Sempat Dikira Prank, Mataram is Love Jadi Pintu Masuk Perdamaian Abadi Suporter

Puluhan ribu suporter sepak bola DIY, Solo, dan suporter dari berbagai klub sepak bola di Indonesia berkumpul di Mandala Krida, Selasa (4/10/2022). Undangan untuk kumpul di Mandala Krida sempat dikira prank mengingat rivalitas antarsuporter selama ini. 

***

Jumat 12 Februari 2010, suporter PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman yang menyaksikan pertandingan kedua klub tersebut  tidak akan melupakan peristiwa yang terjadi di Stadion Mandala Krida. 

Hari itu menjadi awal bagi Sleman Fans sebagai pendukung PSS untuk melakukan tur ke kandang PSIM di Stadion Mandala Krida. Momentum itu juga dijadikan sebagai bersatunya suporter DIY. Baik Brajamusti (suporter PSIM) dan Sleman Fans saling bergantian menyanyikan chant mereka. 

Namun, sepertinya suasana damai itu gagal terwujud ketika sekitar menit ke-63 polisi terpancing emosi oleh ulah oknum suporter yang melempar botol. Tembakan gas air mata diarahkan oknum Brimob ke tribun penonton. Suasana chaos. Penonton panik, berlarian dari arah tribun mencari jalan keluar. 

Walikota Yogyakarta saat itu Herry Zudianto mengambil mikrofon. “Itu anak anak saya, jangan ditembaki.” Walikota yang akrab disapa HZ itu bahkan sampai meminta dengan kondisi menangis. Beruntung tidak ada korban jiwa saat itu. 

Utas Twitter yang diunggah Herry Zudianto tentang peristiwa tahun 2010 (HZ menulis tahun 2009)

 

Unggahan Twitter penonton di peristiwa tahun 2010.

 

Bersatunya basis suporter DIY, di tahun 2010 mungkin saja tertunda. Namun, Selasa 4 Oktober 2022 menjadi memomentum  kelompok suporter dari PSIM dan PSS Sleman bukan hanya bertemu, tapi juga datang dalam kedamaian. 

Redaktur Mojok.co, Yamadipati Seno di Terminal Mojok menulis:

Sekitar pukul 17.45, dari arah utara, terdengar rombongan besar sepeda motor mendekat. Sedetik kemudian, chant indah dari suporter terdengar.

“Di sini Sleman, di sana Jogja, di mana-mana kita saudara!”

Sigap saya merogoh hape dari saku dan mengabadikan momen bersejarah ini. Ketika suporter PSS Sleman dan PSIM Jogja sahut-menyahut chant. Bukan dengan lirik yang berbahaya dan mengancam, tapi lantunan lagu persaudaraan yang sudah lama sekali menghilang dari telinga anak-anak kandung Bumi Mataram.

Bukan hanya dua suporter PSS Sleman dan PSIM Jogja yang bergabung, tapi juga Persis Solo, yang juga memiliki rivalitas panas dengan suporter PSIM Jogja. Masih dari Jogja, datang juga suporter Persiba Bantul, CNF dan Paserbumi. Tidak ada Mataram is Red atau Mataram is Blue, adanya Mataram is Love!

Bukan hanya suporter dari tiga klub besar di DIY-Jateng, malam itu, acara salat gaib untuk para korban tragedi Kanjuruhan di Stadion Mandala Krida juga diikuti suporter-suporter Viking Jogja, Pasjog, Lajog, Bonek Jogja, Ultras Garuda, LA Grande, Sriwijaya, Maczman, Smeck, Arema Jogja, Persipura, dan elemen-elemen suporter lainnya.

Acara doa bersama itu menjadi momentum bagi suporter untuk menjalin perdamaian abadi antarsuporter. Bagaimana kemudian puluhan ribu suporter yang punya rivalitas bertahun-tahun ini bisa berkumpul bersama dengan semangat yang sama? Menghentikan rivalitas panas. Mojok bertemu dengan beberapa pentolan suporter untuk mengetahui proses pertemuan itu terjadi dan selanjutnya akan dibawa suasana damai yang tercipta.

***

Ada pemandangan menarik yang saya saksikan di beberapa sudut Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mural-mural dan spanduk yang tampak  belum lama digambar menghiasi beberapa tembok terbengkalai di pinggiran jalan raya. 

