Sopir Bus Pariwisata Berbagi Rahasia Membuat Penumpang Rewel Jadi Bahagia

Ilustrasi Sopir Bus Pariwisata Berbagi Rahasia Membuat Penumpang Rewel Jadi Bahagia. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sopir bus pariwisata punya tantangan tersendiri ketika membawa kendaraan di sebuah tujuan wisata. Mulai dari penumpang yang rewel sampai saat melakukan perjalanan jauh. 

***

Sebagian sopir bus pariwisata di area Parkir Senopati sekitar Titik Nol Kilometer tampak sedang nikmat berstirahat di bagasi yang terbuka. Ada yang tidur terlelap tapi ada juga yang tengah nikmat menyesap rokok sambil menonton video TikTok dengan latar suara jedag-jedug.

Rabu (8/3) saat saya berkunjung memang tanggal merah. Tapi Parkir Senopati penuh dengan rombongan study tour dari luar daerah. Terlihat berasal beragam usia dan latar belakang, ada rombongan murid TK, SD, sampai anak SMA berseragam kedinasan. Begitulah Jogja, tak ada hari tanpa hilir mudik bus pariwisata.

Saya mendekat ke segerombolan sopir dan kru bus pariwisata yang tengah beristirahat. Setelah menyampaikan maksud untuk berbincang dan wawancara, sontak mereka saling tunjuk.

“Iki wae Mas, sik paling pengalaman,” ujar seorang di antara mereka sembari berdiri dari duduknya. Mereka lantas tertawa sambil menunjuk-nunjuk seorang sopir bernama Fajar Nur Haryanto (26).

Ora Mas, aku gur kernet,” kata Fajar tertawa. Tapi teman-temannya lantas menyergah, menyebut bahwa Fajar adalah sopir. Temannya yang lain lantas terlihat sok sibuk mengelap kaca bus sambil menertawakan Fajar.

Hashh koe ki sopir kok macak kernet,” kata Fajar pada temannya tadi.

Meski awalnya juga malu-malu, Fajar akhirnya mau buka suara. Ia memang terhitung paling muda di antara yang lainnya. Lelaki berambut pirang ini berdandan rapi menggunakan seragam korsa lengan pendek berwarna hitam. Kali ini sedang mengantar rombongan murid SD dari Solo.

“Aku sudah nyopir bus dari umur 17 tahun,” ujarnya membuka cerita.

Ia mengaku, saat awal menjadi sopir bus baru mengantongi SIM A saja. Di usia 17 tahun, kepemilikan SIM tentu ia dapat dengan mencari jalan pintas. Saat ini ia tentu sudah mendapat SIM B 1 untuk pengemudi mobil penumpang atau barang dengan tujuan komersil serta memiliki berat kendaraan lebih dari 3.500kg

Perbedaan mengemudi bus pariwisata dengan AKAP

Buat Fajar, ada cinta mendalam terhadap stir bundar. Ia mengaku sudah hobi dengan mobil sejak kecil. Keluarga membuatnya mengenal dekat dunia roda empat. Tak heran jika saat masih duduk di bangku SMP ia sudah lanyah memacu kendaraan.

Aku wes iso nyopir dari kelas 1 SMP,” tuturnya terkekeh.

Waktu berjalan, pada usia 17 tahun, setelah bisa membawa kendaraan setaraf bus, ia mulai nyemplung sebagai sopir. Tapi Fajar sebenarnya bukanlah sopir bus pariwisata. Secara reguler, ia tergabung dengan salah satu PO Bus besar sebagai sopir bus AKAP

“Bawa bus pariwisata itu pas libur kerja di PO. Ya buat nambah-nambah uang lah,” terangnya.

Saat menjadi sopir AKAP Fajar biasa menempuh rute jauh. Selain rute antar kota dan provinsi di Jawa, trayek terjauh yang ia kemudikan adalah Solo-Pekanbaru. Perjalanan jauh membuatnya hapal betul beragam jalan dan tantangan-tantangannya masing-masing.

Menurutnya, saat menyopiri bus AKAP, secara penampilan dan perangai ia bisa lebih santai. Tancap gas cepat sudah biasa. Lantaran memang bus jenis ini berkejaran dengan waktu. Hal itu juga yang menjadi tantangan tersendiri buat Fajar.

“Kalau AKAP memang nggak nyantai. Ada jadwal berangkat dan perkiraan jadwal sampai,” tuturnya.

Sedangkan kalau bus pariwisata, urusan waktu cenderung lebih fleksibel. Sehingga sopir bisa sedikit lebih nyantai.

Sopir bus beristirahat di bagasi. MOJOK.CO
Sopir bus beristirahat di bagasi. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Saat menyopiri bus AKAP Fajar juga lebih bebas urusan pakaian. Sedangkan saat membawa bus pariwisata, terkhusus di bawah naungan PO tertentu, biasanya seragam dan penampilan harus rapi. Seperti yang tampak dari pakaiannya saat ini.

“Ya kurang lebih seperti ini,” katanya sambil menunjuk seragamnya sendiri.

Siang semakin terik, pepohonan di atas trotoar sudah tak mampu lagi menghalangi pancaran matahari. Fajar mengajak saya untuk duduk di bagasi yang terbuka dengan alas sebuah kasur busa tipis seadanya. Ternyata cukup nyaman dan sedikit mampu melindungi dari pancaran sinar mentari.

