual 3 pasang shock breaker sepeda motor kepada seorang pedagang. Mereka cukup alot bernegosiasi sebelum menemukan kata sepakat.
Menariknya, di pon-ponan Godean ini saya menemukan fakta bahwa para pedagang dan pembeli sudah saling kenal. Hampir tidak ada adegan si pedagang menawarkan barang ke orang yang lewat di depan lapaknya. Seorang pria asal Gamping yang enggan disebutkan namanya datang ke sini sekadar untuk meminjam kunci ke seorang pedagang karena sepedanya rusak. Ia pun ternyata sudah kenal baik dengan si pedagang.
“Dulu pernah beli suku cadang sepeda motor ke dia, terus sampai sekarang jadi kenal,” terangnya.
Sementara itu, matahari semakin tinggi. Jarum pendek telah melewati angka 10, jarum panjangnya telah mendekati angka 9. Beberapa pedagang telah pergi, beberapa lainnya masih setia menanti pembeli. Mulyono memberesi unggas-unggasnya. Ia bersiap pulang.
“Soalnya Jumat, Mas, hari pendek. Kalau biasanya saya sampai jam 12-an,” terangnya sembari berkemas. Sementara Jono masih setiap mengamati lalu lalang pengunjung. Hari ini, belum ada satupun pembeli. “Ya biasa to, Mas, orang dagang itu kadang sepi kadang ramai,” cetusnya santai.
Dari kejauhan, beberapa ekor ayam melongok keluar dari kandang di motor Mulyono. Mungkin mereka lega hidupnya tidak jadi berakhir di penggorengan. Mereka tidak tahu saja, esok hari Mulyono akan berjualan di klitikan Pasar Cebongan, 5 kilometer dari tempat ini. Dan mereka bisa saja laku di sana.
Reporter : Syaeful Cahyadi
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Kampung Kemasan, Potret Kejayaan Perdagangan Gresik di Masa Silam dan liputan menarik lainnya di Susul.