Budi Waluyo sudah 13 tahun menjadi penjaga menara suar. Ia pernah bertugas di beberapa lokasi di pantai selatan Jawa. Beragam pengalaman pernah dilaluinya. Berikut ini kisahnya.
***
“Maaf, Mas. Mau tanya. Kalau mau ke menara suar Tanjung Baron, lewat jalan mana, ya?” tanya saya ke tukang parkir di Pantai Baron.
“Dari simpang tiga itu, nanti ambil arah kanan aja, nanti ada jalan kecil belum aspalan, masuk aja terus,” jawabnya singkat.
Saya putar balik kendaraan menuju jalan kecil yang ekstrem. Motor melaju pelan. Jalan berliku tajam. Di samping kiri terdapat aneka jenis pohon yang tumbuh subur. Sedangkan, di samping kanan, pemandangan birunya air laut Pantai Baron membentang luas.
Jumat (5/6/2022) Pantai Baron terlihat lengang. Tak seperti hari libur yang selalu ramai pengunjung. Sore itu hanya ada beberapa anak kecil yang bermain air dan sejumlah pasangan yang tengah memadu kasih sambil bermain pasir putih.
Tujuan utama saya datang ke Pantai Baron kali ini bukan untuk healing. Melainkan untuk melihat megahnya Menara Suar Tanjung Baron yang tepat berada di sebelah kiri bibir pantai.
Menara Tanjung Baron memiliki ketinggian 40 meter. Menara berwarna putih itu terhitung masih baru. Dibangun tahun 2012 dan diresmikan pada tahun 2014. Sementara itu, jarak jangkauan menara ini diperkirakan 12 mil laut atau sekitar 22,224 kilometer.
Sejarah mencatat, menara suar di Indonesia dibangun pertama kali pada masa Pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tepatnya pada abad ke-19. Salah satu menara suar tertua di Indonesia adalah Menara Suar Tanjung Kalian, Bangka Belitung. Konon, menara yang memiliki ketinggian 65 meter ini dibangun tahun 1862.
Menurut data dari Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, saat ini Indonesia memiliki 285 menara suar yang dikelola 25 Kantor Distrik Navigasi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri terdapat dua menara suar, yakni Menara Suar Samas di Bantul dan Menara Suar Tanjung Baron di Gunungkidul.
Sebagai orang yang masih awam dengan dunia navigasi, saya tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya fungsi menara suar dan apa saja tugas seorang penjaga menara suar. Untuk itu, saya langsung menemui salah satu penjaga Menara Tanjung Baron, Budi Waluyo (43).
Modal ijazah SMP
Jauh sebelum menjadi penjaga menara suar, Budi Waluyo bekerja sebagai tukang parkir selama empat tahun di salah satu pasar di Boyolali. Kemudian ia melamar pekerjaan di Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Modalnya hanya ijazah SMP. Nasib baik menghampirinya. Pria yang akrab disapa Pak Budi itu akhirnya diterima di Distrik Navigasi Kelas III, Cilacap, Jawa Tengah.
“Saya dulu melamar pekerjaan ini sekitar tahun 2009 cuma pakai ijazah SMP. Padahal, sebenarnya saya punya ijazah STM, tapi nggak tau kenapa dulu bisa gitu. Yang penting keterima,” tutur pria asal Boyolali itu mengawali perbincangan.
Tidak pernah terlintas di pikiran Pak Budi bahwa ia akan menjaga menara suar. Saat melamar pekerjaan tersebut, dulunya, ia berpikir bahwa akan ditempatkan di bagian Otoritas Pelabuhan (Port Authority) yang bertugas sebagai pengawas kepelabuhan.
Namun, setelah mengikuti penataran, Pak Budi diberi tugas untuk menjaga menara suar. Wilayah kerjanya di Distrik Navigasi Kelas III Cilacap yang mencakup empat wilayah, yakni Pacitan (Jawa Timur), Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Sukabumi (Jawa Barat). Sejak tahun 2009, setiap tiga bulan sekali ia berpindah-pindah tempat. Setidaknya sudah delapan menara suar yang pernah Pak Budi singgahi.
“Mulai bertugas di Gunungkidul itu sejak awal bulan Mei (2022) kemarin. Ya, senang ditempatkan di sini, kan dekat tuh dari Boyolali, jadi tiap satu bulan sekali bisa pulang,” tutur Pak Budi.
Pak Budi tidak sendiri menjaga Menara Suar Tanjung Baron. Bersama keempat kawannya, ia setiap hari mengurus berbagai keperluan menara suar, seperti membersihkan setiap lantai menara suar, mengecek lampu menara suar, dan memantau kapal-kapal yang sedang berlayar di tengah lautan.