Salah satunya di dekat Pojok Benteng Wetan, Jogja. Tertulis, bahwa Mataram bukan biru, hijau, atau pun merah. “Mataram is love,” tulis mural itu. Di setiap abjad penyusun frasa itu, warna biru, hijau, dan merah selang-seling mewarnai.  Biru menandakan PSIM Jogja, hijau PSS Sleman, dan merah jadi warna yang identik dengan Persis Solo.

Mural di Pojok Beteng Wetan, Mataram is Love
Mural di Pojok Beteng Wetan, Mataram is Love. (Agung P/Mojok.co)

Selanjutnya, Selasa (4/10) malam, jalanan DIY ramai oleh rombongan pemotor yang datang hampir dari segala penjuru. Menuju satu tempat yakni Stadion Mandala Krida. Di antara pemotor itu, tampak beberapa yang membawa bendera. Dua bendera dalam satu kayu sederhana. Hijau-putih-hitam dan biru dengan lambang tugu menyatu. Berderet pada tiang yang sama.

Di halaman Stadion Mandala Krida, suporter yang datang dari beragam penjuru tadi menyatu. Tumpah ruah. Senandung lagu yang biasa dilantangkan untuk mendukung masing-masing tim kebanggaan, dilantunkan secara bergantian.

Mereka berkumpul untuk berdoa dan memberikan dukungan pada tragedi yang menimpa suporter Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Malang, beberapa waktu lalu. Tragedi kelam yang menewaskan 131 orang. 

Namun, di sisi lain, bagi para suporter yang hadir, malam itu adalah momen untuk menurunkan ego. Rivalitas yang pernah terjadi ditanggalkan. Pada Mojok, Presiden Brajamusti, Burhan Thole bercerita kalau ia tak menyangka bahwa malam itu, acara untuk tragedi Kanjuruhan itu berjalan begitu khidmat.

“Malam itu benar-benar di luar dugaan,” ujarnya saat dihubungi pada Rabu (5/10).

Di Jogja, aksi doa bersama mulanya diinisiasi oleh suporter Arema. Acara dilaksanakan di Titik Nol Kilometer pada Minggu, 2 Oktober 2022. Acara itu diikuti oleh berbagai kelompok suporter yang ada di Jogja. Mulai dari Aremania, The Jack, Viking, hingga kelompok suporter klub DIY.

Pada acara itu, Thole mengaku mengadakan rapat kecil-kecilan bersama sejumlah pengurus Brajamusti. Mereka ingin mengadakan acara doa dan dukungan pada tragedi Kanjuruhan. Namun, dengan mewadahi lebih banyak elemen suporter.

“Kami lihat di Mandala Krida mungkin bisa mengadakan acara serupa,” tuturnya.

Dalam waktu yang singkat, mereka merencanakan acara itu. Sehari berselang, pada Senin, mereka akhirnya mendapat konfirmasi perizinan bahwa acara bisa digelar di Stadion Mandala Krida. Senin pukul tiga sore, mereka memantapkan diri.

“Awalnya kami ingin mengajak elemen suporter yang ada di Jogja saja,” kata Thole.

Berawal di Klaten

Malam harinya, ketika sedang mematangkan acara, sebagian anggota Brajamusti bertolak ke Klaten. Memenuhi undangan Aremania Klaten untuk menggelar doa bersama. Di Klaten, suporter Jogja, Sleman, dan Solo yang diundang berkumpul dengan damai.

“Ternyata pengurus kita mengabarkan kalau respon teman dari Solo katanya bagus. Malah malem itu juga anak Brajamusti diajak ke Solo. Akhirnya kita putuskan ngundang temen dari Solo juga,” terangnya.

Hingga akhirnya, ribuan suporter dari DIY dan Jawa Tengah hadir di Mandala Krida. Sleman dan Solo yang punya kisah rivalitas panjang dengan Jogja, datang dengan damai. Saling menyambut dan bergandengan.

“Ada tiga titik penjemputan di Jombor, Gejayan, sama Prambanan. Yang bikin saya merinding, temen-temen dari Bantul, Brajamusti Bantul, Paser Bumi, dan CNF itu salat magrib bersama lalu berangkat bareng. Suporter di Jalan Wates yang dulu punya kisah kelam, juga berangkat bareng. Jalan Godean, berangkat bareng. Laskar kita di Jalan Magelang juga nunggu temen-temen Slemania di sana,” ujar Thole bahagia.