Hal menyenangkan dan sulitnya menjadi sopir bus pariwisata

Saat ditanya, lebih nyaman mana antara menyopiri bus pariwisata dengan AKAP, Fajar mengaku keduanya sama saja. Tapi memang saat bersama bus pariwisata para sopir bisa sekalian mencari hiburan di kota orang.

Buat Fajar, Jogja memang tampak biasa karena sudah sering ia kunjungi. Namun, ia mengaku sekalian bisa liburan saat mengantar ke sejumlah kota yang jauh dan jarang atau bahkan belum pernah ia kunjungi.

“Paling jauh kalau mengantar pariwisata pernah ke Bali. Selain itu ke Padang juga pernah, ya lumayan jauh-jauh juga,” terangnya.

Mengenai sistem pengupahan, Fajar mendapat bayaran per perjalanan. Ia akan mendapat 10 persen dari biaya penyewaan armada bus yang ia bawa. 

“Kebanyakan kalau bus, terutama sopir yang lepas seperti saya, begitu sistemnya,” katanya.

Meski ada sisi menyenangkan, Fajar berujar kalau membawa rombongan wisata memang perlu servis ekstra. Ia menyebut bahwa mereka cenderung lebih banyak komplain ketimbang penumpang bus-bus biasa.

“Beda dengan AKAP, penumpangnya kan gonta-ganti. Pariwisata kan penumpangnya satu dan langsung berhubungan dengan manajemen,” keluhnya.

Keluhan yang ia terima cukup beragam. Tapi kebanyakan memang urusan kecepatan membawa bus. Kalau terlalu cepat dan salip-salipan, penumpang kerap merasa khawatir dan tidak nyaman. Tapi jika terlalu lambat juga rawan mendapat keluhan.

Pokoke kudu pas wae. Nyopirnya itu alus,” cetusnya.

Baca halaman selanjutnya

Membuat penumpang rewel jadi bahagia

Membuat penumpang rewel jadi bahagia

Senada, Arif (31), sopir bus pariwisata lain yang saya temui di tempat itu juga berprinsip saat menyopiri itu harus tenang. Baginya, kepuasan penumpang memang jadi prioritas utama.

“Ya memang permintaan penumpang itu macam-macam. Tapi asal bisa menyikapinya dengan pas ya oke-oke saja,” tutur sosok yang mengaku sudah empat tahun jadi sopir tetap di sebuah PO bus pariwisata ini.

Ia mengaku punya cara khusus untuk membuat penumpang senang penumpang. Membuat mereka nyaman dan terlena selama perjalanan.

“Kuncinya kalau saya cuma satu. Sepanjang perjalanan full musik dan audio-nya yang jos. Sudah itu penumpang pasti senang,” ujarnya terkekeh.

Alih-alih soal permintaan dan komplain penumpang, tantangan terberat menurut Arif justru saat proses antar jemput. Saat menjemput, biasanya ia harus membawa kendaraan ini melintas di gang-gang kecil. Sesuatu yang jadi momok bagi para sopir. Konsentrasi penuh mereka butuhkan.

“Sebab di sekitar ya ada pohon, kabel, inilah yang paling susah,” keluhnya.

Bus pariwisata di jalanan Jogja. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Terlepas dari persoalan itu ia mengaku senang menjalani pekerjaan ini. Setiap singgah di kantong-kantong parkir, ia bisa berkumpul bersama rekan senasib di kota-kota lain. Kota yang jauh dari asalnya.

Jogja di mata para sopir bus pariwisata

Deretan bus pariwisata setiap hari mewarnai jalanan Jogja. Bahkan terkadang mereka melintas dengan pengawalan Patwal Polisi. Sentimen buruk terhadap wisatawan pun sering muncul. Mereka kerap dianggap menyumbang kemacetan.

Kedua sopir ini juga turut berbagi pendapatnya soal hal itu. Fajar misalnya, menganggap Jogja sebagai lintasan penuh tantangan. Selain ruas jalan yang cukup sempit dengan volume kendaraan padat, wilayah ini punya lampu merah terlalu banyak.

“Dari Klaten sampai kota sini, rasanya dikit-dikit kok lampu merah. Itu yang agak berat buat para sopir,” paparnya.

Fajar juga mengaku punya pengalaman mendapat pengawalan polisi. Kondisi itu terjadi karena kehendak penyewa armada bus. Biasanya pengawalan dilakukan jika rombongan lebih dari lima bus. Selain itu juga saat membawa rombongan haji.

Secara pribadi, ia memahami keluhan masyarakat yang merasa terganggu. Di sisi lain, pengawalan itu menurut Fajar terkadang justru membuat bingung para sopir.

Patwal kan mobilnya kecil. Kadang kami yang dikawal juga tetap terputus di jalan dan nggak pasti semua dapat jalan. Sebagai driver itu kadang bingung kalau yang ngawal nggak pinter buka jalan,” terangnya.

Senada, Arif beranggapan bahwa sopir tidak punya kuasa. Pengawalan hanya terjadi karena permintaan pihak biro dan penyewa. Jika mendapat pengawalan ya ia hanya manut. Hitung-hitung bisa sedikit lebih cepat di perjalanan.

“Perkara ada keluhan dari masyarakat, ya bagaimana lagi, kami cuma ngikut,” ujarnya.

Tak berselang lama, rombongan yang mereka antar sudah kembali dari Malioboro. Mesin bus kembali dinyalakan. Para sopir ini bersiap kembali ke jalan. Tempat mereka sehari-hari mencari penghidupan.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Dilema Kota Wisata, Keresahan Warga Jogja Melihat Maraknya Bus Pariwisata dengan Patwal Polisi dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.

Exit mobile version