“Yang paling penting itu memastikan lampu menara suar tetap menyala pada waktu malam hari, Mas. Pernah kejadian dulu lampu menara mati. Wah, nggak sedikit nelayan yang datang ke sini menanyakannya,” terang Pak Budi.
Pak Budi mengakui, bahwa saat ini sudah banyak kapal-kapal yang menggunakan teknologi GPS. Namun, tidak sedikit juga para nelayan yang belum memiliki teknologi ini. Selain itu, menara suar tetap diperlukan bagi kapal-kapal besar sebagai penanda adanya daratan dengan kedalaman laut yang dangkal.
“Kalau buat kapal-kapal besar, sih, menara ini masih dibutuhkan. Soalnya di tepi laut kan dangkal, ya, jadi berisiko buat kapal-kapal besar. Dengan melihat menara suar, mereka akan tahu bahwa di sini ada daratan yang punya kedalaman dangkal. Kalau enggak tahu, ya, bisa aja nggasruk,” jelas Pak Budi.
Sejatinya, saya ingin melihat ke dalam dan naik ke lantai atas menara. Namun, sudah sejak 2017 lalu, para wisatawan yang datang ke Pantai Baron dilarang untuk naik ke atas menara. Tidak hanya di menara ini saja, tetapi juga di area lain, khususnya Distrik Navigasi, Cilacap.
Menurut penuturan Pak Budi, selain petugas, masyarakat umum tidak diperbolehkan naik menara suar karena kegiatan ini dipandang masih ilegal. Kendati demikian, mereka masih diperbolehkan untuk memasuki area menara suar untuk berfoto-foto.
“Sekitar lima tahun lalu wisatawan dilarang untuk naik ke atas. Itu sudah peraturan di distrik saya. Soalnya, dulu pernah kejadian ada salah seorang yang meninggal dunia di atas menara karena kelelahan. Pokoknya di salah satu menara suar, saya nggak akan sebut di mana lokasinya,” terang Pak Budi.
Macan kumbang dan makhluk tak kasat mata
Selama tiga belas tahun menjadi penjaga menara suar, Pak Budi menyimpan banyak cerita unik dan menegangkan yang sulit untuk dilupakan. Dari delapan menara suar yang pernah ia singgahi, salah satu yang paling mengesankan adalah saat bertugas di Menara Suar Cimiring (Nusakambangan).
Menara Suar Cimiring terletak di ujung timur pulau Nusakambangan. Lokasinya berada di kawasan pegunungan. Akses jalan menuju menara suar ini cukup ekstrem. Sulit dilalui kendaraan bermotor. Pak Budi harus jalan kaki sejauh 5 kilometer membelah hutan belantara untuk sampai di lokasi.
“Paling ekstrem memang di Cimiring. Di sana kan dulu nggak bisa dilewati motor, jalanannya naik turun, curam, gitu. Jadi, untuk ngangkut BBM harus pakai kuda,” kenang Pak Budi.
Pak Budi menceritakan, di Menara Suar Cimiring belum ada arus listrik sehingga untuk penerangan masih menggunakan genset diesel dengan bahan bakar solar. Setiap seminggu sekali, ia harus mengangkut bahan bakar solar menggunakan dua kuda. Masing-masing kuda membawa 25 liter solar.
“Di Cimiring itu, selain membersihkan menara suar, setiap hari saya juga harus mencari rumput buat pakan kuda. Memang benar-benar serasa jadi petani kalau di sana. Lumayan capek, sih, tapi tetap tak lakoni dengan senang hati, Mas,” tuturnya sambil tersenyum.
Mengemban tugas sebagai penjaga menara suar, membuat Pak Budi harus siap ditempatkan di mana saja, termasuk di Cimiring yang dikenal sering kekeringan. Bahkan, untuk keperluan makan dan minum, ia memasak sendiri menggunakan air hujan.
Setiap kali turun hujan, Pak Budi mengaku sangat senang karena persediaan air melimpah. Namun, saat musim kemarau, ia hanya bisa mengandalkan air yang ada di dalam bak tampungan sisa-sisa musim penghujan. “Ya, mau nggak mau harus irit air, kalau enggak, ya gimana, ketar-ketir” lanjutnya diselingi tawa.
Tidak hanya ketar-ketir masalah minimnya air, di Menara Suar Cimiring juga harus siap berhadapan dengan black panther tanah Jawa alias macan kumbang. Jenis kucing bertubuh besar yang hobi memanjat pohon itu masih suka berkeliaran di sekitar menara suar.
“Ya, saya sering lihat dia (macan kumbang) suka manjat pohon tiap malam. Takut sih, tapi mau gimana lagi, kenyataannya kami memang hidup berdampingan sama mereka. Sing penting kudu waspada aja,” tuturnya.