Thole optimis bahwa selain untuk memberikan dukungan dan mengawal tragedi Kanjuruhan, momen ini bisa memupuk perdamaian dalam jangka panjang. Sebab, kesadaran ini datang dari akar rumput. Sebelum pengurus Brajamusti bergerak, di Prambanan, elemen suporter Jogja, Sleman, dan Solo sudah bergandengan.

“Sejak lama kami sudah sering deklarasi damai dengan BCS di Polda DIY. Tapi deklarasi itu dilakukan oleh petinggi suporter. Yang buat saya optimis, ini kan kepingan puzzle-nya dari teman-teman akar rumput,” jelasnya.

Malam itu, elemen suporter ini juga mengadakan forum bersama. Mereka sepakat bahwa dalam waktu dekat, fokus bersama adalah mengawal kasus yang terjadi di Malang. Memberikan dukungan pada Aremania.

“Berikutnya baru kita bicara lebih detail lewat pertemuan lanjutan di Jogja, Sleman, atau pun di Solo,” ujarnya. 

Dari Solo membawa damai

Pada kesempatan berbeda, Presiden Pasoepati, Maryadi Gondrong bercerita kalau momen lawatan ke Jogja malam kemarin adalah hal yang begitu luar biasa. Ia tak menyangka, bersama sekitar 1.500 suporter dari Solo, datang dan disambut hangat di Mandala Krida.

“Kami sudah sekian lama rivalitas, cukup sengit,” katanya.

Unggahan Twitter dari suporter Persis Solo yang berfoto di mural yang ada di Pojok Beteng Wetan, Kota Jogja.

Rombongan dari Solo mulanya berkumpul di Stadion Manahan pada pukul lima sore. Berangkat dengan pengawalan dari pihak kepolisian. Hingga akhirnya tiba di Mandala Krida pada pukul setengah delapan malam.

Namun, sebelum masuk ke Prambanan, terlebih dahulu mereka disambut oleh BCS, Slemania, dan Brajamusti. Sebagian saling berpelukan hangat.

“Rivalitas yang dulu sangat sengit, seperti hilang begitu saja. Kami diarak sampai masuk ke dalam halaman stadion Mandala Krida. Ini hal yang luar biasa bagi kami, suporter Persis Solo,” tuturnya.

Sebelum akhirnya disambut, lelaki ini mengaku datang dengan hati yang tidak tenang. Ada kekhawatiran bahwa acara tidak berjalan sesuai rencana. Di jalanan, banyak hal bisa terjadi.

“Saya ini termasuk orang yang paling dibenci sama Brajamusti dan Mataram Independent (Maident). Mudah ditandai saya ini, tinggi dan gondrong. Awalnya sempat khawatir kalau kena prank,” ujarnya tertawa. 

“Tapi setelah sampai Jogja saya terharu. Melihat kondisi mereka yang menerima kami dengan sangat terbuka,” lanjutnya.

Seperti halnya Thole, Maryadi melihat bahwa kesadaran untuk menjaga keharmonisan ini justru berawal bukan dari pentolan atau pengurus organisasi suporter. Ia berharap upaya seperti ini terus dirawat di masa depan.

Ia mengajak para pendukung untuk menghilangkan jiwa pendendam. Alih-alih mewariskan kebencian, perdamaianlah yang harus dilanjutkan ke generasi suporter selanjutnya.

“Kita punya anak cucu, kita harus nyangoni (membekali), bekal bahwa perdamaian antara Solo dan jogja sudah ada, pertikaiannya sudah berakhir. Itu harus terus tanamkan ke junior kita. Tidak perlu ada rivalitas terus menerus,” harapnya.

Optimisme dari Sleman

Ribuan suporter Sleman, BCS dan Slemania, membanjiri halaman Mandala Krida. Tempat yang menyimpan banyak cerita rivalitas kala PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta masih di kasta kompetisi yang sama.

Mural dukungan dari suporter di DIY untuk suporter Arema. (Agung P)

Capo BCS, Gregorius Aryatama melihat bahwa momentum ini tumbuh dari kesadaran para suporter secara organik. Hal seperti ini, baginya, lebih melecut kesadaran ketimbang sesuatu yang dipaksakan.

“Tidak ada paksaan untuk berdamai, tapi mereka sadar, menurunkan ego. Gerakan ini mungkin dimulai dari (daerah) perbatasan-berbatasan. Hingga akhirnya menggugah kesadaran teman-teman secara kolektif semuanya,” ujar lelaki yang akrab disapa Arya.

Baginya, memang tidak mudah untuk menyatukan pemikiran berbagai kalangan suporter. Namun, jika semakin banyak di antara mereka yang telah memiliki kesadaran untuk damai, maka semakin mudah untuk menyatukan pemikiran.

“Teman-teman ini yang banyak sudah sadar, kalau tetap ada yang melanggar perdamaian harus selalu diingatkan dan dirangkul,” paparnya.

“Perlu untuk kesadaran semakin luas. Intinya sama-sama saling jaga, mengingatkan, tidak ada paksaan, mereka harus mengalir dan kesadarannya bertumbuh dengan sendirinya,” lanjutnya.

Arya juga berujar bahwa upaya untuk menjaga perdamaian bukan hanya datang dari suporter. Baginya, pihak lain yang ada di ekosistem sepak bola Indonesia juga harus memiliki kesadaran untuk lebih memanusiakan suporter.

“Suporter jangan selalu ditindas dan dimanfaatkan. Kami juga mau dikaruhke,” ujarnya.

Pada Kamis (6/10), giliran Sleman Fans yang mengadakan agenda untuk mendoakan dan mendukung korban tragedi Kanjuruhan. Agenda itu dilakukan di Stadion Maguwoharjo dan mengundang semua elemen untuk hadir. Termasuk para suporter klub-klub sekitar.

Memperbaiki tata kelola sepak bola Indonesia

Selanjutnya, akademisi yang kerap meneliti dunia sepak bola tanah air, Dr. Fajar Junaedi melihat bahwa upaya rekonsiliasi antarsuporter ini adalah hal yang harus disyukuri. Rivalitas, menurutnya, harus tetap positif tanpa chant-chant rasis dan kekerasan.

“Fokusnya memang pada mendukung tim. Bukan pada perselisihan,” ujar penulis buku Merayakan Sepak Bola ini.

Baginya, selama ini para suporter di Indonesia kerap terjebak dalam konflik horizontal. Hal yang membuat mereka teralihkan dari permasalahan yang lebih penting yakni tata kelola sepak bola nasional.

“Kedamaian langgeng ketika tata kelola sehat. Ketika tidak sehat muncul ketidakpuasan, yang jadi benih konflik horizontal,” jelasnya.

Menurutnya, selama ini kelompok suporter masih kerap diperlakukan dengan kurang layak. Ia memberikan gambaran politik ruang di stadion yang menempatkan suporter bak sosok yang buas. Hal itu terlihat dari pagar besi yang membatasi tribun suporter dengan lapangan. 

“Bahkan di beberapa stadion di depan pagar dikasih selokan. Ini layaknya kandang hewan di kebun binatang. Ini pemenjaraan, penonton sejak awal diprasangka sebagai sosok yang buas,” tegasnya.

Pitch invasion memang tidak boleh. Tapi penyelenggara harus adil. Suporter perlu dimanusiakan. Tragedi kemarin ini (di Malang), para seperti sudah dikandang (di tribun) lalu ditembak gas air mata,” pungkasnya.

Mantan Walikota Herry Zudianto dalam pesan yang dikirim ke Mojok mengatakan, “Saya terharu, karena peristiwa tragedi dan duka mendalam di stadion Kanjuhuran dan tragedi di berbagai event sepak bola sebelumnya. Termasuk tragedi Febuari 2010 di Manda Krida membuahkan hikmah kesadaran komunitas suporter akan nilai dan peradaban suporter yang sesungguhnya harus dibangun dan dijaga yaitu: sikap sportifitas dalam olahraga dalam fanatisme klub, rasa kebersamaan sebagai sesama suporter dalam fanatisme club. Jadikan wadah supporter seaagai wadah eksistensi anak2 muda sekaligus bagian pembinaan rasa IKA an dalam ke BHINEKAAN INDONESIA.”

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Jadi Momentum Hentikan Kebencian, Puluhan Ribu Suporter Kumpul di Mandala Krida

 

Exit mobile version