Pak Budi menambahkan, jika terpaksa waktu malam hari harus turun gunung, biasanya beliau membunyikan alat-alat yang menghasilkan bunyi dan bernyanyi. Hal ini dilakukan agar macan kumbang tidak mendekat dan menerkamnya.
“Kalau suara auman macan kumbang sih sering denger, biasanya waktu Maghrib itu. Tetapi, alhamdulillah, selama jaga di sana tidak pernah diganggu atau diterkam,” imbuh Pak Budi.
Selain itu, Pak Budi juga tidak menampik bahwa setiap menara suar pasti ada “penunggu-nya”. Ya, makhluk tak kasat mata itu memang kadang suka menampakkan diri pada waktu malam hari. Awal-awal bekerja sebagai petugas penjaga, Pak Budi memang sering merasa ketakutan, tetapi lama-lama beliau terbiasa dengan hal semacam itu.
“Kalau di sini (Menara Suar Tanjung Baron), ada sosok kakek tua yang punya jenggot brewok berwarna putih sampai klasrah lemah (menjuntai hingga ke bawah). Dia menghuni di lantai tiga. Terus, di belakang menara itu, ada orang-orang pakai sorjan bergaya mataraman,” tutur Pak Budi sambil menunjuk ke arah menara, yang seketika membuat saya merinding.
Salat Idulfitri di atas menara
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.10 WIB. Saya dan Pak Budi masih duduk di teras “rumah sementaranya” yang tepat berada di depan menara setinggi 40 meter itu. Terdengar jelas gemuruh debur ombak Pantai Baron di sela-sela obrolan kami.
Sementara itu, lampu di atas menara suar sudah menyala secara otomatis, tanda kalau hari sudah malam. Suasana di sekitar Pantai Baron juga tampak begitu sepi dan sunyi. Di bawah cahaya kerlip bintang dan rembulan yang menelanjangi malam, saya melanjutkan perbincangan dengan pria yang telah dikaruniai tiga anak tersebut.
“Lihat itu, Mas. Kapal-kapal jam segini masih berlayar. Sama seperti saya, mereka melakukan itu demi keluarga dan anak istri,” tutur Pak Budi sambil menunjuk ke arah laut lepas.
Menjalani profesi sebagai penjaga menara suar, tentu yang paling berat adalah jauh dari keluarga. Hal ini juga yang dirasakan oleh Pak Budi selama belasan tahun. Yang mana rasa rindu dengan anak dan istri, beliau rasakan setiap saat, terlebih saat malam hari.
“Saya pulang ke kampung itu biasanya sebulan sekali, itu pun misal ditempatkan yang jaraknya nggak terlalu jauh dari Boyolali, seperti di Gunungkidul ini. Kalau ndilalah ditempatkan yang jaraknya jauh dari kampung, ya, bisa berbulan-bulan nggak pulang, Mas,” terangnya.
“Sedihnya ya itu, misal anak lagi sakit atau ada saudara yang menggelar hajatan, tetapi nggak bisa pulang. Sekarang, alhamdulilah sudah ada smartphone, jadi bisa buat video call sama anak. Kalau dulu kan belum ada, jadi lebih terasa kangennya,” imbuh Pak Budi.
Puncak kerinduan dengan keluarga beliau rasakan saat Hari Lebaran tiba, tetapi tidak bisa pulang kampung. Hal itu dirasakannya beberapa tahun lalu saat bertugas di Menara Suar Cimiring. Pada waktu itu, ia dan satu orang kawannya, mengumandangkan takbir di lantai paling atas menara.
Saat menceritakan mengenai pengalaman ini, tampak bibir Pak Budi bergetar. Tergambar jelas dari raut wajahnya yang seolah menyimpan rasa rindu mendalam dengan keluarga di rumah kala itu.
“Sambil bertugas, pas malam Lebaran saya mengumandangkan takbir di atas. Terus, keesokan harinya, saya juga Salat Ied berjamaah di lantai paling atas menara dengan seorang teman yang juga sedang bertugas waktu itu. Hanya berdua saja,” terang Pak Budi diselingi tawa kecil.
“Ya, bisa dirasakan sendiri lah, Mas, gimana rasanya mengumandangkan takbir dan salat Idulfitri tanpa keluarga. Yang cukup berat itu pas Lebaran hari kedua dan ketiga, bayangan suasana di kampung halaman muncul terus,” lanjutnya.
Terlepas dari itu, Pak Budi mengaku bangga dan menikmati profesinya sebagai penjaga menara suar. Tidak hanya sekedar mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, tetapi juga untuk orang-orang yang sedang berlayar di tengah lautan.
“Saya selalu berharap dan berdoa, semoga para nelayan dan siapa pun mereka yang berlayar di tengah lautan, selalu diberikan keselamatan sampai rumah. Itu saja,” pungkasnya mengakhiri percakapan petang itu.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Purnawan Setyo Adi